Pilarkebangsaan.com. Berbicara tentang Moderasi dalam Islam maka harus dipahami dulu pengertian dan akar dari kemunculan istilah moderasi dalam beragama. Moderat berarti tidak berlebih-lebihan atau berarti sedang. Moderasi dalam KBBI artinya, sebagai pengurangan kekerasan, atau penghindaran keekstreman.
Moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama sebagai akibat dari klaim kebenaran atas satu tafsir keagamaan tanpa mengindahkan ragam tafsir lain yang berbeda. Munculnya ekstremisme beragama dalam Islam seringkali disebabkan pola pikir ekstrem dalam memahami teks keagamaan baik Al-Qur’an atau Hadits secara rigid tanpa mempertimbangkan antara teks yang statis dan konteks yang dinamis.
Moderasi Islam didasarkan pada pemahaman teks agama yang berdasarkan nilai-nilai universal al-Qur’an. Nilai-nilai Universal Al-Qur’an di antaranya : Kebebasan (al Hurriyyah), Kesetaraan (al Musawah, Persaudaraan (al Ukhuwwah), Keadilan (al ‘Adalah), Penghormatan kepada manusia (Karamah al Insan). Keragaman adalah Sunnatullah. Sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an pada Surat al Hujurat ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Keragaman juga memunculkan Perbedaan Penafsiran
Penting sekali memahami sejarah perbedaan penafsiran dan ragam tafsir atas teks Agama tentang kepemimpinan perempuan. Hal ini akan membuka cakrawala pemahaman seseorang agar tidak terjebak pada satu tafsir saja yang menimbulkan klaim kebenaran menganggap hanya tafsirnya saja yang paling benar. Sebagai gambaran umum maka perbedaan penafsiran harus dipahami dan diterima oleh umat muslim.
Munculnya berbagai aliran dalam penafsiran al-Qur’an yang dikenal dengan istilah Madzahibut Tafsir adalah dilatar belakangi oleh aneka ragam keahlian yang dimiliki para mufassir disamping setting sosial yang mempengaruhinya, sehingga dapat menimbulkan pula berbagai macam corak tafsir yang berkembang dalam beberapa referensi kitab tafsir, baik tafsir klasik, maupun tafsir kontemporer.
Dr. Nur Rofi’ah menyampaikan dalam sebuah forum bahwa Al-Qur’an diturunkan : untuk seluruh Umat Manusia melalui masyarakat Arab, Untuk seluruh belahan Bumi melalui Jazirah Arabia, Untuk seluruh Masa sampai hari kiamat melalui masa pewahyuan yaitu sekitar tahun 611-634 M/masa kerasulan Muhammad Saw, maka al-Qur’an memiliki pesan yang bersifat universal, lintas masyarakat, lintas wilayah dan lintas masa. Tetapi pada saat yang sama al-Qur’an juga memiliki pesan yang kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat arab saat itu dan sesuai dengan tantangan zaman yang dihadapi oleh Rasululah dan para sahabatnya pada masa pewahyuan.
Dengan demikian maka dalam memahami Al-Qur’an : Maka kita dapat melihat dalam al Qur’an ada pesan umum seperti tauhid, keadilan, kebajikan, dll. Disamping itu al-Qur’an juga mengandung pesan kontekstual misalnya perbudakan, perang, perkawinan, pewarisan dan lain-lain, yang saat itu perlu disikapi secara langsung. Misalnya kesaksian perempuan 2:1, waris untuk perempuan 2:1. maka dalam melihat al-Qur’an kita harus merujuk pada nilai-nilai universal al-Qur’an.
Kaitan Nilai Universal al-Qur’an dan Pancasila dalam memahami perempuan
Karena konteks penulisan ini adalah Indonesia, maka kita tidak dapat terlepas dari nilai-nilai pancasila di mana pancasila dijadikan asas dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Jika dikaitkan dengan pancasila, maka makna Pancasila Bagi Perempuan Sesuai dengan Nilai Universal al-Qur’an sebagaimana yang disampaikan Dr. Nur Rofiah dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah :
- Ketuhanan Yang Maha Esa, Sebagai larangan untuk memperlakukan perempuan laksana hamba, sebab hanya kepada Tuhan, seluruh bangsa Indonesia boleh menghamba
- Kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai perintah untuk memperlakukan perempuan secara adil dan beradab, baik dalam rumah tangga maupun di ruang publik sebagai manusia dengan segenap pengalaman perempuan yang dimilikinya
- Persatuan Indonesia, sebagai perintah kepada laki-laki dan perempuan untuk bersatu mewujudkan kemaslahatan bangsa sebagai sesama subjek dan penerima manfaat kehidupan
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sebagai perintah untuk melibatkan perempuan dalam kepemimpinan kolektif, khususnya dalam berbangsa dan bernegara
- Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, sebagai perintah untuk memastikan pengalaman biologis perempuan difasilitasi dengan baik oleh negara, dan memastikan perempuan selamat dari aneka bentuk ketidak adilan berbasis gender. Disamping dimaknai umum yang meliputi seluruh bangsa. Juga perlu dimaknai secara khusus sesuai konteksnya.
Dapat dipahami dari tulisan Dr. Nur Rofiah ini bagaimana memaknai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan asas pancasila dalam bingkai nilai-nilai universal al-Qur’an. termasuk di antaranya tentang kepemimpinan yang merupakan peran yang dapat diemban oleh laki-laki dan perempuan yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Kepemimpinan Perempuan di Ruang Publik dalam Sejarah Islam
Perempuan dalam panggung sejarah Islam dapat dilihat misalnya Ratu Bilqis yang Memimpin Kerajaan Saba. Hal ini disebutkan dalam al-Qur’an surat an Naml ayat 32, 33, 34.
Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”. Mereka menjawab: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan”. Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.
Dari ayat al-Qur’an ini dapat diambil pelajaran berupa kisah yang baik tentang seorang pemimpin kerajaan yang adil dan bijaksana. Ratu Bilqis diceritakan dalam kisah di atas, melakukan musyawarah dengan pembesar negeri atas masalah yang menimpa negaranya. Karena sifatnya yang demikian, para pembesar lalu meminta Ratu Bilqis mengambil keputusan, yang akan dilaksanakan oleh para pembesar. Hal ini menandakan kewibawaan dan kepercayaan pembesar pada Ratu Bilqis.
Pada Masa kekhalifahan, Siti Aisyah pernah diminta memediasi pembunuhan Khalifah Ustman. Siti Aisyah atas desakan para sahabat memimpin untuk meminta kepada Ali agar menuntaskan kasus pembunuhan Ustman bin ‘Affan. Mengabaikan beragam kontroversi atas peristiwa ini, akan tetapi usaha para sahabat membujuk Siti Aisyah untuk bersedia memimpin menandakan kaum laki-laki saat itu mempercayai kemampuan seorang perempuan.
Atas peristiwa ini ada berbagai pendapat di antaranya Terjadi kesalahpahaman atas kedatangan Siti Aisyah ini akan tetapi setelah dijelaskan Aisyah, Sayyidina Ali bisa memahaminya. Kemudian muncul fitnah di kedua belah pasukan yang ditimbulkan pihak ketiga, sehingga perang tidak terhindarkan
Di Indonesia pada kerajaan Islam seorang Perempuan menjadi pemimpin kerajaan Aceh Darussalam. Ratu Safiatuddin Memerintah sejak 1641-1675, menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani. Dalam catatan sejarah masa pemerintahannya merupakan masa keemasan dan kejayaan kerajaan Aceh Darussalam. Memimpin dengan adil dan bijaksana serta sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Terjadi pro dan kontra dalam kepemimpinannya, tetapi Ratu Safiatuddin didukung oleh Nuruddin ar Raniri dan Abdul Rauf Sinkel (dua ulama besa ). Paska pemerintahannya masih ada 3 orang Ratu lagi, yakni Nurul Alam Nakiyatuddin Syah (1675-1678M), Inayat Syah Zakiyatuddin Syah (1678-1688M) dan ratu Kamalat Syah (1688-1699M).
Pandangan Ulama tentang Kebolehan Pemimpin Perempuan
Beragam perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kebolehan perempuan menjadi pemimpin di ruang publik. Ibn Qayyim Al Jauziyah menyatakan bahwa : Dalam persoalan menyangkut kemasyarakatan dan politik yang paling penting adalah faktor kemaslahatan.
Sebagaimana ucapan Ibnu Aqil yang dikutip oleh Ibn Qayyim Al Jauziyyah bahwa : dalam urusan-urusan politik, yang diperlukan adalah cara-cara yang dapat mengantarkan masyarakat kepada kehidupan yang menjamin kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan/kebinasaaan, meskipun cara-cara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan tidak ada aturan wahyu Tuhan. dalam urusan politik yang paling menentukan adalah kesesuaiannya dengan syara’ yaitu tidak bertentangan dengan agama.
KH Husein Muhammad seorang kiai Feminis menyampaikan bahwa Kepemimpinan publik tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, akan tetapi sangat dipengaruhi oleh kualifikasi pribadi, integritas intelektual dan moral serta sistem politik yang mendukungnya.
Kaidah Fikh menyatakan :
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Tindakan penguasa atas rakyatnya harus didasarkan atas kemaslahatan mereka
Atas argumentasi kedua ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan diserahkan pada orang yang memiliki kapasitas kualifikasi pribadi (adil), integritas intelektual (pemahaman tentang nilai universal al-Qur’an/ agar tidak bertentangan dengan agama) dan moral, memiliki visi kemaslahatan bangsa, oleh karenanya tidak memandang jenis kelamin, karena kemampuan tersebut dapat dimiliki kaum laki-laki dan perempuan. (bersambung)