Bhinneka Tunggal Ika

Keterasingan Diri dalam Keluarga: Potensi Seorang Anak Masuk dalam Pusaran Radikalisme

3 Mins read

Jauh sebelum kita memiliki ruang cukup luas untuk berekspresi, mengemukakan pendapat di hadapan khalayak, dengan adanya media baru, yang dikenal dalam wujud media sosial, Erich Fromm, seorang tokoh psikoanalisis humanis, anggota madzhab Frankrut pernah mengkritik keterasingan diri pada manusia modern. Manusia modern adalah manusia yang hidup penuh dengan hal instan di sekelilingnya dan menciptakan obesitas kebutuhan atau kebutuhan yang tanpa henti.

Salah satu kasus misalnya penggunaan sapu tangan. Manusia modern, kini tidak lagi menggunakan sapu tangan, akan tetapi beralih pada penggunaan tisu. Padahal, secara penggunaan, sapu tangan tidak akan menimbulkan sampah berlebihan karena penggunaannya dalam jangka panjang. Sedangkan tisu, penggunaannya sekali pakai. Ketika semua orang menggunakan tisu, berapa banyak sampah tisu yang dihasilkan oleh para warung makan? Penggunaan pribadi hingga penggunaan hotel, serta transportasi umum dalam sehari jika dikumpulkan? Sederhana memang, tapi inilah yang disebut Erich Fromm, ketidakberdayaan manusia modern dalam memilih sesuatu yang cermat.

Tidak hanya itu, Erich Fromm mengkritik manusia modern sebagai orang yang terasing. Mengapa ia terasing? Menurut Hegel, keterasingan tersebut disebabkan kondisi manusia dengan roh absolut dalam proses dialektika. Freuerbach mendefinisikan keterasingan sebagai keadaan manusia yang mempercayahi adanya Tuhan. Dalam artian, Tuhan hanya proyeksi dari manusia. Sementara itu, Karl Marx mendefinisikan keterasingan berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

Menurut Erich Fromm keterasingan tersebut bisa dilihat dari bagaimana pelampiasan rasa bosan yang dilakukan oleh manusia modern. Ruang semu yang diciptakan oleh manusia modern, menjelma sebagai ruang ekspresi yang mengikat manusia untuk tampil lebih baik di antara yang lain.  Keterasingan/alienasi bisa saja dialami oleh setiap orang modern masa kini. betapa banya informasi yang bis akita peroleh untuk mengetahu sesuatu, akan tetapi pengetahuan tersebut justru tidak memberikan kebermanfaatan, melainkan membuat manusia terdistraksi dengan pengetahuan itu. Dalam konteks beragama, betapa banyak para ustaz, penceramah, memaparkan pandangan agama, tapi nyatanya justru menciptakan kebencian pada yang mendengarkan, sehingga esensi agama tidak lagi menjadi sumber kedamaian, justru sebaliknya.

Keluarga: basis utama pencegahan radikalisme

Melihat fenomena keterasingan diri, sudahkah kita bertanya pada diri sendiri, “apakah kita merasa terasing.” Dalam konteks beragama, betapa banyak seorang anak merasa terasing dalam keluarganya sehingga ia tidak menemukan dirinya dalam keluarga dan memilih untuk bersama mengikuti pemahaman agama yang lain. Salah satu contoh konkritnya adalah Dania, remaja yang terlibat gerakan terorisme dan memilih pergi ke Suriah. Salah satu alasan utama mengapa ia justru tertarik kepada gerakan tersebut karena menawarkan kenyamanan, dan pemahaman agama yang sebelumnya, belum pernah ia dapatkan di keluarganya.

Dania adalah contoh utama, sikap seorang anak yang terasing dalam keluarganya dan menemukan ruang baru dalam beragama kemudian tertarik untuk mengikuti gerakan yang menawarkan kenyamanan. Kasus ini bisa dilihat bahwa, keterasingan anak dalam keluarga, dapat menjadi penyebab seorang anak masuk dalam pusaran gerakan radikalisme. Bagaimanapun, orang tua adalah basis utama seorang anak dalam mencari kenyamanan, ketenangan dan keamanan yang tidak didapatkan pada lingkungan di luar keluarga.

Apabila anak tidak mendapatkan hal tersebut dalam keluarga, maka menjadi hal wajar apabila ia tergerus dalam gerakan radikalisme yang menawarkan kenyamanan lebih besar. Nihilnya peran orang tua dalam memberikan keamanan, kenyamanan dan menjadi ruang aman bagi anak, berpengaruh besar terhadap kehidupan anak dalam mencari jati dirinya. Dengan demikian, penguatan peran keluarga dalam upaya pencegahan radikalisme sangat diperlukan.  Keluarga adalah basis utama dalam benteng radikalisme. Maka dari itu, peran keluarga sebagai pendidikan utama tidak hanya bermakna sebagai pemenuhan hak untuk hidup. Akan tetapi, hak untuk mendapatkan pendidikan agama yang layak, juga menjadi kewajiban keluarga dalam mendidik seorang anak.

Munculnya kelompok-kelompok Islam yang melakukan distorsi dalam memahami ajaran agama, bertebaran di media sosial. Bagaimanapun, anak akan mengonsumsi ajaran tersebut dengan mentah-mentah. Apabila tidak dibentengi dengan pemahaman agama yang kuat, sangat mudah sekali untuk tergerus pada ajaran tersebut. Tidak hanya itu, keterasingan yang dialami oleh seorang anak dalam mengonsumsi informasi di media sosial, membutuhkan peran keluarga sebagai ruang aman yang secara nyata tidak menawarkan kebahagiaan semu. Melalui pemaknaan ini, maka orang tua masa kini perlu untuk mempersiapkan diri dengan pengetahuan literasi teknologi yang cakap dan cukup untuk menciptakan ruang bermedia sosial bagi anak di dalam keluarga.

Lebih dari itu, orang tua masa kini perlu melihat anak sebagai partner, teman, yang memberikan rasa aman kepada anak untuk berbagi apapun. Dengan demikian, apabila peran keluarga sudah kuat, maka seorang anak tidak akan tergerus dan masuk dalam pusaran radikalisme.

Sumber bacaan:

Martinus Satya Widodo, “Cinta dan Keterasingan  dalam Masyarakat Modern,” (Jakarta: Narasi), 2005.

Ahmad HamdaniPeran Keluarga dalam Menangkal RadikalismeJSGA: Journal Studi Gender dan Anak” Vol.8, No.2., Thn. 2021

A.Syafi’ AS. Radikalisme Agama(Analisis Kritis dan Upaya Pencegahannya Melalui Basis Keluarga Sakinah) Sumbula Vol. 2., No.1, thn. 2017.

Muallifah

Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Fenomena War Takjil: Dari Toleransi hingga Puasa Kelas Menengah

4 Mins read
Makanan, minuman, dan puasa saling bertaut. Menahan lapar dan haus adalah standar dasar orang berpuasa. Menariknya, menu sahur atau berbuka puasa adalah…
Bhinneka Tunggal Ika

Ngabuburit Zaman Now, Jalan-jalan atau Scroll Tiktok?

2 Mins read
Kita tidak dapat memungkiri adanya perubahan budaya akibat perkembangan zaman. Tak hanya mencakup budaya etnis atau tradisional, perubahan budaya yang terjadi saat…
Bhinneka Tunggal Ika

NU dan MU: Belajar Memahami Wajah Yang Lain

5 Mins read
Diakui atau tidak, kita itu selalu gagal memahami “wajah” sesama kita yang lain. Konflik-konflik, dan tindakan intimidasi dan intoleran lainnya, menunjukkan bahwa…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *