Pilarkebangsaan.com. Mudhar Tamim memiliki nama lengkap KHR. Ach. Mudhar Tamim. Ia lahir 07 November 1916 di desa Barurambat Kota, sebelah selatan Masjid Jami’ Asy-Syuhada’, Pamekasan. Ayahnya, KHR. Moh Tamim adalah tokoh penting di tubuh NU Pamekasan sekaligus salah satu Dewan Pembina Masjid Jami’ Asy-Syuhada’ Pamekasan. Sementara kakeknya, KHR. Ismail merupakan seorang pemuka agama terkemuka dan pernah menjabat sebagai ketua penghulu di Pamekasan. KHR. Ismail memperistri R. Ayu Rembang, putri R. Demang Wironegoro (Jaksa Pamekasan pada saat itu) yang tidak lain adalah keturunan ketiga dari R. Tumenggung Wiromenggolo atau yang lebih populer dengan nama Pangeran Purwonegoro (Raja Sumenep).
Sedari kecil, tanda-tanda bakal menjadi sosok revolusioner-visioner terlihat dari seorang Mudhar Tamim. Di bawah asuhan sang ayah, berbekal ketekunan dan kecerdasan yang dimiliki, ia tumbuh sebagai pribadi yang membanggakan. Secara formal, perjalanan karir keilmuan Mudhar Tamim dimulai ketika ia mengenyam pendidikan di sekolah dasar al-Irsyad. Ia juga pernah menimba ilmu di Pondok Pesantren Cendana, Bangkalan. Puncaknya, Mudhar Tamim nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan berguru langsung kepada Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Di sana, Mudhar Tamim mematangkan pengetahuan-pengetahuan keagamaan yang ia peroleh sebelumnya, hingga lulus pada tahun 1938.
Di bidang keagamaan, peran dan kontribusi Mudhar Tamim tak diragukan lagi. Ia kerap diundang dan diminta mengisi ceramah pada gelaran pengajian-pengajian dari satu daerah ke daerah lain. Selain itu, ia juga rutin mengisi kajian-kajian kegamaan seperti fikih dan tafsir Alquran di radio RHANSISCO Pamekasan. Bahkan, menurut istrinya, konon Mudhar Tamim sering mengadakan diskusi atau debat ilmiah dengan para pendeta dan pastor, baik dalam atau luar negeri. Selanjutnya, hasil dari perdebatan itu kemudian dibukukan dalam sebuah buku berjudul Santapan Rohani.
Salah satu karya monumental Mudhar Tamim adalah Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda. Sebuah tafsir Alquran pertama yang penulisannya menggunakan Bahasa Madura aksara Latin. Kehadiran karya ini telah memberikan nuansa dan “rasa” baru dalam kajian Alquran di tanah Madura, sekaligus menggeser tren lama kepenulisan karya-karya keagamaan sebelumnya yang masih memakai aksara pegon.
Membaca tafsir ini, bisa ditebak bahwa Mudhar Tamim tergolong pemikir yang inovatif dan kreatif. Bagaimana tidak, ia berani menampilkan sebuah karya dengan “wajah baru” yang melangkahi karya-karya tokoh Madura sebelumnya. Paling tidak, hal ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, dari teknis penulisan, Mudhar Tamim lebih memilih aksara Latin, meninggalkan gaya penulisan lama yang masih setia dengan aksara pegon. Kedua, dari sisi eksplorasi, Mudhar Tamim tidak sekadar menerjemahkan Alquran. Lebih jauh, ia berupaya menyajikan penjelasan-penjelasan yang cukup kontekstual dan panjang lebar. Terkadang, ia juga menyadur keterangan beberapa tafsir ternama.
Melalui Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda, Mudhar Tamim menyempatkan diri menentang beberapa tradisi dan budaya yang kala itu sedang berkembang. Salah satunya adalah kritik terhadap ajaran tasawuf dan tarekat yang berorientasi pada hal-hal kebatinan. Praktik magis-mistis memang sangat melekat dan kental dalam kehidupan masyarakat Madura. Maka wajar saja jika pemimpin tarekat lebih diunggulkan dan banyak memiliki pengikut dibandingkan dengan kiai non-tarekat.
Menurut Mudhar Tamim, ada beberapa praktik tarekat di Madura yang nyatanya berseberangan dengan ajaran Alquran dan Hadis. Itulah sebabnya, Mudhar Tamim mengampanyekan “Islam berorientasi Syariat”. Tampaknya, pemikiran semacam ini adalah pengaruh dari koneksi keilmuan Mudhar Tamim yang terhubung dengan KH. Hasyim Asy‘ari dan KH. Kholil Bangkalan. Keduanya merupakan simpul utama dalam silsilah intelektual pesantren Jawa-Madura yang sukses menggabungkan kembali antara syariat dan tasawuf.
Selain menekuni dunia keagamaan, Mudhar Tamim juga berkiprah di kemiliteran maupun percaturan politik. Ia pernah mengikuti pelatihan militer untuk tentara Hizbullah yang diselenggarakan di Cibarusa, Bogor, Jawa Barat. Pelatihan itu diikuti oleh sekitar 500 pemuda Muslim yang berasal dari 25 karesidenan di Jawa dan Madura. Dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia, disebutkan bahwa pada tahun 1945-1950 Mudhar Tamim pernah menjabat sebagai pemimpin/komandan Laskar Hisbullah tingkat Kresidenan saat terjadi perang kemerdekaan melawan Belanda di Madura.
Kegigihannya melawan penjajahan Belanda demi meraih kemerdekaan membuatnya dikenal sebagai sosok pahlawan. Mudhar Tamim pun mendapatkan piagam penghargaan sebagai Pembela Tanah Air (PETA) dari Negara. Pangkat dan kedudukan terakhir yang disandang Mudhar Tamim dalam PETA adalah Chudanco Dai IV Daidan, Madura Shu.
Kiprah dan keikutsertaan Mudhar Tamim dalam dunia perpolitikan adalah buntut ekspresi kekecewaan dan kegelisahannya terhadap sistem pemerintahan kala itu. Ia menggambarkan roda pemerintahan ibarat ikan besar yang selalu menerkam dan memangsa ikan-ikan kecil. Orang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Mudhar Tamim merupakan ketua partai politik Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) di Pamekasan. Pada masa Orde Baru, Ia pernah menjadi anggota DPRD Tingkat II di Pamekasan selama dua periode (1977-1982 dan 1982-1987) dari kalangan Parmusi delegasi partai PPP. Rekam jejaknya di panggung politik dapat dikatakan sukses dan “aman terkendali”.
Keputusan Mudhar Tamim memilih Parmusi sebagai “kendaraan” yang ia tumpangi selama terjun di dunia politik memberikan kesan yang kontroversial. Ini dikarenakan Mudhar Tamim merupakan bagian keluarga dari tokoh penting yang memiliki pengaruh di tubuh NU Pamekasan, sementara Parmusi dikenal sebagai partai politik yang diusung oleh Muhammadiyah sebagai sarana untuk mengekspresikan gagasan dan ide politiknya.
Kedekatan Mudhar Tamim dengan kalangan Muhammadiyah sepertinya menjadi kunci di balik tenggelamnya nama, karya, sepak terjang dan perannya di Madura. Sangat sedikit orang yang mengenal amim sebagai pemikir yang kapasitas keilmuannya sundul langit.
Meskipun tidak memiliki pondok pesantren, banyak pemuka agama dan kiai di Pamekasan yang berguru kepada Mudhar Tamim. Sebut saja KH Moh. Lutfi Thaha (Pengasuh Pondok Pesantren al-Falah Sumber Gayam, Kadur), KH Mahfudz (PP Mambaul Ulum Bata-Bata), KH Abd. Hamid Baqir (Pengasuh PP Banyuanyar), KH Moh. Tamim Bengkes, KH Syarqawi (mertua KH Khalilurrahman mantan Bupati Pamekasan), KH Hefni Siraj (Pengasuh PP Miftahul Ulum Bettet), KHR. Isma’il Madani (Pengasuh PP Salafiyah Sumur Putih Pamekasan), dan KH Abdul Hamid Mannan (Pengasuh PP Nasyrul Ulum Pamekasan). [AS]