Pilarkebangsaan.com – Kamis 07 Oktober 2020 kemarin menjadi hari terakhir Keluarga Besar Pesantren Salafiyah Kota Pasuruan dan Mambaus Sholihin Gresik memberikan penghormatannya pada sosok mulia yang hidupnya banyak dipenuhi keberkahan, yaitu Romo KH. Asfihani bin KH. Abdullah Faqih, Suci Gresik.
Sebagai adik kandung KH Masbuhin Faqih, figur KH. Asfihani Faqih sangat sederhana. Jika dipandang wajahnya secara saksama, akan tampak wajah teduhnya. Beliau adalah salah satu kiai yang ahli ibadah dan wirid.
Kiai Hani adalah panggilan para santri Mambaus Sholihin Gresik pada beliau, sedangkan santri Pasuruan memanggil beliau dengan Ustaz Asfihani. KH. Asfihani Faqih pertama kali mendapat pendidikan dari Abahnya sendiri, kemudian oleh Abahnya diminta mondok ke Surabaya dalam asuhan waliyullah Mbah Yai Usman (KH. Usman al-Ishaqi, Mursyid Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah Khalifah KH. Romli Tamim).
Saat mengenyam pendidikan di pesantren, banyak riwayat dan cerita menyatakan bahwa kebanyakan waktu beliau diusahakan untuk hanya khidmah pada Mbah Yai Usman sehingga mempunyai hubungan batiniyah khusus dengan keluarga Mbah Yai Usman.
Beberapa tahun kemudian, beliau melanjutkan nyantri pada waliyullah Mbah Yai Hamid (KH. Abdul Hamid) Pasuruan dan kepindahan inipun ada yang menceritakan pada penulis atas permintaan Mbah Yai Hamid pada Mbah Yai Usman.
Seperti halnya di Surabaya, di Pasuruan-pun kebanyakan waktu mondok beliau sibukkan untuk khidmah dan menjalin kedekatan dhahir dan batin dengan Mbah Yai Hamid. Masyhur di kalangan teman-teman santri yang semasa dengan beliau bahwa Mbah Yai Hamid mboten kerso kalau pakaian-pakaian beliau dicuci oleh keluarga atau santri beliau, beliau hanya kerso kalau Kiai Hani saja yang berhak mencuci pakaian beliau.
Sejak mondok di Pasuruan, segala laku kehidupan Kiai Hani coba beliau sesuaikan dengan segala tindak laku sang Guru (Mbah Yai Hamid). Mulai dari cara beribadah, berjalan, hinggga bermuamalah dengan sesama dimiripkan dengan sang Guru. Sampai-sampai para santri Salafiyah Kota Pasuruan yang tidak menjumpai kepengasuhan Mbah Yai Hamid selalu diceritai oleh para senior dan asatiznya; “Jika ingin mengetahui bagaimana Mbah Yai Hamid berdoa, berjalan, makan dst., maka cukup lihat Ust. Asfihani”.
Kiai Hani terbilang salah satu santri kesayangan Mbah Yai Hamid, bukti sayang Mbah Yai pada beliau adalah bahwa beliau diwasiati Mbah Yai untuk menjadi imam penggantinya pada jemaah shalat Subuh di Pesantren Salafiyah, dinikahkan dengan kerabat Mbah Yai dan beliau pernah bercerita pada penulis: “Aku nikah yo, pilihan e Mbah Yai Hamid da…(“da” nama panggilan beliau pada penulis), omah iki yo kerso e Mbah yai, disuwun njogo, ngurip-nguripi (menjadi Takmir) masjid, iki yo kerso e beliau”.
Beliau juga mendapat warisan sorban yang dengannya beliau sering pakai dalam segala aktivitas ibadah untuk tabarrukan dengan sang Guru. Tak jarang sorban tersebut juga akan dipakaikan oleh beliau pada santri yang akan dinikahkan oleh beliau, “Iki engoen, tabarrukan nang Mbah Yai Hamid”. Kalimat itu yang biasa beliau tuturkan sesaat sebelum mengalungkan sorban tersebut pada si santri yang akan diakadi oleh beliau. Perihal akad nikah, beliau pernah matur pada penulis; “Santri seng tak akadi, insyaallah gak bakal pisah (cerai)”, hal ini beliau katakan dengan yakin dan dengan tabarrukan pada sang Guru Mbah Yai Hamid.
Sorban ini terbilang istimewa sebab diriwayatkan oleh beliau bahwa banyak saat ibadah Mbah Yai Hamid hampir selalu memakai Sorban tersebut. Hingga seandainya bukan karena dawuhnya Mbah Yai bahwa sorban tersebut tidak boleh diwariskan selepas wafat beliau, tentu putra-putra beliau dengan senang hati akan menyimpan sorban tersebut untuk ber-tabarruk. Pada akhirnya, sorban Mbah Yai tersebut ikut dikebumikan bersama jasad Romo Yai Hani pada Kamis 07 Oktober 2020 kemarin, Imtithālan li amr al-Shaykh.
Atas kepergian beliau, KH. Tajul Mafakhir bersaksi bahwa Kiai Hani adalah sosok santri yang saleh dan disenangi oleh Kibār Shālihīn fī ‘Asrihim. Sosok santri ahli khidmah yang mempunyai hubungan batiniyah istimewa dengan Mbah Yai Usman dan juga Mbah Yai Hamid. Hal ini pun sudah diketahui secara masyhur di kedua keluarga besar Mbah Yai Usman dan Mbah Yai Hamid.
Kedekatan batiniyah ini terlihat saat beliau sakit. Diceritakan oleh Ipar beliau yang mengasuh pesantren di daerah Tamba’an, Panggungrejo Pasuruan, bahwa saat sakit menjelang kepergian beliau, beliau sering cerita pada keluarga dan pada sang Ipar tersebut tentang kehadiran Mbah Yai Usman, kadang Mbah Yai Hamid bergantian datang pada beliau. Kedua Guru mulia tersebut dawuh; “Hani, koen wes tak entheni” [Hani, kamu sudah saya tunggu].
المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seseorang itu akan bersama dengan orang yang ia cintai”.
Sebagaimana Hadis Sahih di atas, kami para santri yakin bahwa beliau di alam barzakh sana telah dikumpulkan dengan kedua guru mulia beliau tersebut. Wa lahum al-Fātihah.