Kiai Thoifur lahir dari pasangan Kiai Ali Wafa dan Nyai Mutmainnah binti Dzil Hija. Silsilah dari ayahnya bersambung ke Syeikh Abdul Kudus (akrab disebut al-Jinhar) yang tinggal di desa Sariqading. Sedangkan dari jalur ibunya, beliautermasuk bagian dari keluarga desa Waru Pamekasan. Dzil Haja nikah dengan Halimatus Sa’diyah yang berasal dari desa Bindang; keturunan Syeikh Abdul Bar (akrab disebut Agung Tamanuk). Ada yang mengatakan nasab Thoifur Ali Wafa berujung sampai Pangeran Katandur yang dimakamkan di Sumenep. (Thoifur Ali Wafa, Manār al-Wafā (t.t.: t.tp., t.th.).
Pendidikan Kiai Thoifur Ali Wafa dimulai dari pendidikan orang tuanya. Kiai Ali Wafa mengajari Thoifur Alquran beserta tajwidnya pada berusia enam tahun sampai hatam. Selain itu, ayahnya juga mengajarkan beberapa kitab, seperti Matn al-Ājurumīyah, Matn Safīnat al-Najā, Matn Sullam al-Tawfīq ilā Mahabbat Allāh ‘alā al-Tahqīq, Aqīdat al-‘Awwām, Risālat ‘Ilm al-Tawhīd, Bidāyat al-Hidāyah, dan lain-lain.
Metode pembelajaran yang diaplikasikan ayahnya adalah ceramah dan praktik: Kiai Ali Wafa membaca kitab, menjelaskan, dan menguraikan permasalahan dalam kitab, kemudian Thoifur disuruh membaca ulang sambil disimak oleh ayahnya. Ia tidak ditinggalkan pergi kecuali sampai ia paham. Sebelum belajar, Thoifur selalu membaca ulang pelajaran yang didapatkan di depan ayahnya.
Setelah ayahnya wafat, Thoifur belajar kepada saudaranya yang bernama Ali Hisyam, yang pernah menerima wasiat ayahnya untuk mengajari Thoifur. Pada Ali Hisyam, Thoifur belajar beberapa kitab karya Syekh Nawawi Al-Jawi, yaitu Kāshīfat al-Sajā: Syarh Safīnat al-Najā, Mirqāt Su‘ūd al-Tasdīq: Syarh Sullam al-Tawfīq, dan Marāqī al-‘Ubūdīyah: Syarh ‘alā Bidāyat al-Hidāyah.
Pada saat Thoifur berusia lima belas tahun, ia belajar kepada KH Ahmad Zaini bin Miftahul Arifin, yang terkenal alim dan penghafal Alquran yang memiliki beberapa karya, di antaranya adalah kitab Fath al-Mughīth, Ta‘āruf fī ‘Ilm Tasawwuf, dan Minhat al-Islāhīyah.
Setelah 8 bulan menuntut ilmu kepada KH Ahmad Zaini, Kiai Thoifur pergi bersama saudaranya yang bernama As‘ad bin Ahmad Dahlan untuk belajar kepada Syaikh Abdullah putra Khalil Bangkalan, teman dari As’ad ketika mondok di Sidogiri. Saat masih belajar di Abdullah, beliau pergi ke Batu salah satu desa di kota Kediri untuk belajar kepada Jamaluddin Fadil. Selama satu bulan belajar di sana, ia berhasil mengkhatamkan kitab Sahīh al-Bukhārī dari awal hingga akhir.
Pada saan menginjak usia 18 tahun, Kiai Thoifur melanjutkan menuntut ilmu ke Mekah. Di sana Kiai Thoifur belajar kepada Sayyid Muhammad b. ‘Alwī al-Mālikī dan Syeikh Ismā‘īl ‘Uthmān al-Zayn. Di samping itu, Kiai Thoifur juga belajar kepada Syeikh ‘Abd Allāh Ahmad Dardūm yang terkenal dengan sebutan Sibawayh Mekkah, dikarenakan pemahamannya dan penguasaan terhadap ilmu nahwu yang luas dan mendalam.
Setelah merasa cukup belajar di Mekah, Kiai Thoifur kembali ke tanah kelahirannya, Ambunten Timur Sumenep pada tahun 1413 H. Di sana Kiai Thoifur disibukkan dengan mengabdikan diri kepada masyarakat, mengajarkan ilmu-ilmunya, dan meneruskan kepemimpinan ayahnya sebagai pengasuh Pondok Pesantren As-Sadad.
Secara keseluruhan, karya-karya Kiai Thoifur mencapai empat puluh tiga kitab. Kitab-kitab tersebut mayoritas ditulis dengan bahasa Arab, di samping ada yang berbahasa Indonesia dan madura yang mengkaji berbagai macam disiplin ilmu, seperti fiqh, tauhid, tafsir, nahw–sharf, dan tasawuf. Hal itu mengisyarakan kealiman KH. Thoifur Ali Wafa tidak hanya pada satu disiplin ilmu, melainkan banyak bidang ilmu.
Di antara karyanya itu adalah: Minhat al-Karīm al-Minnān, Tawdīh al-Maqāl, al-Dhahb al-Sabīk, Riyād al-Muhibbīn, Daf‘ al-Īhām wa al-Habā, Tuhfat al-Rāki‘ wa al-Sājid, Kashf al-Awhām, Muzīl al-Anā’, Tawdīh al-Ta‘bīr, Kashf al-Khafā’, Bulghat al-Tullāb fī Talkhīs Fatāwā Mashāyikh al-Anjāb, al-Jawāhir al-Sanīyah: Syarh al-Manzūmāt al-Fiqhiyyāt al-Masturat fī Hawāshī al-Kutub al-Shāfi’īyyah, Habāil al-Shawārid, al-Badr al-Munīr, al-Tadrīb, Jawāhir al-Qalāid, Mishkāt al-Anwār, Raf‘ al-Rayn wa al-Raybah, Miftāh al-Ghawāmid, Barāhīn Dzawī al-Irfān, al-Tibyān, ‘Arīj al-Nasīm, Sullam al-Qāsidīn, Nayl Arb, al-Rawd al-Nadīr, Nūr al-Zalām, al-Riyād al-Bahīyah, al-Īdāh, Fath al-Latīf, Alfīyah Ibn ‘Alī Wafā, Durar al-Tāj, al-Iklīl, al-Manhal al-Shāfī, al-Farqad al-Rafī‘, al-Nūr al-Sāti‘, al-Nafhāt al-Anbarīyah, Izālat al-Wanā, al-Kawkab al-Aghar, Jawāhir al-Safā, Manār al-Wafā, dan Firdaws al-Na‘īm bi Tawdīh Ma‘ānī Āyāt Alquran al-Karīm.
Seputar Kitab Firdaws al-Na‘īm
Selain dibaca, Alquran juga dianjurkan dipahami makna dan rahasia yang terkandung di dalam tiap-tiap ayatnya. Oleh sebab itu, KH. Thoifur Ali Wafa termotivasi untuk menafsirkan atau menyingkap tabir-tabir yang menutupi rahasia dan makna yang ada di dalam ayat-ayat Alquran dengan menulis kitab tafsir Firdaws al-Na‘īm bi Tawdīh Ma‘ānī Āyāt Alquran al-Karīm. (Thoifur Ali Wafa, Firdaws al-Na‘īm, Vol. 1, 3-4.)
Selain itu KH. Thoifur juga termotivasi oleh hadis Rasulullah, Ahl Alquran Ahl Allāh (orang yang faham Alquran termasuk orang yang mengenali Allah).
Dalam pendahuluan Firdaws al-Na‘īm, KH. Thoifur mengajak kepada umat Islam untuk menyibukkan diri dari membaca Alquran serta memahami maknanya dan berakhlak seperti yang diajarkan Alquran, sebagaimana akhlak Rasul yang bersumber dari Alquran. Karena dengan memahami makna Alquran akan memberikan ketenangan dalam hati dan lebih khusuk dalam beribadah. Dengan karyanya ini, KH. Thoifur mengharap agar menjadi jalan bagi yang memahami Alquran menuju surga-Nya (firdaws al-na‘īm).
Firdaws al-Na‘īm ini merupakan kitab tafsir yang dapat dikategorikan sebagai tafsīr bi al-ra’y, sebab sumber penafsiran kitab ini lebih didominasi pendapat penulis sendiri dan pendapat ulama. Misalkan ketika menafsirkan redaksi yuqīm al-salāh dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 3 dengan “mengerjakannya secara terus-menerus tepat pada waktunya beserta mematuhi peraturan-peraturannya, menyempurnakan rukunnya, dan menjaganya dari sesuatu yang merusak perkara fardu, sunah, dan etikanya.” (Wafa, Firdaws al-Na‘īm, Vol. 1, 9)
Sementara metode penafsiran menerapkan teknik tahlīlī, yaitu metode yang berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan, dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. (M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 378-385.)
Meski penafsiran KH. Thoifur lumayan luas, namun tidak menuntaskan pemahaman pada maksud yang terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan. Misalkan ketika menafsirkan redaksi lasāhir mubīn dalam Q.S. Yunus [10]: 2, ia menyatakan:
Yang dimaksud lafal lasāhir mubīn, yaitu tukang sihir yang nyata. Mayoritas ulama membaca lafal sāhir dengan sīghat ism fāil. Jadi, orang yang dimaksud sebagai penyihir adalah Nabi Muhammad. Artinya, orang-orang kafir, setelah kedatangan Rasulullah yang kemudian memberikan peringatan dan berita gembira, berucap penuh kaget, bahwa sesungguhnya orang yang mengaku nabi dan rasul ini adalah benar-benar tukang sihir yang nyata.
Nāfi‘ dan Abū ‘Āmr membaca la sihrun dengan kasrah sīn dan sukunnya hā’. Atas dasar bacaan ini, gambaran mereka tentang Alquran sebagai sihir mengisyaratkan atas kemulian Alquran di sisi mereka, sehingga mereka merasa kesulitan menentangnya; mungkin saja dengan persepsi ini mereka berasumsi bahwa Alquran adalah kalam yang indah dan tampak memukau, tetapi secara hakikat ia tetap palsu.
Demikian kritik (mereka) terhadap Alquran. Kemungkinan yang lain, mereka berasumsi bahwa Alquran, sebab punya kesempurnaan bahasa yang fasih dan tidak dapat disaingi, ia tak ubahnya seperti peristiwa sihir. Ini adalah bentuk pujian (mereka) terhadap Alquran, hanya saja mereka tidak mengimaninya. (Wafa, Firdaws al-Na‘īm, Vol. 3, 3.)
Hal yang paling menonjol dari penafsiran yang dilakukan oleh KH. Thoifur Ali Wafa adalah analisisnya terhadap setiap kata dalam ayat Alquran mencakup uraian asal usul katanya, perubahannya, keragaman maknanya, serta bangunan semantiknya dengan kata-kata yang lain, sehingga Firdaws al-Na‘īm bisa dikategorikan sebagai tafsir bercorak kebahasaan (lughawī).
Hal ini umpamanya bisa dilihat ketika ia menafsirkan Q.S. al-Fātihah [1]: 1, di mana ia menyatakan bahwa kata al-‘ālamīn merupakan bentuk plural dari kata ālam, yang berarti “setiap yang ada selain Allah.” Pengertian ini mencakup kepada semua makhluk. Kata ālam menjadi bentuk plural dengan tambahan waw dan nūn (jam‘ mudhakkar salīm), di samping kata itu dibatasi pada sifat orang-orang yang berakal, karena di dalamnya terdapat makna adjektiva, yaitu isyarat atas makna al-‘alām. [MZ]