Bhinneka Tunggal Ika

Kerukunan Umat Beragama, Moderasi, dan Martabat Kemanusiaan

4 Mins read

Kerukunan umat beragama bukan hanya soal hidup rukun dan damai. Dalam dunia yang terus berubah, harmoni antarumat beragama perlu diartikan lebih luas sebagai upaya kolektif untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Ini bukan hanya panggilan moral, tetapi juga kebutuhan mendesak untuk menciptakan peradaban yang lebih berkeadilan dan manusiawi.

Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Oman Fathurrahman, Guru Besar Filologi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kemanusiaan adalah fondasi utama yang harus diperjuangkan oleh setiap komunitas beragama. Dalam webinar bertajuk ā€œDeklarasi Istiqlal: Kolaborasi Umat Beragama untuk Kemanusiaanā€, ia menekankan bahwa kerukunan umat saat ini tidak cukup hanya diproyeksikan untuk sekadar toleransi dan perdamaian. Lebih dari itu, kerukunan harus berorientasi pada penghormatan terhadap martabat luhur manusia.

Pandangan ini menjadi refleksi penting bagi masyarakat yang sering kali masih terjebak pada formalitas toleransi. Kita sering berbicara tentang ā€œrukunā€ atau ā€œdamai,ā€ tetapi lupa bahwa tanpa upaya nyata melindungi dan menjunjung martabat manusia, kerukunan tersebut hanya menjadi slogan tanpa makna.

Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama yang digagas oleh Kementerian Agama merupakan langkah strategis untuk menjawab tantangan ini. Moderasi beragama tidak sekadar menjadi cara pandang yang inklusif, tetapi juga menjadi prinsip yang memandu setiap umat untuk mempraktikkan ajaran agama dengan menghormati keberagaman dan melindungi nilai-nilai kemanusiaan.

Prof. Oman menegaskan bahwa moderasi beragama berarti mengejawantahkan esensi ajaran agama sebagai pelindung martabat manusia. Moderasi bukan hanya soal menghindari ekstremisme, tetapi juga memastikan bahwa agama menjadi kekuatan positif yang membangun, bukan merusak.

Namun, perjalanan ke arah tersebut bukan tanpa hambatan. Masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai dari politisasi agama, narasi kebencian berbasis identitas, hingga pemahaman keagamaan yang sempit. Dalam banyak kasus, agama justru menjadi alat untuk memecah belah daripada menyatukan.

Karena itu, Prof. Oman menyoroti peran pemuka agama yang seharusnya tidak hanya menyampaikan pesan perdamaian, tetapi juga secara aktif mempromosikan ajaran kemanusiaan. Pemuka agama memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi agen perubahan yang membawa nilai-nilai agama lebih dekat dengan kebutuhan masyarakat modern, terutama dalam menjawab isu-isu seperti ketidakadilan, kemiskinan, dan diskriminasi.

Kerukunan umat beragama berbasis kemanusiaan hanya dapat terwujud jika semua pihak, baik masyarakat, pemuka agama, maupun pemerintah, bekerja sama secara kolaboratif. Langkah-langkah yang perlu diambil mencakup:

  1. Pendidikan Inklusif: Pendidikan agama harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan universal kepada generasi muda, melampaui sekadar pemahaman doktrinal.
  2. Kebijakan Publik Progresif: Pemerintah perlu terus mendukung moderasi beragama melalui kebijakan yang melindungi minoritas, mendorong dialog antaragama, dan mempromosikan keadilan sosial.
  3. Narasi Positif: Pemuka agama dan media harus menyebarluaskan narasi yang mendukung persaudaraan dan solidaritas kemanusiaan.

Kerukunan umat beragama yang menempatkan kemanusiaan sebagai prioritas adalah visi yang sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk. Moderasi beragama adalah alat yang dapat mengintegrasikan keberagaman tanpa mengorbankan identitas agama atau martabat manusia.

Seperti dikatakan oleh Prof. Oman, harmoni yang sejati hanya akan tercipta jika setiap individu dan komunitas mengutamakan kemanusiaan sebagai nilai bersama. Inilah misi bersama yang harus kita perjuangkan: menjadikan agama sebagai kekuatan yang mempersatukan, melindungi, dan memuliakan martabat manusia.

Moderasi beragama adalah konsep yang vital untuk merawat harmoni dalam masyarakat yang plural, seperti Indonesia. Namun, tak jarang narasi ini distigma sebagai bentuk pengikisan nilai-nilai agama, upaya kompromi terhadap prinsip-prinsip keyakinan, atau bahkan dianggap sebagai alat politik untuk melemahkan kelompok tertentu. Stigma semacam ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berbahaya karena dapat menghambat terciptanya kehidupan berbangsa yang damai dan adil. Untuk itu, diperlukan upaya strategis dalam menangkal narasi yang mendiskreditkan moderasi beragama.

Salah satu stigma yang sering muncul adalah bahwa moderasi beragama dianggap melemahkan keyakinan. Padahal, moderasi beragama justru lahir dari inti ajaran agama itu sendiri. Dalam Islam, misalnya, konsep ummatan wasathan (umat yang moderat) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qurā€™an (QS. Al-Baqarah: 143) menekankan keseimbangan antara spiritualitas dan kehidupan duniawi. Moderasi bukanlah kompromi atas prinsip, tetapi cara pandang yang adil, tidak ekstrem ke kiri maupun ke kanan.

Narasi ini perlu ditegaskan berulang kali melalui pendekatan yang berbasis teks agama (nash) agar masyarakat memahami bahwa moderasi beragama bukan konsep asing, melainkan esensi dari keberagamaan itu sendiri.

Stigma lain yang berkembang adalah bahwa moderasi beragama digunakan untuk melemahkan kelompok tertentu. Padahal, moderasi beragama berfungsi sebagai benteng melawan segala bentuk ekstremisme, baik yang bersifat radikal maupun liberal.

Moderasi tidak berarti menghilangkan identitas agama atau melemahkan keyakinan, tetapi justru melindungi agama dari penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang ingin mempolitisasi atau mendistorsinya. Dengan menegaskan bahwa moderasi beragama adalah jalan tengah untuk melindungi masyarakat dari narasi yang memecah-belah, stigma ini dapat diluruskan.

Narasi yang menstigma moderasi beragama sering kali memposisikannya sebagai ancaman terhadap kebebasan beragama. Moderasi disalahartikan sebagai upaya menyamakan semua agama atau mengurangi makna eksklusivitas keyakinan tertentu.

Penting untuk dijelaskan bahwa moderasi beragama bukanlah sinkretisme agama. Sebaliknya, moderasi menghormati perbedaan keyakinan sambil mendorong dialog dan kerja sama. Dalam konteks Indonesia, moderasi beragama berarti menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan konstitusi yang melindungi kebebasan berkeyakinan bagi semua warga negara.

Untuk melawan stigma, dibutuhkan upaya edukasi yang masif dan konsisten. Pemerintah, tokoh agama, dan organisasi masyarakat harus aktif menyebarkan narasi positif tentang moderasi beragama melalui berbagai media, termasuk media sosial. Contoh konkret dari praktik moderasi beragamaā€”seperti dialog antaragama, kerja sama lintas komunitas, dan penghormatan terhadap keberagamanā€”harus diangkat ke permukaan.

Dengan menyebarkan kisah-kisah keberhasilan moderasi beragama, masyarakat akan semakin memahami pentingnya konsep ini dalam kehidupan sehari-hari.

Stigma terhadap moderasi beragama sering kali muncul dari kesalahpahaman teologis. Karena itu, ulama dan akademisi memiliki peran penting untuk memperkuat landasan teologis moderasi beragama. Penelitian, forum diskusi, dan publikasi harus diarahkan untuk menjelaskan bahwa moderasi beragama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama mana pun.

Pendekatan berbasis akademis juga penting untuk menjangkau generasi muda yang lebih kritis terhadap konsep-konsep keagamaan.

Terakhir, pendekatan moderasi beragama sendiri harus konsisten dengan nilai-nilai yang diusungnya, yakni merangkul, bukan menentang. Alih-alih menyerang kelompok yang skeptis terhadap moderasi, pendekatan dialogis dan edukatif harus menjadi prioritas. Ketika stigma dijawab dengan kasih sayang dan pemahaman yang mendalam, resistensi terhadap moderasi beragama dapat dikurangi.

Moderasi beragama adalah solusi atas tantangan keberagaman dan alat untuk menciptakan kedamaian di tengah pluralitas. Narasi yang menstigma moderasi beragama dapat diluruskan dengan menegaskan bahwa konsep ini sejatinya berasal dari inti ajaran agama, bukan ancaman terhadapnya.

Melalui upaya edukasi, dialog, dan penguatan teologis, moderasi beragama dapat dipahami sebagai jalan tengah yang tidak hanya melindungi martabat agama, tetapi juga memuliakan martabat manusia. Inilah esensi dari moderasi: menjadikan keberagamaan sebagai rahmat bagi semesta alam.

1383 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Merancang Lingkungan Pembelajaran untuk Generasi Z

3 Mins read
Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, adalah generasi pertama yang sepenuhnya tumbuh dalam dunia digital. Mereka tidak tahu dunia…
Bhinneka Tunggal Ika

Melihat Kesenian Alek Sikambang ala Etnis Pasisi Sibolga

3 Mins read
Kesenian Sikambang adalah salah satu warisan budaya yang khas Etnis Pesisir Sibolga, Sumatera Utara. Sikambang telah memiliki akar yang kuat dalam tradisi…
Bhinneka Tunggal Ika

Keraton Solo dan Konflik Perebutan Takhta; Pelajaran untuk Generasi Bangsa

4 Mins read
Sejarah Konflik Keraton Solo, Berawal dari Perebutan Tahta 18 Tahun Silam. Konflik yang terjadi di Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo kembali…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.