Telaah

Kesalahan Atribusi Pemicu Stigma Negatif Wanita Korban Seksual

3 Mins read

Kekerasan seksual tidak hanya menjadi masalah di Indonesia, tetapi juga terjadi pada berbagai negara lainnya. Media massa, baik stasiun televisi maupun platform media sosial, telah lama menjadi saluran informasi mengenai maraknya tindak kekerasan seksual. Meskipun masyarakat memberikan berbagai respons terhadap isu ini, namun kenyataannya, masih banyak yang cenderung menyalahkan korban dengan penerapan victim blaming.

Sikap menyalahkan korban ini tidak hanya menciptakan stigma negatif terhadap para korban, tetapi juga mengakibatkan rasa takut yang mendalam pada mereka untuk melapor kejadian kekerasan seksual yang mereka alami.

Terkait dengan keadaan ini, perlu adanya perubahan paradigma dalam memandang dan menanggapi kekerasan seksual. Pemahaman masyarakat tentang pentingnya mendukung dan tidak menyalahkan korban menjadi krusial dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Hanya dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, tanpa menghakimi, korban akan merasa lebih aman untuk melapor, dan pelaku dapat diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.

Isu Kekerasan Seksual Meningkat, Tak Terbatas di Indonesia

Berdasarkan data yang disampaikn oleh Komnas Perempuan, terungkap bahwa terdapat 15 jenis kekerasan seksual yang kerap terjadi, yaitu perkosaan, intimidasi seksual, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, perdagangan perempuan, pemaksaan perkawinan, aborsi, pemaksaan kehamilan, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, penghukuman bernuansa seksual, diskriminasi perempuan, dan kontrol seksual. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa korban yang paling rentan mengalami kekerasan tersebut ialah perempuan dan anak-anak sekitar usia 15-44 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi juga pada laki-laki.

Salah satu jenis kekerasan seksual yang banyak menjadi perbincangan adalah pelecehan seksual, yakni tindakan yang tidak diinginkan, baik fisik ataupun verbal yang berkaitan dengan hasrat seksual maupun fungsi reproduksi seseorang yang bersifat mengintimidasi. Masalah ini kembali terulang karena budaya patriarki, di mana mayoritas korban adalah perempuan, sering kali dianggap rendah atau lemah dibandingkan dengan laki-laki.

Selain itu, posisi jabatan yang lebih tinggi dari pelaku terhadap korban juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan seksual. Tanggapan masyarakat yang mudah menyalahkan tingkah laku korban karena bergaul dengan lawan jenis serta menghakimi fisik korban yang dianggap “mengundang’ membuat banyak korban lebih memilih menyimpan dan tidak menceritakan hal tersebut ke orang lain sehingga pelaku pun sering kali tidak dihukum.

Victim Blamming dan Ketakutan Melaporkan Tindak Kekerasan Seksual

Victim blaming adalah perilaku menyalahkan korban tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang dialami korban, seringkali menjadikan korban sebagai penyebab terjadinya tindak pelecehan seksual tersebut. Beberapa faktor yang memengaruhi perilaku adanya victim blaming antara lain pengaruh dari lingkungan sekitar, minimnya pengetahuan tentang kesetaraan gender dan pendidikan seks, pengaruh budaya patriarki, dan identitas serta sikap gender. Selain itu, media penyampaian berita juga berpengaruh dalam menggiring opini masyarakat, baik itu stasiun televisi ataupun media sosial karena masih banyak yang menggunakan judul kontroversial demi menarik minat baca pembaca serta membuat judul seakan-akan menyalahkan korban.

Bentuk victim blaming mencakup ketidakbersimpatian dan kurangnya empati pada korban sebab minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan masih dianggap informasi yang tabu. Selain itu, mencari kesalahan dan menghina korban, serta menganggap rendah korban merupakan sikap yang merugikan. Perilaku victim blaming dapat berdampak serius pada korbannya, membuat korban merasa terhina karena merasa sebagai suatu aib, takut untuk melaporkan ke pihak yang berwenang sehingga memilih dipendam sendiri, dan bahkan dapat mengakibatkan trauma berkepanjangan, depresi, atau keinginan untuk mengakhiri hidup.

Teori Atribusi: Memahami Perilaku Menyalahkan Korban

Perilaku victim blaming dapat dijelaskan dengan teori atribusi, tepatnya atribusi defensif. Jadi, atribusi merupakan ditariknya suatu kesimpulan dari penyebab terjadinya perilaku diri sendiri, perilaku orang lain, serta peristiwa. Atribusi tidak berarti bahwa semuanya mengarah pada ketepatan pengambilan keputusan. Menurut Weiten & Lloyd (2005), atribusi defensif cenderung menyalahkan korban akibat kejadian buruk yang menimpanya yang membuat korban merasa rendah.

Atribusi dikelompokkan menjadi internal vs eksternal, stabil vs tidak stabil, dan terkendali vs tidak terkendali. Beberapa hal yang menarik individu menciptakan atribusi melibatkan perilaku negatif orang lain, terjadi peristiwa yang sesuai, dan rasa curiga terhadap motif seseorang.

Dalam perilaku victim blaming terhadap korban perempuan pelecehan seksual, masyarakat sering beranggapan bahwa karena korban menggunakan pakaian yang terbuka, make-up berlebihan, kurang berhati-hati, menggoda, pulang larut malam, dan beberapa lainnya, hal tersebut sudah termasuk ke dalam atribusi internal. Padahal, nafsu pelaku pelecehan seksual yang perlu dikendalikan.

Kesalahan atribusi mendasar (fundamental error) cenderung terjadi saat kelompok atau individu melihat kepribadian orang lain dan mengabaikan pengaruh yang dapat muncul dari lingkungan sehingga menyebabkan bias korespondensi. Atribusi seharusnya dilakukan dengan dua langkah, pertama secara spontan melihat dari orangnya dan langkah kedua setelah melalui proses berpikir untuk mendapat atribusi yang tepat.

Dalam menghadapi maraknya kekerasan seksual yang melanda berbagai negara, termasuk Indonesia, perubahan paradigma masyarakat menjadi krusial. Kondisi ini tidak hanya menimbulkan victim blaming dan stigma pada korban, tetapi juga menciptakan ketakutan melaporkan kejadian tersebut.

Melalui pemahaman dan dukungan terhadap korban, serta peningkatan kesadaran masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang mendukung, meminimalkan sikap menyalahkan, dan memberikan perlindungan hukum yang sepatutnya. Victim blaming, sebagai hasil dari kurangnya pemahaman gender dan budaya patriarki, harus diatasi melalui upaya edukasi dan pengetahuan yang lebih baik. Dengan begitu, kita bersama-sama dapat mengakhiri ketakutan korban untuk melaporkan tindak kekerasan seksual, membawa perubahan positif, dan memandang isu ini dengan serius.

Referensi

Gutek, B. A. (2014). Sexual harassment is broadly defined as unwel- come verbal or physical sexual overtures that may be made a condition of employment or otherwise affect one’s job or. Wiley Encyclopedia Of Management, 1997, 2014.

Shopiani, B. S., & Supriadi, U. (2021). Fenonema victim blaming pada mahasiswa terhadap korban pelecehan seksual. Sosietas, 11(1), 940–955. https://doi.org/10.17509/sosietas.v11i1.36089

1196 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Telaah

Jika Soeharto Tidak Pernah Jadi Presiden, RI Jadi Negara Apa?

2 Mins read
Benarkah ada upaya menghilangkan jejak korupsi dari Presiden RI Soeharto imbas MPR resmi mencabut dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 kemarin?…
Telaah

Hukum Mencium Tangan Menurut Empat Madzhab

2 Mins read
Mencium tangan merupakan tradisi yang sudah biasa orang Indonesia lakukan sebagai bentuk hormat. Sebenarnya di beberapa bagian negara lain bentuk penghormatan tidak…
Telaah

Siapa Sosok Guru Ranggawarsita?

3 Mins read
Mendengar nama Ranggawarsita, kilas ingatan pasti membayang gelar agung yang disandang “Sang Pujangga besar Kraton Surakarta”. Begitu pula dengan nama Masjid Tegalsari,…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.