Perubahan iklim tak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga warisan kuliner dunia. Di Korea Selatan, kimchi, hidangan nasional yang telah menemani masyarakat selama ribuan tahun, kini terancam punah. Kenaikan suhu global mengancam tanaman kubis Napa, bahan utama kimchi, sehingga dikhawatirkan pada tahun 2090, kimchi seperti yang kita kenal akan berubah selamanya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Korea Selatan. Dari poutine di Kanada hingga aloo paratha di India, perubahan iklim menguji keberlangsungan hidangan-hidangan tradisional di seluruh dunia.
Kimchi bukan sekadar makanan, ia adalah simbol budaya Korea Selatan. Ketika astronot pertama mereka menjelajah angkasa pada tahun 2008, kimchi turut serta dalam misi tersebut. Makanan fermentasi pedas ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Korea selama lebih dari 3.000 tahun, bermula sebagai metode pengawetan sayuran di musim dingin. Kini, kimchi menghadapi tantangan baru, dan nasibnya bergantung pada upaya kita mengatasi perubahan iklim.
Kimchi, hidangan yang begitu lekat dengan identitas Korea Selatan, kini berada di ambang kepunahan. Bayangkan, makanan yang selalu setia menemani setiap hidangan di negeri ginseng ini, mungkin tak akan lagi sama di masa depan. Perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata bagi kimchi, dan kubis Napa, sang primadona dalam hidangan ini, menjadi korban utamanya.
Kubis Napa, yang tumbuh subur di dataran tinggi yang sejuk, kini merana akibat suhu yang semakin meningkat, curah hujan yang tak menentu, dan penyakit tanah yang merajalela. Petani pun semakin kesulitan mencari lahan subur untuk menanam tanaman ini. Bahkan, luas lahan pertanian kubis di dataran tinggi tahun lalu menyusut hingga kurang dari setengahnya dibandingkan 20 tahun lalu.
“Membayangkan tak bisa lagi membuat kimchi dengan kubis dari tanah kami sendiri, sungguh memilukan,” ujar seorang petani dengan getir. “Jika terus begini, mungkin kami harus menyerah membuat kimchi kubis di musim panas.” Sebuah kenyataan pahit yang mengancam warisan kuliner berharga Korea Selatan.
Para ilmuwan kini tengah berupaya keras mencari solusi untuk menyelamatkan kimchi. “Kami sedang mengembangkan metode penyiraman yang lebih efektif untuk menurunkan suhu dan memperluas penerapan metode pengendalian biologis guna melawan penyakit tanaman yang baru bermunculan. Dengan suhu yang terus meningkat, kami juga tengah bekerja menciptakan varietas kubis yang mampu bertahan dan tumbuh optimal meski dalam kondisi suhu yang lebih tinggi,” jelas salah satu ilmuwan.
Korea Selatan membutuhkan solusi yang tepat, dan waktu semakin mendesak. Para ahli memproyeksikan bahwa jika masalah ini tidak segera diatasi, pada tahun 2090, kubis tidak lagi dapat ditanam di dataran tinggi negara tersebut. Namun, ancaman terhadap makanan tradisional bukan hanya masalah Korea Selatan.
Di berbagai belahan dunia, perubahan iklim mengacaukan kondisi pertanian, membuat tanaman yang dulu cocok dengan iklim tertentu kini mungkin harus ditanam di lokasi yang berbeda. Ditambah lagi, banjir besar, kebakaran hutan, dan kekeringan semakin menghancurkan tanaman. Suhu laut yang meningkat juga membunuh kehidupan laut atau memaksa makanan laut keluar dari habitat aslinya, yang mengancam kelestarian banyak hidangan tradisional.
Bayangkan poutine khas Kanada, kentang goreng renyah berpadu keju lembut dan saus gurih. Kini, kentang Kanada menyusut akibat suhu naik, sapi stres kepanasan, keju langka. Bebek Peking pun terancam di Tiongkok, produsen terbesar dunia. Panas meningkatkan penyakit, bebek mati, hidangan mewah terusik.
Dari gallo pinto Kosta Rika hingga sushi Jepang, pasta Italia, ackee Jamaika, aloo paratha India, semua terdampak. Tanaman mati, lahan menyusut, cita rasa berubah. Perubahan iklim menggerogoti tradisi kuliner dunia. Tanpa tindakan cepat, bukan hanya hidangan klasik hilang, tapi makanan di meja pun terancam.