Indonesia darurat hoak? Pertanyaan ini muncul di beberapa pemberitaan ketika seorang nara sumber mengemukakan pendapat yang berbeda dari kebanyakan pendapat umum. Sebenarnya dalam alam demokrasi sesorang yang mengemukakan pendapat berbeda adalah hal yang wajar dan diperlukan, guna memperbanyak prespektif dalam melihat suatu persoalan dan menghindari adanya tafsir tunggal atas sebuah masalah. Hal demikian dimaksudkan agar terhindar dari hegemoni makna sehingga di masyarkat tidak terjadi kebenaran tunggal semata.
Belakangan ini gejala adanya orang mengemukakan pendapat berbeda dengan pendapat umum segera secara cepat-cepat dicap sebagai penyebar berita bohong (hoaks) tanpa ada proses dialog atau proses dialektika antara dua pihak yang berbeda. Bahkan dari salah satu pihak terburu-buru melaporkan ke pihak kepolisian, dimana oleh sebagian kalangan dianggap sebagai proses pembungkaman. Contah paling mutakhir adalah polemik dari penyataaan dr. Lois Owien tentang penyebab kematian pasien Covid-19 karena adanya interaksi obat yang kemudian berpolemik dengan pihak IDI dan seorang dokter yang juga seorang influencer. Menurut saya seharusnya langkah yang ditempuh oleh kedua pihak adalah seperti yang diusulkan oleh salah seorang ketua lembaga tinggi negara agar keduanya menyelesaikan dengan mengadakan debat terbuka di depan publik.
Sebenarnya banyak contoh-contoh lain yang serupa seperti misalnya Jerinx yang pernah mengemukakan bahwa IDI adalah kacung WHO, yang kemudian mengantarnya ke jeruji besi. Tanpa ada proses dialog wacana antara kedua belah pihak terlebih dahulu. Padahal mungkin hal yang dianggap hoaks bisa jadi benar atau sebaliknya. Kita bisa berkaca peristiwa penerimaan teori heliosentris yang dikemukakan Copernicus yang pada waktu pertama kali muncul, banyak pihak menentangnya. Tetapi setelah sekian tahun baru terbukti bahwa teori ini benar ternyata bumi dan planet-planet lain mengitari matahari, dimana teori ini bertentangan dengan teori yang sudah ada pada waktu itu bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi. Jadi memang sesuatu yang dikemukakan oleh orang yang lain yang berbeda dengan kebenaran umum bisa jadi itu benar. Walaupun mungkin tidak semua.
Pada intinya menurut hemat saya jangan sampai terjadi di masyarakat terjadi monopoli kebenaran. Hal tersebut mungkin terjadi di negara yang menganut sistem totaliter atau komunis. Tetapi di Indonesia yang menganut Demokrasi Pancasila maka seyognya tidak ada monopoli kebenaran. Atau memang kini terjadi apa yang di kemukan oleh Dr. Alfian (alm) sebagaimana dikutip Eef Saefulah Fatah dalam bukunya Membangun Oposisi yang pernah menulis bahwa ditengah masyarakat kita muncul kecenderungan monopoli kebenaran.
Monopoli kebenaran itu bisa dilakukan dengan melontarkan tudingan hoaks kepada pihak yang mewacanakan diskursus altenatif untuk menawarkan pendapat yang berbeda dengan pendapat mayoritas. Seperti misalnya wacana vaksin nusantara yang digagas oleh DR. Terawan untuk solusi terhadap Pandemi Covid-19. Dimana oleh lembaga otoritas dianggap tidak memenuhi syarat untuk uji klinis tahap ke -3 karena dipandang tidak memenuhi standar yang dilakukan oleh uji klinis secara umum.
Padahal usulan dari anak bangsa untuk menyelesaikan permasalan bangsa harusnya didukung. Tapi ini seolah tidak didukung dan malah dimatikan dengan tudingan tertentu yang belum tentu benar. Seperti misalnya tudingan vaksin nusantara buatan luar negeri atau semacamnya. Jadi tudingan hoaks itu banyak membunuh karakter sehingga mematikan kreatifitas anak bangsa. Pada kasus vaksin nusantara misalnya harusnya dalam kondisi darurat vaksin harusnya tawaran dari vaksin nusantara diberi ruang untuk melakukan uji klinis selanjutnya.
Selain kasus DR. Terawan, yang terasa adalah tudingan hoaks kepada seorang dokter yang sampai dilaporkan oleh sesama dokter karena dituduh menyebarkan hoaks dan ditangkap oleh kepolisian walaupun sekarang dilepas dengan melarang dirinya untuk menyebarkan berita yang dianggap hoaks dan tidak menghilangkan barang bukti. Bahkan sampai seorang dokter tersebut dilabel sebagai orang yang mengalami orang dengan gangguan Jiwa (ODGJ) , yang kemudian dibantah oleh suami doter tersebut pada sebuah kesempatan. Sungguh tuduhan yang tidak berdasar dan sarana untuk membunuh karakter . Artinya melawan yang dianggap hoaks yang sebenarnya belum tentu hoaks dengan membunuh karakter pemberi wacana, tanpa diberi kesempatan untuk dialog.
Sehingga sebenarnya tindakan melawan hoaks dengan membunuh karakter sang penyebar adalah bisa dikatakan sebagai bentuk arogansi akan klaim kebenaran mayoritas terhadap wacana alternatif . Tanpa ada proses dialogis diantara dua wacana yang berbeda. Seolah-olah budaya dialogis untuk memecahkan adanya polemik dua sudut pandang pada satu persoalan nampaknya telah terkikis oleh pembelahan yang terjadi di masyarakat. Sehingga selama ini dengan melihat kenyataan bahwa setiap wacana alternatif yang berusaha menjelaskan atau menyampaikan solusi atas suatu persoalan selalu dimatikan terlebih dahulu tanpa ada proses dialogis dengan alasan yang kadang kurang masuk akal.
Sehingga persoalan yang seharusnya sudah terpecahkan sekarang menjadi lama dan tanpa ujung pangkan persoalan yang jelas. Tengoklah pada awal-awal pandemi Covid-19 ada temuan obat dari Universitas Airlangga yang seolah diaborsi terlebih dahulu dengan alaan metodologi tanpa ada bantuan atau kesempatan untuk uji klinis secara nasional, yang kemudian usulan obat dari unair ini seolah hilang tanpa bekas. Hal yang sama terjadi pada vaksi Nusantara yang lagi-lagi tidak diberi kesempaan untuk uji klinis tahap ketiga.
Dengan melihat berbagai contoh di atas maka bisa diambil suatu kesimpulan bahwa sekarang muncul gejala pembungkapan wacana alternatif yang dianggap hoaks karena bertentangan dengan kebenaran mayoritas dengan cara membunuh karakter dari sang peniup wacana alternatif atau penyebar berita. Sungguh ironis bukan!
Untung Dwiharjo
alumnus Fisip Unair
Selengkapnya baca di I