Pilarkebangsaan.com – Beliau bernama lengkap Moh. Djamaluddin bin Achmad bin Hasan Mustajab bin Hasan Musthofa bin Hasan Mu’ali. Lahir pada tanggal 31 Desember 1943 di kampung kedungcangkring Desa Gondanglegi, kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk. Ayah beliau bernama Achmad bin Hasan Mustajab dan Ibunya bernama Hj. Mahmudah. Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara.
Pada tahun 1965 beliau berangkat ke pondok pesantren Tambakberas Jombang. Saat itu beliau masuk Madrasah Ibtidaiyyah duduk di kelas 2 dan di pertengahan tahun beliau langsung masuk kelas 3. Pada tahun 1959 beliau tamat MI kemudian masuk Mu’allimin. Karena kepandainnya, beliau lulus dari Muallimin lebih cepat. Saat beliau masih duduk di kelas 3 sudah diperintah KH. Fattah untuk mengajar di Madrasah Wajib Belajar (MWB) di lingkungan pondok Tambakberas.
Djamal muda juga mengajar di salah satu pondok putri milik KH. Fattah yakni Pondok Pesantren Putri Al-Fathimiyyah dan mengajar di salah satu pondok putra yang sekarang diberi nama Pondok Induk Tambakberas Jombang. Pada tahun 1965 beliau meneruskan untuk mondoknya di Salatiga dan di Lasem. Saat mondok di Lasem beliau kembali menjadi kepercayaan, dan mendirikan organisasi santri yang meliputi: Jam’iyyatul Qurro’ wal Huffadz, Bahtsul Masa’il, Jam’iyyah Dzibai’yyah dan olahraga badminton, volly, dan pencak silat.
Dua tahun kemudian beliau dipercaya lagi untuk dijadikan sebagai lurah pondok di sana, setelah itu banyak kiai yang mengaji di beliau. Setelah selesai nyantri di Lasem beliau berkeinginan untuk meneruskan mengaji di Demak. Sebelum berangkat, beliau mendapat sepucuk surat dari sang Ibu yang berisi “Nak, pulanglah, Ibu rindu”, seketika itu beliau langsung menangis, karena bingung mau memilih ibunya atau belajarnya.
Pada akhirnya Kiai Djamal sowan ke Kiai Baidlowi Lasem kemudian Kiai Baidlowi mengatakan “Nak, anak yang baik itu berbakti kepada kedua orangtuanya”, setelah itu Kiai Djamal pulang, dan saat pulang itu beliau tidak memberitahu KH. Fattah, akan tetapi saat itu KH. Fattah mengetahuinya dan beliau niat untuk mengakadkan K.H. Djamaluddin Achmad dengan putrinya. Tidak lama setelah menikah beliau mempunyai pesantren sendiri di Jombang dan diberi nama Al-Muhibbin yang sekarang diasuh oleh putra beliau yang bernama K.H. Moh. Idris Djamaluddin.
Pondok pesantren tersebut merupakan pesantren yang pernah saya tempati mondok, diasuh oleh putrinya yang bernama Bu Nyai Hj. Ummi Salamah Djamal sekaligus menantu beliau K.H. Muh. Yahya Husnan pondoknya bernama PP Al-Mardliyah, pondok kitab salaf dan pondok tahfidz. di pondok ini mempunyai kebiasaan yang bertahan sampai sekarang yaitu setiap malam selasa ada pengajian Kitab Hikam yang diasuh langsung oleh KH. Djamaluddin Achmad, pengajiannya diikuti oleh banyak santri dan jama’ah dari penjuru Indonesia dan juga disiarkan di radio-radio.
Pengajian ini yang memakai kitab Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari, tujuan dari pengajian ini adalah menggali potensi hati untuk selalu berdzikir kepada Allah baik secara teoritis maupun praktis. Selain kitab Hikam, ada juga pengajian kitab Dalail al-Khairat setiap akhir bulan Syawal dan ketika sudah khatam, K.H. Djamaluddin Achmad mengajak para jemaahnya untuk ber-mushafahah.
Beliau juga mempunyai pengajian-pengajian yang dikhususkan untuk ibu-ibu fatayat, ibu-ibu muslimat, IPPNU, PKK, dan RW setempat dengan materi seperti halnya kajian tasawuf. Tujuannya adalah untuk membangun wawasan tentang ilmu tasawuf. Selain aktif di pengajian Hikam, beliau juga terkenal dengan Tarekat Syadziliyyahnya dan memperkenalkan tarekat ini di Tambakberas Jombang.
Pada awalnya beliau tidak mempunyai niatan sama sekali untuk mengajak masyarakat sekitar untuk mengikuti Tarekat Syadziliyyah. Kejadian ini berawal dari kegiatan yang pernah saya ikuti juga bertempat di masjid pesantren al-Muhibbin. Kegiatannya adalah salat, zikir, dan berdoa mendekatkan diri kepada Allah, kegiatan ini disebut dengan khususiyah.
Dalam pandangan salik membaca zikir dilakukan dengan menarik nafas yang terpusat di pusar menuju ke atas melalui rongga dada sampai keluar melalui mulut, kemudian menariknya kembali ke lisan. Pada saat itu K.H. Djamaluddin mengikuti baiat dari Alm. KH. Abdul Djalil Mustaqim, pengasuh pondok PETA Tulungagung, Jawa Timur. Dari pengalaman pribadi, saya pernah ke pondok PETA untuk sowan sekaligus berziarah ke pusara guru beliau, tempatnya bersih dan menyejukkan hati.
Pun di tempat itu banyak sekali tulisan-tulisan tentang hadis dan al-Qur’an yang kebanyakan membahas tentang tata krama, karena hal ini ingin selalu ditancapkan pada diri semua salik. Dari kegiatan khusyusiyah tersebut, lama-kelamaan pengikutnya semakin meningkat dan berkembang pesat. Tarekat Syadziliyyah ini termasuk tarekat yang terorganisir.
Adapun pokok tarekat Syadziliyyah ada lima, antara lain: Pertama, bertakwa kepada Allah lahir dan batin dalam pribadi sendiri maupun di khalayak umum. Yakni dengan berperilaku wara’ (menjauhi dari semua barang makruh, subhat, dan haram). Kedua, mengikuti sunnah Rasul dalam semua perkataan dan perbuatannya, yakni selalu waspada dan melakukan budi pekerti yang baik, Ketiga, menghiraukan sesuatu yang mereka suka maupun yang dibenci yakni sabar dan tawakkal kepada Allah.
Keempat, rida tentang sesuatu hal yang sedikit atau banyak, ringan maupun berat. Adapun cara dari nomor tiga adalah dengan qana’ah di setiap pemberian dari Allah, dan yang kelima, adalah kembali kepada Allah baik dalam keadaan suka maupun duka. Yang terakhir ini cara beliau bisa konsisten untuk ngaji Hikam saat pandemi yaitu pengajian dilakukan secara online di Youtube. Semoga Allah selalu memberikan kesehatan jasmani dan rohani kepada KH. Djamaluddin Achmad, dan guru-guru kita, Amin.