Pemahaman awam ditulis dalam novel tipis berjudul Bukan Pasar Malam (1951). Kita membaca sambil melihat Indonesia masa revolusi. Pram mencipta tokoh mengoceh tentang presiden, pekerjaan, uang, sakit, keluarga, makan, demokrasi, kota, dan lain-lain. Ia memberi cerita tapi âmembujukâ pembaca mengetahui cuilan-cuilan biografis.
Si tokoh harus pulang ke Blora untuk mengurusi bapak menanggungkan sakit. Duit cuma sedikit. Pulang mencipta beragam konsukuensi. Ia âmeninggalkanâ pekerjaan dan mencari utang demi bisa pulang. Di Jakarta, ia bekerja untuk bisa memenuhi pelbagai kebutuhan, terutama makan di keseharian. Persoalan-persoalan âgawatâ menggumpal bersumber kabar dari tanah asal: bapak sakit.
Kunjungan ke rumah sakit menimbulkan sedih dan bingung. Pram menceritakan percakapan tokoh bersama paman. Percakapan bernada berat. Paman menganjurkan: âBarangkali ajahmu sudah terlalu lama merindukan engkau. Bagaimana kalau engkau menunggunja di rumah sakit? Dan, kalau engkau ingin menulis, menulis sadja di sana.â Si tokoh itu penulis. Kita mengandaikan ada âkemiripanâ antara pengarang dan tokoh.
âEngkau bekerdja di mana sekarang?â Si tokoh menjawab: âBalai Pustaka â tapi baru tiga hari, dan aku berangkat kemari.â Ia sadar kesulitan mencari nafkah. Kondisi bapak makin memprihatinkan. Ia tak cukup uang. Situasi itu pelik. Tokoh hampir putus asa: âAku mengeluh. Dan malam kian mendalam.â
Selama di rumah dan rumah sakit, ia ingin bapak bisa makan dan adik-adik kecukupan makan. Masalah terbesar: uang. Indonesia masih merana. Orang-orang sulit mendapatkan pekerjaan menghasilkan uang. Makan mengharuskan dijawab setiap hari. Si tokoh menghadapi dilema-dilema.
Dulu, Pram memang pernah bekerja di Balai Pustaka. Di terbitan majalah Kunang-Kunang oleh Balai Pustaka, kita membaca nama Pram dalam dewan redaksi. Orang-orang mudah mengingat buku-buku Pram diterbitkan Balai Pustaka. Pada suatu masa, ia bekerja di sana meski cuma sebentar. Ia bekerja untuk pemenuhan segala kebutuhan hidup tapi tak mencukupi.
Bekerja di Jakarta tak mudah untuk kecukupan. Pram justru melihat kesenjangan. Di tatapan mata, politik makin hina. Lakon rebutan uang menampilkan kaum serakah dan kaum dipaksa kalah. Kota bukan tempat terindah dalam menjawab kebutuhan-kebutuhan pangan, sandang, dan papan.
Ajip Rosidi (1981) mengingat nasib Pram: âSetelah keluar dari penjara (Belanda), dia pernah bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka untuk beberapa lama. Kemudian, dia keluar dari sana karena hendak hidup semata-mata dari mengarang. Pada masa itu, dia banyak sekali menulis karangan cerita pendek maupun esai, yang melukiskan kesulitan hidup sebagai pengarang di Indonesia.â Pram sibuk dalam kesusastraan, tak melupa hal-hal minta dijawab demi bisa makan setiap hari.
Kita membuka buku berjudul Cerita Dari Blora (1952). Di situ, tokoh bunda dijadikan sosok pemberi nasihat bertema hidup. Pram sengaja menaruh ajaran agar para pembaca menentukan pendapat dan sikap. Kita baca nasihat bunda: âOrang hidup dari keringatnja sendiri, anakku. Kalau engkau sudah dewasa, engkau pun akan demikian pula. Dan, segala barang jang kau terima tidak dari hasil pekerdjaanmu sendiri itu tidak sah. Ya, sekalipun barang itu barang pemberian orang dermawan padamu.â
Pram mahir bercerita nasib manusia melalui pekerjaan-pekerjaan. Pertarungan mereka menimbulkan senang, kecewa, dendam, sedih, dan sesalan. Bekerja memungkinkan untuk makan. Bekerja tak memberi janji bahagia. Hidup dalam seribu masalah tak semua terjawab oleh pekerjaan. Harga diri tetap ditentukan kemauan menjadi manusia âberkeringatâ ketimbang menjadi penerima gratisan.
Kita simak masa lalu Pram, sejak masa revolusi. Ia ingin memajukan sastra. Di Jakarta, ia malah menghadapi beragam petaka dan kutukan. Janji mengarang tetap dipenuhi dalam godaan, jebakan, penghinaan, dan hukuman.
Pram (1983) mengenang: âRevolusi telah membawa aku ke pelbagai tempat, cerita yang hendak kutulis semakin terlupakan. Yang dilahirkan justru cerita tentang petualangan pengamen dan terjemahanâŚ
Setelah keluar dari dinas militer, ternyata yang dihasilkan juga lain, Di Tepi Kali Bekasi, karena dorongan keaktualan dan pengawetan kesan pengalaman yang baru saja ditinggalkan⌠Tercemplungnya diri dalam penjara semakin menjauhkan kesempatan untuk menjawab tantangan.â
Pram ingin selalu tampil sebagai pengarang, selain dokumentator dan editor. Ia mengerti jawaban atas hidup itu pekerjaan menghasilkan keringat sendiri seperti nasihat bunda. Ikhtiar menulis dan menulis menghasilkan buku-buku. Penerbitan buku dan penghargaan tak menjadi jawaban terbaik dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pram sering dalam kebingungan dan kekurangan.
Kini, kita memperingati 100 tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025) saat pekerjaan sebagai pengarang di Indonesia dalam kebimbangan. Para pengarang prihatin atas situasi ambruk indutsri media cetak. Di industri buku, para pengarang sadar publik terlalu berhitung dalam mengeluarkan uang untuk membeli buku.
Janji hidup dari mengarang diselenggarakan Pram masa silam itu menguak keberanian dan konsekuensi. Para pengarang masa sekarang mungkin tak mudah berjanji mengabdi dengan mengarang dan menjawab pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup. Begitu.
Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah