Salah satu fenomena yang luput dalam perhelatan akbar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada Rabu (27/11/2024) yakni perilaku para pemilih yang menandakan perlawanan rakyat terhadap elite politik yang dianggap tak sesuai aspirasi mereka. Hal ini terlihat dari jumlah partisipasi yang menurun signifikan serta maraknya gerakan coblos semua paslon dan kemenangan kotak kosong di beberapa daerah.
Pilkada Jakarta yang sering dijadikan barometer penting pemilu daerah lainnya, menujukkan dua indikator utama dari pembangkangan elektoral warga terhadap elite politik. Pertama, rendahnya partisipasi pemilih yang tercermin dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menurun signifikan dibandingkan dengan Pilkada sebelumnya. Kedua, tingginya angka suara yang dianggap sebagai bentuk protes, yakni melalui gerakan coblos semua yang berujung pada suara tidak sah sebesar 8,6 persen.
John Muhamad, Ko-Inisiator Gerakan Politik Salam 4 Jari mengemukakan bahwa ada penurunan partisipasi publik yang sangat signifikan dengan tingkat perolehan suara dari 70 persen pada Pilkada 2017 menjadi 58 persen pada Pilkada 2024. Ini berarti sekitar 42 persen dari pemilih yang terdaftar atau sekitar 3,4 juta orang, memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
“Rakyat kritis sebenarnya sedang mengeluh karena pasangan calon (paslon) yang tersedia tidak menarik, tidak sesuai dengan aspirasi warga, dan secara proses Pilkada ini sejak awal sudah terindikasi akal-akalan”, kata John melalui keterangan tertulis.
Berdasarkan pantauan tim Salam 4 Jari yang mengamati proses pencoblosan dan hasil rekapitulasi suara dari C1 KPUD sekitar 99,78 persen menunjukkan angka partisipasi publik tercatat sebesar 4.764.125 orang atau sekitar 58 persen dari total DPT 8.214.007.
Sementara itu, jumlah suara “Gerakan Coblos Semua” memperoleh sebanyak 412.324 suara atau 8,6 persen dari jumlah DPT. “Angka Gerakan Coblos Semua ini hanya terpaut sedikit lebih rendah dari suara yang diperoleh paslon 02 Dharma-Kun sebanyak 458.147,” tambah John.
Lebih lanjut John memaparkan jika digabungkan, jumlah Golput dan Gerakan Coblos Semua mencapai 3.862.206 suara atau sebesar 50,6 persen dari total DPT. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suara yang diperoleh pasangan calon urut 03 Pramono Anung-Rano Karno yang hanya meraih 2.178.762 suara.
“Ini menunjukan bahwa warga Jakarta yang merupakan pemilih rasional sudah apatis terhadap calon yang diusung elit politik,” ungkap John.
Kemenangan Kotak Kosong
Selain di Jakarta, perlawanan warga terhadap hegemoni politik juga terjadi di beberapa derah lain, termasuk di Pangkalpindang dan Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di kedua daerah ini, fenomena kemenangan kotak kosong menunjukkan semakin menguatnya rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap elite politik dan pilihan calon yang tersedia.
Di kota Pangkalpinang, kotak kosong meraih kemenangan mencapai 55,9 persen dari total 87.081 suara pemilih dengan partisipasi publik yang rendah, hanya sebesar 53 persen dari total DPT yang berjumlah 164.330. Kemenangan kotak kosong ini terlihat di 70 persen dari seluruh TPS yang tersebar di 311 TPS.
Sementara itu, di Kabupaten Bangka, kotak kosong mencatat kemenangan sebesar 56 persen dengan partisipasi pemilih hanya 40 persen dari DPT yang berjumlah 237.930. Kotak kosong unggul hampir di seluruh TPS yang tersebar di 455 TPS.
“Berdasarkan data ini, dapat disimpulkan bahwa rendahnya partisipasi publik secara umum di Pilkada 2024 yang ditunjukkan pada Pilkada Jakarta, dan sejumlah Pilkada dengan paslon tunggal. Sikap masyarakat yang apatis ini juga dapat dilihat sebagai bentuk protes atau pembangkangan elektoral,” ungkap John.
John menegaskan hasil hitung cepat Pilkada 2024 telah membuktikan bahwa perlawanan rakyat yang kritis dan beroposisi semakin menguat. Dengan demikian, hal ini bisa menjadi pelajaran bagi kelompok masyarakat sipil.
“Ke depan, elite politik juga harus lebih mendengarkan aspirasi rakyat. Hasil ini merupakan modal politik dalam upaya membangun oposisi yang ideal dengan tujuan mengoreksi kebijakan Presiden Prabowo Subianto,” tandasnya.
**
Pemilihan kepala daerah (pilkada) sering dianggap sebagai puncak demokrasi lokal, di mana masyarakat diberi kesempatan untuk menentukan pemimpin yang akan membawa perubahan di daerahnya. Namun, fenomena kemenangan kotak kosong dalam beberapa pilkada di Indonesia menandai sebuah dinamika yang menarik sekaligus memprihatinkan dalam demokrasi kita. Kemenangan ini tidak sekadar cerminan preferensi politik masyarakat, tetapi juga bentuk pembangkangan elektoral terhadap elite politik yang dianggap tidak mewakili aspirasi rakyat.
Kotak kosong muncul sebagai alternatif unik dalam sistem pilkada Indonesia, khususnya ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju. Ketika masyarakat lebih memilih kotak kosong ketimbang pasangan calon tunggal, hal ini menunjukkan adanya keresahan, ketidakpuasan, atau bahkan kekecewaan mendalam terhadap calon yang diusung. Fenomena ini menantang narasi bahwa pemilu hanya soal memilih individu; ia menjadi simbol resistensi terhadap oligarki politik, kartel kekuasaan, atau praktik politik yang tidak demokratis.
Ada beberapa alasan mengapa kotak kosong bisa menang. Pertama, masyarakat sering kali merasa bahwa calon tunggal hanyalah produk dari kompromi politik yang tidak transparan. Proses yang elitis dan tertutup membuat rakyat merasa terpinggirkan dari proses politik. Kedua, ketiadaan kompetisi nyata dalam pilkada tunggal menciptakan kebosanan politik dan mengurangi kepercayaan pada sistem pemilu. Ketiga, kotak kosong menjadi cara simbolis bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap buruknya perilaku elite politik, seperti praktik korupsi, nepotisme, atau kurangnya akuntabilitas.
Kemenangan kotak kosong seharusnya menjadi alarm bagi elite politik di tingkat lokal maupun nasional. Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi bukan hanya soal prosedur, tetapi juga soal substansi. Ketika rakyat merasa tidak memiliki pilihan yang layak, mereka akan menggunakan kotak kosong sebagai sarana untuk menyampaikan pesan protes mereka.
Elite politik perlu menyadari bahwa kepercayaan publik terhadap demokrasi tidak dapat dijaga hanya dengan hadirnya pemilu, tetapi juga dengan menjunjung nilai-nilai demokrasi seperti keterbukaan, kompetisi sehat, dan keberpihakan pada kepentingan rakyat. Pemenangan kotak kosong adalah penolakan terhadap politik transaksional, dinasti politik, dan pengabaian terhadap aspirasi rakyat.
Kemenangan kotak kosong juga menandakan bahwa masyarakat mulai matang secara politik. Mereka tidak lagi sekadar memilih berdasarkan popularitas atau tekanan, tetapi dengan kesadaran kritis akan apa yang mereka anggap sebagai keadilan dan integritas dalam politik. Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat menjadi titik balik bagi demokrasi Indonesia untuk kembali pada esensi sejatinya, yaitu mewujudkan kehendak rakyat.
Namun, keberhasilan ini tidak boleh berhenti hanya sebagai simbol. Jika tidak diikuti oleh langkah nyata untuk memperbaiki sistem politik dan meningkatkan kualitas kepemimpinan lokal, kotak kosong bisa menjadi tanda stagnasi demokrasi. Oleh karena itu, setelah kotak kosong menang, harus ada evaluasi mendalam terhadap proses pencalonan, mekanisme demokrasi lokal, dan akuntabilitas elite politik.
Kemenangan kotak kosong harus dimaknai sebagai pelajaran penting bagi semua pihak, dari penyelenggara pemilu hingga partai politik. Ini adalah momen untuk mereformasi cara kita memilih pemimpin, memastikan bahwa rakyat selalu memiliki pilihan yang layak, dan mengutamakan nilai-nilai demokrasi di atas kepentingan pragmatis.
Sebagai garda terdepan demokrasi, rakyat telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam saat merasa aspirasinya diabaikan. Kemenangan kotak kosong adalah bukti nyata bahwa kekuatan rakyat masih menjadi pilar utama demokrasi. Kini, giliran elite politik untuk mendengar, berubah, dan memperbaiki arah politik kita demi masa depan yang lebih inklusif dan adil.