Dunia pesantren memang selalu menarik untuk diceritakan. Selain karena sistem sekolah berasramanya, pesantren juga dapat menjadi sarana menumbuhkan kemandirian anak-anak lewat cara memenuhi kebutuhan perut setiap hari, terlebih di bulan Ramadan seperti saat ini. Dua waktu yang pasti tak bisa dilewatkan saat bulan puasa adalah waktu berbuka dan bersantap sahur.
Berbuka menjadi hal yang paling ditunggu karena dari pagi hingga sore harus menahan segala hal yang berkaitan dengan urusan perut, sedang bersantap sahur menjadi hal yang sulit ditinggal sebab diharapkan menjadi ‘bekal’ untuk menahan lapar maupun dahaga setelahnya. Menariknya, para santri memiliki cara-cara yang unik dalam memaksimalkan dua waktu tersebut.
Berbuka di Masjid dan Bersantap Sahur ala Chef
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para santri kerap akrab dengan kesulitan ekonomi, sehingga mendapatkan menu buka secara gratis akan menjadi kabar baik di tengah menahan rasa lapar menjelang berbuka. Saat masih menjadi santri di pesantren dulu, saya dan kawan-kawan sering mencari menu buka gratisan di masjid yang tak jauh dari pondok.
Hal yang membuat kegiatan ini terasa menyenangkan adalah kebersamaan bersama kawan. Kami berjalan bersama menuju masjid dengan membayangkan buka puasa yang seru, meskipun tak jarang kami harus berjalan dengan kaki nyeker alias tanpa alas kaki. Pemandangan seperti ini sudah biasa dalam kehidupan pesantren, karena menjaga keberadaan sandal sama sulitnya dengan menangkap belut menggunakan tangan kosong.
Tak hanya waktu berbuka yang menarik untuk dikisahkan, waktu bersantap sahur juga menjadi kisah yang tak boleh dilewatkan begitu saja. Kebanyakan para santri melakukan santap sahur dengan cara memasak bersama-sama di dapur yang telah disediakan oleh pondok pesantren.
Beberapa santri mendadak berlagak menjadi seorang chef andal yang bisa membuat menu apapun, mulai dari tempe serta tahu yang bisa terasa seperti daging sapi hingga secobek sambal yang sesumbarnya tidak kalah lezat dengan restoran-restoran ternama. Aktivitas memasak dimulai pukul 01.30 dengan tugas yang dibagi oleh seorang santri yang dipercaya sebagai ‘koki’. Ada yang bertugas mengiris tempe serta tahu sekaligus menggorengnya, ada juga yang bertugas memasak beras agar menjadi nasi yang enak dan lembut, hingga yang bertugas mencari beberapa potong daun pisang sebagai alas makanan nanti.
Ketika masakan telah siap disajikan di atas daun pisang, maka para santri akan duduk memutari beberapa helai daun pisang sembari menunggu nasi; sambal; dan lauk disajikan di atasnya. Kebetulan area dapur pondok saya cenderung sedikit gelap, sehingga kondisi sekitar dapur terkesan remang-remang. Pernah suatu kali saat bersantap sahur, saya tertipu dengan sebiji laos yang saya sangka seiris daging sapi gegera penerangan yang minim.
Seketika kejadian ini memicu gelak tawa kawan-kawan saya yang bukannya iba malah tertawa bahagia. Harus diakui, memang awalnya seperti kena jebakan, namun ketika sudah tak duduk di sana lagi seperti dulu, kini saya kembali merindukan masa-masa kena jebakan itu lagi di depan dapur dengan cahaya remang-remang, menunggu wajah-wajah polos kawan-kawan yang sudah tidak sabar menikmati menu santap sahur. Pertanyaannya, adakah yang lebih sendu dari gemeletuk suara gigi yang mengunyah nasi sembari berharap kehangatan seperti ini tetap abadi?
Berbuka Hanya dengan Segelas Air
Di balik keunikan dan keseruan cara berbuka para santri di pondok pesantren, tersimpan kisah-kisah mengharukan. Satu di antaranya adalah seorang teman saya mondok dulu yang bernama Bahus (nama samaran). Bahus merupakan seorang santri yang pendiam juga pemalu, sehingga jarang ada santri lain yang sangat akrab dengannya. Sebagian besar santri hanya bergaul seadanya⸻basa-basi santri. Suatu waktu saat memasuki pertengahan bulan Ramadan, kulihat dia hanya berdiam diri di kamar, padahal santri-santri yang lain sudah mulai sibuk mempersiapkan buka puasa. Saya yang sebenarnya juga ‘agak’ malas ngobrol dengannya terpaksa menyempatkan diri untuk bertanya apakah dia tidak bersiap-siap membeli/memasak menu berbuka puasa.
Bahus hanya menggeleng sembari tersenyum, namun kulihat ada sorot gelisah dari sudut matanya. Akhirnya saya diam-diam menunggu azan Magrib untuk memastikan dugaanku. Ternyata dugaanku benar. Bahus hanya berbuka puasa dengan segelas air. Seketika itu juga saya menghampirinya dan dibalas dengan ekspresi kaget. Bahus akhirnya bersedia bercerita bahwa kiriman dari orang tuanya belum juga datang sejak dua hari lalu. Sejak kemarin Bahus hanya berbuka dan bersantap sahur dengan banyak-banyak meminum air putih. Beruntungnya kemarin saat berbuka ada santri sekamar yang mendapatkan kiriman banyak nasi dari orang tuanya untuk dimakan oleh santri-santri sekamar. Selain itu, Bahus hanya mengisi perutnya dengan air putih.
Mengamati ketulusan Bahus dalam menjalankan ibadah puasa, mungkinkah saat ini ia telah menjadi wali? hehehe. Bahus, masih ingatkah engkau padaku yang saat itu mengajakmu berbuka puasa bersama?