NKRI

Ketika Soeharto Menganggit Indonesia Menjadi Neo Majapahit

6 Mins read

Dingin dan tertutup. Itulah Soeharto. Soeharto menikmati kesuksesan gaya pribadi dalam sistem pemerintahan yang ia taris lebih ketat dengan budaya Jawa. Soeharto mengantisipasi dengan baik, menghirup kecerdasan politik untuk menyiagakan diri terhadap pelbagai kemungkinan di hadapannya, dan bertindak dengan kelicikan yang durkarsa untuk mempertahankan dan membebaskan dirinya dengan fantasi-fantasi autistik.

Pria “tertutup” ini mengikutsertakan dunia nyata dan membangun momentum kekuasaan yang nyaris tiada henti dan jarang melemah selama tiga puluh tahun. Dalam buku Young Soeharto: The Making of a Soldier, 1921-1945 (2021), David Jenkins mengisahkan, bahwa saat berpangkat letnan kolonel pada 1950-an kemudian menjabat sebagai Komandan Resimen Infranteri 15 Subteritorium IV, Kodam Diponegoro, Jawa Tengah, Soeharto telah berada di bawah bayang-bayang penyeludup militer.

Penyeludupan, dalam bahasa feodal, merupakan suatu apanase: penghasilan yang diperoleh sebagai hak karena pangkat seseorang dalam hidupnya. Andai tidak diberikan sama sekali, apanase itu bisa disita tanpa keraguan moral sama sekali. Dalam hal ihwal ini, sebagai presiden Soeharto menyerupai penguasa-penguasa Jawa di masa prakolonial.

Dengan cara-cara liyan juga, “ia memamerkan keberanian sebagai seorang pejuang, memanipulasi pelbagai kepentingan bawahan-bawahannya, mengatur kemunculan negoisasi pernikahan politik untuk memperkuat kekuasaannya dan merancang garis keturunan di masa depan,” ujar Theodore Friend dalam Indonesian Destinies (2003: 160).

Walakin, kesuksesan Soeharto sebagai presiden tidak seketika atau bukan tanpa kerentanan. Dari tahun 1965 sampai 1974, ia merupakan kepala para jenderal dalam pemerintahan militer yang birokrasinya tengah diperbaiki dari kerusakan total. Sejak 1974 sampai 1983 birokrasi tumbuh sangat besar dengan efektivitas tinggi dan peran militer tetap sangat penting, sementara Soeharto tetap mantap membangun kekuatannya sendiri dengan tekad baja.  Dari 1983 dan tahun-tahun berikutnya tampak adanya upaya membangun suatu dinasti.

Anggota-anggota militer yang lebih senior menua dan memudar dalam pengaruhnya; anggota-anggota muda mengejar karier di bawah komando Soeharto. Birokrasi tunduk pada kehendak presiden. Dan Sang Presiden, menjalin hubungan sebanyak mungkin dalam suatu pola yang tergantung pada dirinya, di masa-masa akhir tampak jelas mengatur dan menyiapkan untuk mengalihkan kekuasaannya pada keturunannya–anak perempuannya yang tertua, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut).

Mengamankan, Menguasai

Sebenarnya, pola umum taktik-taktik politik Soeharto cukup jelas. Operasi Khusus-nya Ali Murtopo merupakan salah satu cabang pendekatan ini, tetapi wujud utamanya muncul dalam pengembangan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Lembaga yang pada awalnya dibentuk dengan mandat untuk mengamankan negara terhadap ancaman komunis ini, tidak diragukan lagi, atas dorongan Soeharto, dan mungkin berbarengan dengan langkahnya untuk memusatkan kekuatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, semakin mewujudkan dirinya sebagai alat untuk menindas kalangan mana pun yang diduga mengancam negara (Wanandi 2018).

Tahun 1969, ruang gerak otoritas lembaga ini diperluas hingga meliputi berbagai jenis ekstremisme serta perilaku subversif, serta untuk memastikan kemanan dan integritas aparat pemerintahan. Soeharto, yang sudah melepaskan diri dari pengawasan operasional langsung atas ABRI dengan menciptakan jabatan panglima, dan diisi oleh Panggabean, mengalihkan, dengan cara serupa, pengendalian operasional Kopkamtib kepada wakil panglima, Sumitro.

Kopkamtib bukanlah kekuatan yang independen. Sebaliknya lembaga ini merupakan seperangkat otoritas baru yang diberikan kepada para panglima tentara di berbagai tingkat hierarki militer untuk mengambil langkah terhadap apa yang dipandang sebagai ancaman atas keamanan.

Di bawah arahan dan kepiawaian Sumitro dalam berorganisasi, reputasi Kompkamtib sebagai lembaga yang ditakuti pun semakin kuat terasa. Wewenang yang dimilikinya juga luas sekali serta semena-mena, termasuk wewenang untuk membredel atau melarang terbitnya surat kabar dan menangkap para demonstran. Kopkamtib, dengan demikian, menjadi alat utama dalam menegakkan wewenang pemerintah.

Dalam melaksanakan tugasnya, Kopkamtib dibantu oleh Badan koordinasi Intelijen Negara, yang mulai dari Januari 1970 dikepalai oleh Sutopo Yuwono dan bertanggung jawab atas intelijen di luar militer.

Di luar pemerintahan pusat, dominasi militer atas pemerintah daerah pun berjalan seirama. Menjelang 1969, jumlah para perwira militer yang menjabat sebagai bupati dan wali kota di seluruh Indonesia mencapai lebih dari separuh. Pada awal 1971, lebih dari 70 persen para gubernur dari 26 provinsi di Indonesia memiliki latar belakang militer, dan persentasenya pun bertambah tinggi sesudah itu. Itu bukanlah menyangkut masalah keamanan dan pengendalian, melainkan cara memberi akses ke bermacam-macam penghasilan tambahan yang ada dalam pemerintahan kepada pihak tentara, termasuk pengangkatan, lisensi, dan kontrak-kontrak.

“Penghijauan” daerah-daerah pun disempurnakan dengan dimantapkannya kegiatan-kegiatan “kekaryaan” lama.  Pada awal 1969, Angkatan Darat mengumumkan bahwa sepertiga pasukannya akan dikerahkan ke daerah-daerah perdesaan untuk membantu masyarakat-masyarakat pertanian.

Otonomi daerah, kendati terkadang dibahas, ternyata tidak banyak artinya: “pemberian otonomi daerah,” komentar Soeharto, “akan disesuaikan dengan kemampuan daerah yang tidak memungkinkan menyelenggarakan rumah tangga sendiri maka secara teknis sulit untuk diberikan otonomi” (Elson 2008: 178).

Irian Barat

Mengamankan negara juga berarti merampungkan formalitas pengintegrasikan Irian Barat ke dalam negara Indonesia. Ketentuan-ketentuan dari perjanjian 1962 mengharuskan Indonesia menyelenggarakan plebisit (referendum) sebelum akhir 1969 guna menentukan pendapat rakyat tentang integrasi.

Dengan memahami, dan tanpa kecuali, pendapat elite politik Indonesia bahwa Irian Barat merupakan tahun 1966–Soeharto menyalahkan pemerintah Belanda yang menelantarkan keadaan mereka–dan setelah berwicara pada 1968 perihal plebisit yang hanya sebagai formalitas saja, tahun 1969 Soeharto merasa perlu menegaskan bahwa keputusan untuk menyetujui permisahan akan sama artinya dengan pengkhianatan.

Oleh sebab itu, Soeharto menginstruksikan Ali Moertopo untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memastikan bahwa rakyat Irian Barat memberikan suara yang menyetujui integrasi mereka dengan Indonesia. Pelbagai cara yang digunakan Ali serupa dengan cara-cara yang kemudian dia gunakan pada pemilihan umum 1971: perpaduan antara kebijakan untuk menakut-nakuti serta mengintimidasi (termasuk oleh Soeharto sendiri dalam pertemuannya dengan para kepala suku Irian di Jakarta), dan membujuk serta menyuap.

Cara yang disebut terakhir ini dilakukan dengan cara mendatangkan barang-barang konsumsi serta hadiah dalam jumlah amat besar ke Irian Barat dan membagi-bagikannya kepada para kepala suku setempat serta para wakil rakyat; selain itu, ada juga pelbagai upaya untuk melakukan konversi politik yang dijalankan oleh kader-kader Katolik asuhan Frater Beek.

Cara yang disebut pertama tampak jelas dilihat dari kuatnya kehadiran tentara, di bawah pimpinan Sarwo Edhie yang banyak dikagumi orang serta dapat diandalkan itu, yang tidak mengizinkan terungkapnya keinginan apa pun untuk merdeka, serta dengan leluasa menahan mereka yang berani menyuarakan pendapat-pendapat seperti itu. Pada akhirnya, Indonesia memutuskan bahwa “penentuan nasib sendiri” akan diselenggarakan oleh sidang-sidang konsultatif khusus yang akan mewakili aspirasi sejati rakyat. Ali Moertopo memastikan agar sidang-sidang ini cukup banyak dihadiri oleh orang-orang Irian yang prointegrasi.

Pada Agustus, sidang-sidang ini menghasilkan suara setuju yang diharapkan, dan Soeharto secara resmi menetapkan Irian Barat sebagai ‘provinsi otonom’ Indonesia titimangsa 16 September 1969. Kendati ada protes-protes yang disampaikan oleh wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa, F. Ortiz Sanz, tentang pembatasan-pembatasan yang diberlakukan dalam pelaksanaan hak-hak rakyat, terutama masalah kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, PBB, titimangsa 19 November ‘mencatat’ hasilnya tanpa mengajukan perbedaan, yang merupakan langkah praktis mengesahkan ‘plebisit’ serta memperluas pengakuan formal kedaulatan Indonesia atas wilayah tersebut.

Mengenai perannya sendiri, Soeharto pada Oktober 1969 mengumumkan rencana untuk membantu pengembangan Irian dengan menitipkan 200.000 anak-anak Irian pada keluarga-keluarga Indonesia (Drooglever 2011). Arkian, naiknya Soeharto ke jabatan kepresidenan, situasi politik dengan potensi eksplosif yang mendahuluinya, serta pelbagai upaya sesudahnya untuk menegaskan kekuasaan politik nan luas, praktis mengakhiri sisa-sisa dukungan antusias mahasiswa dan kalangan sipil reformis terhadap rezim yang anyar terkonsolidasi tersebut. Soeharto sendiri menegaskan bahwa para mahasiswa harus menyesuaikan diri dengan realitas-realitas baru ini.

Selain itu, ada kesan bahwa gerakan mahasiswa yang mulai retak itu, yang sebelumnya tergalang sesaat hanya berkat keinginan mereka untuk membebaskan negeri dari Sukarno dan para pendukungnya, semakin kehilangan daya dan sedang mencari-cari agenda anyar untuk mempertahankan momentumnya yang turun. Selain itu, beberapa dari tokoh-tokoh utama mahasiswa menggabungkan diri dengan rezim, dengan memainkan peran “fungsional” di dalam lembaga-lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat.

Akan tetapi, para mahasiswa yang menolak untuk diredam, mulai melancarkan kecaman-kecaman mereka terhadap rezim yang ikut mereka bantu kelahirannya ini, dengan menjadikan tokoh-tokoh senior tertentu di dalam Orde Baru yang mereka anggap korup sebagai sasarannya. Tanggapan Soeharto sejalan dengan meningkatnya kepekaan terhadap kecaman serta sikap-sikap rezimnya yang semakin otoriter, kendati sesekali ada pernyataan tentang kepekaan pemerintahannya terhadap kritik-kritik yang “membangun”.

Menurut Harold Crouch dalam The Army and Politics in Indonesia (2007), dalam satu pertemuan dengan para pemimpin Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia, Soeharto mengatakan bahwa demonstrasi tidak lagi sesuai dengan keadaan sekarang ini, sebab dalam masa pembangunan, cara-cara seperti itu mengganggu ketenteraman dan ketenangan serta usaha stabilisasi politik yang telah dirintis.

Tatkala, pada Agustus, sebuah majalah menegaskan bahwa Soeharto telah memerintahkan “de-Siliwangisasi” Angkatan Bersenjata, dia menyebutnya laporan itu “fitnah”, seraya menambahkan bahwa dia bermaksud memerintahkan Kejaksaan Agung untuk memulai penyelidikan atas mingguan tersebut. Sejalan dengan munculnya gejala kekakuan dan kepercayaan diri politiknya yang semakin meningkat ialah keengganannya yang semakin kentara dalam menanggapi pertanyaan para wartawan. Akan tetapi, sudah tentu ada pengecualian.

Bulan Februari 1969, Soeharto menerima limapuluh lima wartawan Amerika Serikat, yang datang berkunjung atas bantuan kementerian penerangan, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Akan tetapi, keterlibatannya secara langsung dengan pers pun cenderung lebih erat ditentukan dan dibatasi pada peristiwa-peristiwa yang dia pandang dapat mendatangkan keuntungan politik yang jelas dengan cara mengakomodasi media.

Maka, titimangsa 1 April, hari pencanangan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), ia menggunakan “personal approach”, dengan menerima wartawan-wartawan Jakarta di Istana Bogor agar dapat melibatkan media dengan lebih baik dalam tugas menyukseskan Repelita. Pertemuannya dengan para wartawan, dalam kunjungan kerjanya ke Jerman Barat pada Agustus 1970, tampaknya dimaksudkan untuk mencairkan kesannya di kalangan media sebagai figur kuat tentara (Hill 2006).

 

 

Muhammad Iqbal

Sejarawan IAIN Palangka Raya. Menulis tiga buku: Tahun-Tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021), dan Bermula dari Cerita Abah: Pemikiran Islam, Politik Islam, dan Islam Tradisi (Yogyakarta: Tanda Baca, Mei 2022).

1672 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
NKRI

Ayat, Ambisi, dan Api Konflik: Eksploitasi Religi dalam Kekerasan Maluku

3 Mins read
Konflik kekerasan kembali mencederai tanah Maluku. Pekan lalu, di Seram Utara, Maluku Tengah, bentrokan pecah antara masyarakat Sawai yang mayoritas Muslim dan…
NKRI

Rupiah Terus Tertekan: Indonesia di Mana?

2 Mins read
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan publik. Pada 9 April 2025, rupiah dibuka pada level Rp16.900…
NKRI

Melawan Pelintiran Kebencian di Maluku; Belajar dari Masa Lalu

2 Mins read
Baru-baru ini terjadi konflik sosial antara warga Desa Sawai dan Desa Rumah Olat, di Seram Utara, Maluku. Idealnya, konflik tersebut dapat terselesaikan…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.