Jaga Pilar

KH Abdul Fatah, Perintis Pesantren Al-Fatah Parakancanggah

3 Mins read

Nama kecilnya Abdullah Faqih. Lahir pada tahun 1860 di Sawangan –sebuah dusun di Desa Selagara, Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara.

Di kemudian hari almarhum lebih dikenal sebagai KH Abdul Fatah PARAKANCANGGAH. Beliau tidak lain adalah perintis Pondok Pesantren Al-Fatah Parakancanggah Banjarnegara.

Mbah Abdul Fatah, demikian sapaan akrabnya, merupakan anak kedua dari Kiai Naqim.

Keempat bersaudara putra Kiai Naqim adalah Yahya, Abdullah Faqih (Abdul Fatah), Bahri, dan Dahlan.

Masa kecil Abdul Fatah dihabiskan kampung kelahirannya, mengaji dan belajar agama kepada sang ayah. Pendidikan formalnya hanya Sekolah Rakyat (SR) atau setingkat SD.

Maklum, di masa penjajahan Belanda waktu itu kaum pribumi tidak punya kesempatan untuk meneruskan pendidikan ke sekolah lanjutan yang lebih tinggi.

Tetapi, hal itu tak menyurutkan semangat pemuda Abdul Fatah untuk terus menimba ilmu, terutama ilmu ke-Islam-an.

Sebagai anak seorang petani, Abdul Fatah muda melewatkan masa kecilnya membantu orang tua bercocok tanam di sawah.

Kehidupan tani justeru membentuk pribadinya menjadi sosok yang ulet dan tangguh.

Semasa kecil, karakter Abdul Fatah sebagai calon pemimpin sudah mulai tampak. Akhlak dan budi pekertinya terpuji, kecerdasannya di atas rata-rata, taat beragama, serta berbakti kepada orang tua.

Itulah hal yang menonjol pada dirinya semenjak muda.

Setamat SR, pemuda Abdul Fatah bertekad memperdalam ilmu pengetahuan agama kepada para ulama. Pesantren Gunungtawang (Wonosobo) adalah tempat yang mula-mula dituju.

Di pesantren ini, Abdul Fatah berguru kepada Kiai Balqin. Selain nahwu-shorof (gramatika bahasa Arab) ia juga mempelajari ilmu fiqh, tauhid, dan tasawuf.

Seusai merampungkan pendidikan di Gunungtawang, pemuda Abdul Fatah meneruskan mengaji kepada Kiai Syuhada di Banjarnegara.

Kemudian melakukan pengembaraan ilmiah ke Pesantren Kaweden (Kaliwedi?) di wilayah Banyumas, yang tak jauh dari Kroya.

Di pesantren ini, Abdul Fatah muda banyak melakukan riyadhoh (tirakat), puasa, dan amaliah lain dalam rangka mendekatkan diri kepada Sang Khalik.

Konon, dua tahun lamanya Abdul Fatah menjalani laku prihatin: makan daun pace.

Setelah mendapat restu sang guru, Abdul Fatah berpamitan untuk nyantri ke Jawa Timur.

Terlebih dahulu, ia bermaksud pulang bertemu kedua orang tuanya di kampung halaman (Sawangan).

Perjalanan pulang ke rumah ditempuhnya dengan jalan kaki mengingat angkutan umum masih sulit didapat waktu itu.

Dalam perjalanan pulang ke Sawangan, saat dirinya melintasi Desa Parakancanggah, azan magrib terdengar berkumandang.

Takut keburu waktu magrib habis, pemuda Abdul Fatah memilih singgah di rumah Kepala Desa setempat untuk sekadar salat magrib.

Tak disangka-sangka, ternyata di dusun ini Abdul Fatah bertemu jodohnya.

Singkat kisah, Kepala Desa Parakancanggah (Mbah Rebath) tertarik pada pribadi dan kealiman Abdul Fatah.

Akhirnya, ia dinikahkan dengan gadis kecil bernama Sinun binti Danu. Gadis ini tak lain adalah salah seorang cucu Mbah Rebath, yang saat itu baru berusia enam tahun.

Setelah melaksanakan akad nikah, Kiai Abdul Fatah melanjutkan nyantri ke Jawa Timur. Lagi-lagi, perjalanan sekira 300-an kilometer kali ini ditempuhnya dengan berjalan kaki.

Pondok pesantren di Jawa Timur yang dijelajahi Kiai Abdul Fatah untuk memperdalam ilmu agama antara lain Pesantren Mangunsari, Pesantren Cepoko dan Pesantren Mojosari –ketiganya terletak di daerah Nganjuk.

Semasa belajar di Pesantren Mojosari Nganjuk, konon Kiai Abdul Fatah sempat bertemu KH Abdul Wahab Chasbulloh –salah satu pelopor berdirinya jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU).

Seusai nyantri di Mojosari, Kiai Abdul Fatah melanjutkan belajar di Pesantren Josremo (Surabaya).

Sekitar 17 tahun lamanya Kiai Abdul Fatah melakukan pengembaraan ilmiah dari pesantren satu ke pesantren lain.

Setelah malang melintang mencari ilmu agama di berbagai pesantren salaf, tahun 1897 KH Abdul Fatah kembali ke Banjarnegara dan memutuskan diri untuk mukim di Parakancanggah hingga akhir hayatnya.

Penguasaan atas ilmu agama menjadikan KH Abdul Fatah sebagai pribadi yang alim serta disegani. Tak mengherankan jika kepulangannya dari Jawa Timur ke Parakancanggah diikuti banyak santri yang ingin nyantri kepada beliau.

Semula, kiai tinggal di Parakancanggah Wetan yang tak jauh dari jalan raya. Tak lama berselang, beliau memutuskan pindah ke lokasi yang lebih nyaman; maka dipilihlah wilayah Jambansari (Parakancanggah Kidul). Di tempat ini beliau mendirikan masjid (1901), yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Ma’had (Pondok Pesantren) Al-Fatah.

Sebagai muslim yang taat, KH Abdul Fatah pun merasa berkewajiban menunaikan rukun Islam kelima –haji ke Baitullah. Keberangkatan haji pada tahun 1918, ternyata menjadi tonggak bersejarah bagi perkembangan Pesantren Al-Fatah dan syiar Islam di Banjarnegara di masa-masa selanjutnya.

Waktu itu KH Abdul Fatah dipercaya masyarakat Banjarnegara memimpin rombongan calon-calon tamu Allah. Selain menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya (1918), beliau berkesempatan memperdalam ilmu tasawuf di Tanah Suci.

Dikisahkan, beliau mengikuti suluk selama 80 hari di bawah bimbingan Syekh Ali Ridlo bin Syekh Sulaiman Zuhdi (Jabal Qubais). Bahkan, dirinya diberi amanah oleh sang guru (Syekh Ali Ridlo) menjadi mursyid dengan tugas mengembangkan tarekat Naqsabandiyyah Kholidiyyah di Tanah Jawa.

Perkembangan berikutnya, Parakancanggah tidak saja menjadi pusat aktivitas santri muda namun juga sebagi pusat suluk bagi para santri lansia yang menekuni kehidupan tasawuf. Seiring perjalanan waktu, Al-Falah terus bertumbuh-kembang menjadi lembaga pendidikan Islam alternatif. Selain kental dengan model pengajaran tradisional ala pesantren salaf, di Al-Falah pun tersua sejumlah lembaga pendidikan formal.

Lembaga formal yang ada saat ini meliputi Madrasah Ibtidaiyyah (MI; setara SD); Madrasah Tsanawiyah (MTs; setara SLTP); Madrasah Aliyah (MA; setara SLTA); dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

”Saya dulu ngaji dan juga sekolah di Pesantren Al-Fatah,” kata Mantiq Jaya Murtadlo, santri yang juga alumnus SMK Al-Fatah.

Meskipun KH Abdul Fatah telah berpulang ke haribaan Allah tiga perempat abad silam, namun jasa dan perjuangannya akan terus dikenang. Almarhum meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 20 Rabiul Akhir 1361 –bertepatan dengan 6 Mei 1942. Usia beliau waktu itu 82 tahun (1860-1942).

Dari pernikahan dengan Nyai Sinun, KH Abdul Fatah menurunkan tiga orang putri dan tiga orang putra. Mereka adalah Siti Maryam (wafat semasa muda), Siti Badryah (istri KH Damanhuri), Umi Kulsum (istri KH Chamzah), KH Hasan, Qomarudin (wafat muda), dan KH Ridlo. (Akhmad Saefudin SS ME, Penulis Buku 17 Ulama Banyumas).

Selengkapnya baca di sini

2121 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Jaga Pilar

Kemenkum Maluku dan Densus 88 Perkuat Sinergi Pencegahan Terorisme

1 Mins read
Kementerian Hukum (Kemenkum) Maluku bersama Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polda Maluku menjalin kerja sama dalam bidang pencegahan terorisme di daerah…
Jaga Pilar

Muhammadiyah Harus Kembangkan Pilar Keempat

1 Mins read
Di hadapan segenap keluarga besar Universitas Muhammadiyah Jember, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Muhadjir Effendi menegaskan pentingnya Muhammadiyah mengembangkan pilar keempat,…
Jaga Pilar

Bela Palestina Bukan Bela Khilafah dan Ekstremisme, Hati-hati!

4 Mins read
Wakil Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (MUI) Najih Arromadloni mengingatkan masyarakat Indonesia untuk mewaspadai propaganda jihad khilafah berkedok…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *