Ini ialah kali kedua peringatan Hari Kemerdekaan RI dalam masa pandemi. Kehidupan ekonomi tak bisa dikatakan baik-baik saja, apalagi pulih sepenuhnya. Sektor-sektor lain, seperti kesehatan dan pendidikan, tak jauh berbeda. Singkat kata, pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan masih jauh panggang daripada api.
Oleh karena itu, peringatan kemerdekaan kali kedua, di masa pandemi ini haruslah menjadi momentum berikutnya bagi percepatan pemulihan. Dengan berkat peringatan kemerdekaan yang ke-76 ini, kita wajib bergerak lebih aktif dan produktif. Peringatan ini akan jadi tak bermakna jika kita ternyata tinggal diam, menerima nasib, atau menunggu perubahan datang sendiri.
Pada titik ini, menjadi perlu bagi kita untuk meninjau kembali makna dan kebermaknaan peringatan kemerdekaan. Bagi yang masih tertawan dengan pandangan awam, umum, dan cenderung lahiriah, peringatan kemerdekaan tentu dibayangkan mesti glamor, yakni ukuran yang berlaku ialah kemeriahan dan kemewahan secara fisik.
Akan tetapi, di masa pagebluk ini, kita bagaimanapun juga harus bersepakat dan menerima peringatan kemerdekaan juga harus bisa sederhana tetapi bermanfaat. Sebagai contoh, lembaga, badan, atau perorangan yang bertanggung jawab dan terlibat dalam mengurus peringatan kemerdekaan wajib menghindari pikiran, energi, dan biaya yang menunjukkan ketidakpekaan sosial dan pemborosan atau kemubaziran.
Upacara-upacara dan bentuk seremoni lainnya bukan tak perlu. Namun, wajib diposisikan bahwa upacara ialah semata-semata satu cara di antara cara lainnya dalam memperingati suatu momentum penting. Ia pada hakikatnya sebatas penanda, yang telah menjadi sangat umum, melalui simbolisasi kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan berkegiatan diwujudkan.
Dalam hal ini, upacara atau seremoni cukuplah sebagai pembuka dari rangkaian kegiatan yang lebih bermanfaat. Banyak hal, misalnya, yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan momentum peringatan hari kemerdekaan, dalam rangka pada pemulihan sektor kesehatan dan keterpenuhan hajat hidup rakyat banyak. Warga yang sehat bisa difasilitasi lembaga pemerintah atau swasta, menjadi donor darah atau plasma, atau dana-dana dan energi, yang biasanya digunakan untuk kegiatan yang bersifat seremonial dan perayaan bisa dialihkan untuk membantu warga yang kesulitan ekonomi.
Produktivitas
Di samping aktivitas rutin dan wajar—yakni dalam bingkai kesederhanaan dan kebermaknaan—seperti upacara dan ragam bentuk syukuran, momentum peringatan kemerdekaan ke-76 ini harus bisa menjadi semacam booster bagi peningkatan produktivitas. Dalam hal ini, pandangan kita tak mesti melulu mengarah pada apa yang dikerjakan pemerintah. Akan tetapi, kita wajib melakukan instrospeksi diri, serta lembaga-lembaga apapun yang mungkin berkontribusi bagi pemulihan.
Mari kita mulai dengan apa yang saya sebut sebagai instrospeksi diri. Salah satu fenomena atau asumsi umum terkait dengan produktivitas di masa pandemi ialah peningkatan hambatan atau tantangan. Pembatasan sosial, menghambat mobilitas, dan protokol kesehatan sampai taraf tertentu menghambat aktivitas. Ini terutama bagi mereka yang bekerja di luar ruangan atau dalam kerumunan.
Akan tetapi, pandemi ini datang ketika teknologi—terutama teknologi informasi—telah berkembang jauh. Ragam aktivitas yang bersifat fisikal, mobile, dan mengerumun, pada dasarnya telah bisa diatasi. Sektor-sektor produksi yang padat karya, juga telah bisa dibantu mesin-mesin sehingga persoalan durasi dan frekuensi interaksi fisik atau mengerumun kurang lebih bisa diatasi.
Terkait dengan hal ini, oleh karena itu, setiap warga negara pada dasarnya punya peluang yang sama untuk menjaga, atau bahkan meningkatkan produktivitas. Hanya saja, terdapat tantangan untuk menyesuaikan diri dalam apa yang disebut sebagai kenormalan baru. Di sini berlaku hukum survival of the fittest, bahwa hanya mereka yang mampu menyesuaikan yang akan bertahan hidup.
Dalam kurang lebih satu setengah tahun ini, saya amat bahagia melihat bahwa proses adaptasi rakyat Indonesia dapat dikatakan berjalan cukup baik. Bahkan, ketika sebagian pejabat atau kalangan menengah-atas sibuk berteriak-teriak, minta fasilitas ini dan itu dari negara, sebagian besar warga negara, yang terdiri dari kelas menengah ke bawah justru sibuk berjuang, mempertahankan produktivitas ekonomi mereka dengan cara-cara baru mereka sendiri.
Introspeksi kedua bersifat kelembagaan. Lembaga di sini mencakup lembaga nonpemerintahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, kultural, agama, dstnya, yang ada di tengah masyarakat. Momentum peringatan kemerdekaan harus menjadi booster yang membuat lembaga-lembaga ini tetap aktif-produktif, dan membantu meringankan beban warga negara atau bahkan menyelesaikannya. Lembaga-lembaga ini harus mampu menjadi jaring-jaring pengaman, yang secara fleksibel meredam efek cidera individual maupun sosial yang disebabkan pandemi.
Bukan sebaliknya, bahwa lembaga-lembaga ini justru melahirkan kontra-produktivitas. Lembaga yang bersifat keagamaan, sebagai contoh, tersebab kepicikan sebagian orang di dalamnya bisa saja menjadi ladang pembodohan. Menggunakan asumsi-asumsi yang salah terkait dengan kesehatan, hoaks antivaksinasi menyebar, dan bahkan bagi sebagian diterima sebagai kebenaran.
Terakhir, terutama karena dihidupi rakyat atau negara, setiap lembaga pemerintahan dan aparatur di dalamnya harus melakukan instrospeksi. Apakah di tengah pandemi ini produktivitas mereka meningkat atau sebaliknya menurun? Apakah pelayanan yang diberikan meringankan beban warga negara, atau justru semakin menyusahkan dan menyulitkan mereka?
Jika momentum peringatan kemerdekaan ke-76 ini dapat dijadikan momentum untuk introspeksi oleh segenap penyelenggara pemerintahan, aparatur sipil, maupun militer negara, sangat mungkin perjalanan pemulihan ekonomi seperti mendapat energi baru yang kuat.
Jika sebaliknya, yang akan terjadi tetaplah status quo: bertambah atau tidak bertambahnya usia kemerdekaan tidak berpengaruh apa pun pada mentalitas dan kinerja penyelenggara negara dan segenap aparaturnya, dan tidak berpengaruh positif bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Solidaritas sosial
Peringatan kemerdekaan di tengah pandemi yang kedua ini selanjutnya mesti mempertebal solidaritas sosial berikut adanya tindakan-tindakan individual dan kelembagaan yang membuktikannya. Bagaimanapun juga kita sudah cukup kenyang dengan kampanye tentang gotong royong, sebagai salah satu nilai utama bangsa ini, dan menjadi tagline pemerintah. Sekarang ialah waktu untuk menunjukkan itu bukan sekadar omong-kosong atau dramatisasi. Sebagaimana introspeksi, itu bisa dimulai dari diri kita sebagai warga negara.
Di sekeliling rumah atau permukiman kita, misalnya, apakah masih ada warga yang kesulitan pangan dan akses kesehatan? Jika masih ada, sedangkan kita mampu membantu, nilai gotong royong bisa dikatakan belum merasuk ke diri, dan oleh karena itu secara batiniah tak bisa mengaku sebagai warga bangsa Indonesia.
Jika kita ialah employer, warga negara yang secara ekonomi mampu mempekerjakan warga negara lainnya, tetapi ternyata di antara karyawan kita masih ada yang hidup di bawah standar kelayakan, sedangkan kita pada dasarnya mampu memfasilitasi secara lebih layak—maka kegotongroyongan belum menjadi nilai diri, dan Indonesia belum menjadi negara kita yang sejati. Dirgahayu ke-76 bangsa dan Tanah Airku!
IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN) dan Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem
Selengkapnya baca di I