Dalam pergaulan sehari-hari, seringkali kita menjumpai orang yang mudah marah karena tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya. Mereka yang mudah marah pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal seperti; menganggap diri sebagai orang paling penting, paling pintar, paling benar, gaya hidup yang narsisitik, perfeksionis serta neurotik.
Orang-orang seperti ini biasanya mempunyai ekspektasi yang sangat tinggi dalam menjaga diri dan memenuhi keinginan diri, sehingga sangat sensitif dan reaktif . Terutama terhadap stimulus kecil yang menghambat atau mengecewakan tujuan yang ingin dicapai.
Ekspektasi yang terlalu tinggi memang seringkali membuahkan kekecewaan, apalagi jika hanya untuk mencari penghormatan dari makhluk Tuhan. Hal ini karena adanya kesenjangan antara keinginan dan kenyataan yang tidak terealisasikan.
Sikap mudah marah, bukanlah akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Bahkan, kemarahan adalah sikap yang bisa membinasakan dan mampu merusak akal manusia. Oleh sebab itulah, sikap tidak mudah marah adalah akhlak yang selalu diajarkan oleh Rasulullah saw dan para penerusnya, yaitu para ulama.
Salah satu ulama yang tidak mudah marah, bahkan tidak pernah marah sama sekali walaupun dihina adalah Abu Bakar al-Mubarak. Beliau mempunyai nama lengkap Abu Bakar al-Mubarak bin Sa’id bin ad-Dahlan. Beliau termasuk salah seorang ulama pakar nahwu, yang menyibukkan diri dengan ilmu bahasa Arab. Dalam perjalanan hidupnya, beliau tekun mempelajari bahasa Arab dan menghafal beberapa sya’ir Arab. Bahkan, beliau hafal banyak hikayat-hikayat, menguasai dan tahu bahasa Arab, Turki, Romawi, Habasyah dan Negro.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa An-Nihayah, Abu Bakar al-Mubarak adalah seorang ulama yang tidak pernah marah sama sekali. Kepribadiannya yang tidak pernah marah, pernah membuat beberapa orang bertaruh dengan seorang lelaki mampu membuatnya marah.
Kepada lelaki yang yakin mampu membuat Abu Bakar al-Mubarak marah, mereka berkata,” Jika engkau bisa membuat Abu Bakar marah, maka engkau mendapatkan uang sekian dan sekian.“
Lelaki itu pun menerima tantangan tersebut. Dia kemudian mendatangi Abu Bakar al-Mubarak dan bertanya tentang satu persoalan dalam Bahasa Arab, yang merupakan keahlian Abu Bakar al-Mubarak. Mendapat sebuah pertanyaan, Abu Bakar al-Mubarak pun memberikan jawabannya.
Karena ingin membuat Abu Bakar al-Mubarak, lelaki itu pun berkata, “Engkau keliru wahai guru.“
Mendengar sanggahan tersebut, Abu Bakar al-Mubarak tetap memberikan jawaban yang sama. Namun, kali ini dengan diksi yang berbeda.
Karena niatnya ingin membuat Abu Bakar al-Mubarak marah. Lelaki itu pun bersikeras dan menuduh Abu Bakar al-Mubarak berbohong. Dia pun berkata, “engkau telah berdusta, menurutku engkau telah lupa ilmu nahwu.“
Dengan santai, Abu Bakar al-Mubarak pun menjawab, “wahai kamu, mungkin engkau belum faham apa yang aku katakan kepadamu.“
Sambil ngeyel, lelaki itu pun kembali berkata, “Iya, saya faham, tetapi engkaulah yang salah memberikan jawaban.“
Dengan sabar, Abu Bakar al-Mubarak kembali berkata, “sampaikanlah apa yang telah kamu fahami agar kami bisa belajar darimu.“
Mendapat jawaban seperti itu dari Abu Bakar al-Mubarak, lelaki itu justru mengucapkan kata-kata kasar.
Abu Bakar al-Mubarak yang melihat hal itu pun tersenyum seraya berkata, “jika engkau bertaruh, sesungguhnya engkau telah kalah. Engkau seperti seekor nyamuk yang jatuh ke tubuh gajah. Ketika ia akan terbang, ia berkata kepada gajah, “berpeganglah, aku akan terbang.” Gajah itu menjawab, “aku tidak merasakan apa-apa ketika engkau jatuh di tubuhku. Oleh sebab itu, aku tidak perlu berpegang ketika engkau terbang.“
Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Mubarak adalah warisan dari ajaran Nabi Muhammad saw yang tidak mudah marah saat mendapat perlakuan buruk. Beliau tetap sabar dan tidak marah walaupun dianggap tidak paham dengan ilmu yang ditekuninya. Dan sudah semestinya, orang yang berilmu itu mempunyai keluhuran budi pekerti. Tidak mudah emosi dan marah, tidak mudah mencaci dan menghina walaupun mempunyai pandangan yang berbeda.