Editorial

Koalisi Maleh Dadi Segoro: Mengawasi Pesisir Semarang-Demak yang Tenggelam Jadi Lautan

7 Mins read

Kawasan pesisir pantai utara Kota Semarang dan banjir rob sudah sangat familiar dan menjadi maklum banyak orang. Petikan lirik lagu keroncong “Jangkrik Genggong’ di atas menjadi bukti asosiasi dari Semarang, antara lain adalah banjir. Belum lagi ketika membincangkan wilayah sekitar Tanjung Emas dan Kaligawe sampai Sayung Demak. Orang akan mudah mengaitkannya sebagai daerah langganan banjir rob – dan macet.

Pada bulan Mei tahun ini, pesisir utara Semarang juga terkena banjir rob. Akan tetapi, kali ini banjir rob bukan sekadar “langganan” yang rutin mampir. Tinggi banjir yang tidak biasa dari banjir-banjir sebelumnya, ditambah amplifikasi cuitan dan laporan netizen dari berbagai daerah di pesisir utara Jawa Tengah, menunjukkan banjir rob tahun ini lebih parah dengan dampak jauh lebih luas dari pantai utara Semarang. Mencatatkan banjir rob Mei 2022 menjadi banjir yang terparah selama sepuluh tahun terakhir di pesisir utara Jawa Tengah. Fenomena yang sekaligus menjadi alarm pertanda alam sedang tidak baik-baik saja.

Di tengah krisis lingkungan yang terus terjadi, satu kelompok masyarakat terus menyuarakan kewaspadaan terhadap ancaman krisis sosial dan ekologi di kawasan pesisir utara Jawa Tengah, wabilkhusus wilayah Semarang dan Demak. Kelompok tersebut familier disebut Koalisi Maleh Dadi Segoro.

Maleh Dadi Segoro : Berubah Jadi lautan

Meski baru empat tahun berjalan, Koalisi Maleh Dadi Segoro (MDS) menjadi kelompok yang paling vokal dalam mengamati dan menyuarakan potensi kerusakan dari krisis sosial-ekologis di wilayah pantai utara Jawa Tengah. Koalisi ini sendiri semula bernama Koalisi Pesisir Semarang-Demak (KPSD), berawal dari seri diskusi dan workshop seputar isu krisis sosial-ekologi di kawasan pesisir Semarang-Demak pada tahun 2018. Seri diskusi tersebut meninjau krisis ekologi dari berbagai tinjauan dan disiplin keilmuan.

Setidaknya ada 21 nama dari unsur individu, peneliti, dan aktivis serta lembaga yang berpartisipasi dalam rangkaian diskusi tersebut. Di antaranya adalah Bosman Batubara (University of Amsterdam/UvA&IHE-Delft, Institute for Water Education), Nila Ardhianie (Amrta Institute for Water Literacy/Amrta), Hotmauli Sidabalok (UNIKA Soegijapranata), Ivan Wagner dari LBH Semarang, dan lainnya. Tidak hanya melaksanakan rangkaian workshop dan diskusi, gabungan para peneliti dan aktivis ini rajin terjun ke desa-desa dan wilayah yang menjadi titik utama terdampak banjir di sekitar Kota Semarang dan Kabupaten Demak.

Sementara nama Maleh Dadi Segoro (bahasa Jawa, yang berarti berubah menjadi lautan) sendiri datang dari salah seorang warga Demak di tengah wawancara riset anggota KPSD. Dilansir VOA Indonesia, Ivan Wagner sebagai salah satu anggota koalisi melihat istilah tersebut sebagai sebuah deskripsi kondisi geografis dan sosial yang jujur dari kalangan masyarakat akar rumput.

“Bahwa ada perubahan yang dulu, menurut mereka di sana adalah lahan pertanian yang subur, kemudian beralih menjadi tambak, dan setelah tambak itupun akhirnya tergerus dan sekarang menjadi segoro (lautan),” ujar Ivan, dikutip dari VOA Indonesia (28/6).

Sejak saat itu, nama Maleh Dadi Segoro (MDS) kemudian dimantapkan sebagai judul buku, sekaligus menjadi nama populer untuk merujuk koalisi yang terdiri dari para akademisi, peneliti, aktivis dan lembaga dari berbagai latar belakang tersebut.

Sampai pada tahun 2022 ini, Koalisi MDS telah menerbitkan empat publikasi seputar isu banjir rob dan amblesan tanah yang makin memburuk di wilayah Semarang dan Demak. Buku pertama berjudul ‘Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak’ di tahun 2020. Buku kedua menyoroti isu seputar Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dirangkum dalam buku ‘Banjir Sudah Naik Seleher: Ekologi Politis DAS-DIS di Semarang’ yang terbit tahun 2021. Selain dua buku tersebut, Koalisi MDS menerbitkan satu policy brief seputar amblesan tanah dan banjir di Kota Semarang, serta satu laporan investigasi dari banjir rob 23-25 Mei 2022, yang mereka nyatakan sebagai banjir rob terbesar di pantai utara Jawa Tengah selama sepuluh tahun terakhir.

Banjir Rob dan Amblesan Tanah : Iklim Berubah, Industri Memperparah

Jika dilihat secara sederhana, mudah saja untuk mengaitkan fenomena banjir rob dengan perubahan iklim atau gejala naiknya permukaan air laut yang terjadi di seluruh dunia. Asumsi ini jelas tidak salah. NASA mencatat permukaan air laut terus naik sebanyak 3 milimeter per tahun, yang juga diramalkan oleh Laporan PBB tentang isu perubahan iklim, permukaan air laut diproyeksikan akan terus naik sampai 25-34 cm pada tahun 2065.

Kami menemui Bagas Yusuf, salah satu pegiat Koalisi MDS. Dalam wawancara, dia mengungkapkan bahwa posisi Koalisi MDS dalam menyoroti banjir rob Semarang-Demak tidak berhenti pada aspek perubahan iklim yang seolah “alamiah”. Bagi MDS, hal yang lebih krusial untuk disorot adalah tren amblesan tanah yang disebabkan oleh tangan manusia.

“Hampir semua akademisi sepakat kalau banjir rob di pantura ini diperparah oleh amblesan tanah. Teman-teman MDS mendorong bahwa rob ini bukan semata-mata karena perubahan iklim. Menurut teman-teman di MDS, perubahan iklim menaikkan permukaan laut iya, tapi tidak sesignifikan penurunan tanahnya.” Terang Bagas.

Bagas melanjutkan, “Jadi kalau ditanya mana yang lebih berkontribusi? Untuk kasus Semarang-Demak, perubahan iklim yang menaikkan permukaan air laut iya, tapi itu kecil sekali. Paling hanya beberapa milimeter per tahun. Tapi amblesan tanah di Demak itu ada yang sudah sampai 20 centi, 30 centimeter per tahun. Jadi kami fokus melihat ke amblesan tanahnya. Nah amblesan tanah ini apa penyebabnya?”

Dari data yang dihimpun oleh publikasi riset Maleh Dadi Segoro, penurunan tanah di Semarang dan Demak memang terjadi sangat cepat dalam skala yang mencemaskan. Dalam sebuah keterangan dalam publikasi Maleh Dadi Segoro (2020), desa Bedono di Demak mengalami abrasi yang paling besar di Indonesia. Selama 20-an tahun terakhir telah terjadi abrasi yang diperkirakan terbesar di Indonesia. Lebih dari 2,000 Ha kawasan pantai desa Bedono telah terabrasi dan menyebabkan garis pantai mundur jauh sepanjang lebih dari 5 km, dibandingkan dengan garis pantai tersebut pada tahun 1990-an.

Dari publikasi MDS (2020), setidaknya ada empat penyebab utama amblesan tanah di wilayah Kota Semarang. Pertama, adalah tipikal tanah kota Semarang bagian pesisir yang berupa aluvial muda, yakni hasil dari sedimentasi yang belum sepenuhnya solid dan masih butuh waktu lama untuk mensolidkan tanah. Kedua, dari ekstraksi air tanah dan sumur bor secara terus menerus. Ketiga, meningkatnya pembebanan pada tanah dari proses pembangunan dan industrialisasi yang masif.

Penyebab keempat, ini yang menjadi penyebab krusial, adalah aktivitas pengerukan pasir tanah dan penambahan bangunan di sekitar pelabuhan Tanjung Emas. Bagas menyebut, dua penyebab terakhir ini jarang dibicarakan, dan ini yang terus disuarakan oleh MDS.

Beberapa pakar bidang hidrologi dan kelautan sudah meneliti aktivitas di pelabuhan berkontribusi cukup besar terhadap amblesan tanah dan abrasi. Disebutkan dalam publikasi ‘Maleh Dadi Segoro: Krisis Sosial-Ekologis Kawasan Pesisir Semarang-Demak’, yang mengutip dari penelitian Dr. Ir. Nelwan Dipl. H.E. pensiunan dosen Hidrologi Jurusan Teknik Sipil Undip, dia berpendapat bahwa penurunan tanah terjadi karena adanya pelabuhan dan aktivitas pengerukan di Pelabuhan Tanjung Emas yang berkontribusi pada gangguan keseimbangan garis pantai.

Pengerukan dan banyaknya area yang menjorok ke laut menyebabkan perubahan arus laut menuju kearah Timur, yang kemudian menyebabkan meningkatnya abrasi di wilayah Demak. Selanjutnya, banjir rob bukan lagi ‘khas’ Semarang, justru makin meluas dan secara kontinyu memamah garis pantai Demak. Dalam catatan MDS, kawasan desa Bedono Demak, mengalami abrasi paling parah di Indonesia. Seluas lebih dari 2,000 Ha kawasan pantai telah terabrasi menyebabkan mundurnya garis pantai pada sepanjang lebih dari 5 km jika dibandingkan dengan garis pantai pada tahun 1990-an.

Amblesnya permukaan tanah Semarang dan abrasi yang parah di wilayah Demak, berdampak pada berubahnya tata sosial dan budaya masyarakat. Yang paling terlihat adalah hilangnya ratusan hektar tambak di desa Sriwulan dan Morosari Kecamatan Sayung Demak yang tersapu jadi laut, yang kemudian menghilangkan sistem mata pencaharian tradisional masyarakat pesisir seperti nelayan dan petambak. Hilangnya aset mata pencaharian pesisir ini memaksa warga beralih ke sektor industri formal dan terjebak dalam sistem perburuhan industri kapitalisme modern. Belum lagi banyak keluarga yang terpaksa meninggalkan rumahnya begitu saja karena tidak mampu meninggikan rumah yang makin tenggelam.

Aset kebudayaan juga tidak luput dari dampak amblesan tanah yang terus menerus terjadi. Yang cukup dramatis terlihat pada bangunan Masjid Layur di daerah Semarang. Masjid Layur merupakan masjid tua di Kampung Melayu-Arab Dadapsari Kota Semarang. Bangunan ini memiliki nilai historis sebab menjadi saksi dari penyebaran Islam di wilayah tersebut. Masjid ini semula berdiri dua lantai, dengan menara yang ikonik menjadi landmarknya. Lantai dasar masjid Layur yang semula dapat dipakai untuk mengaji dan aktivitas keagamaan lainnya, saat ini sudah tidak bisa lagi digunakan karena tenggelam seiring dengan terus terjadinya amblesan tanah. Saat ini masjid layur hanya bisa dipakai lantai dua, dan seluruh lantai dasar nyaris sepenuhnya terpendam dalam tanah.

Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak: Penyebab yang Dianggap Solusi

Peristiwa banjir rob pada bulan Mei tahun ini bersamaan dengan upaya pemerintah provinsi Jawa tengah yang sedang terus menggenjot pembangunan Tol dan Tanggul Laut Semarang-Demak (TTLSD). Proyek TTLSD ini tidak bisa dilepaskan dari kawasan pantai utara Jawa Tengah yang ditetapkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai kawasan strategis penopang industri. Tol tanggul laut yang melintas dari kawasan Tanjung Mas Semarang menuju Demak ini kini sudah memasuki tahap uji coba dan akan segera diresmikan pada akhir tahun 2022.

Proyek ini sendiri merupakan proyek raksasa dengan nilai investasi sebesar Rp. 15,3 Triliun. Proyek TTLSD tidak berdiri sendiri, karena sekaligus menjadi instrumen penjahit kawasan industri di pantai utara, mulai dari Kawasan Industri Kendal (KIK) di sebelah barat, sampai Jateng Industrial Park Sayung (JIPS) di Demak. Dengan demikian keberadaan proyek TTLSD berfungsi sebagai instrumen penting mengubah kawasan-kawasan industri tersebut menjadi kawasan mega-komoditas.

Narasi yang beredar terkait proyek TTLSD selama ini, adalah bahwa proyek ini hadir sebagai solusi banjir dan rob yang terjadi di kawasan Semarang-Demak. Para pejabat tinggi negara menyambut proyek ini dengan narasi sukacita, dan seragam: bahwa proyek ini akan semakin memperkuat daya tahan Semarang bagian utara dalam menghadapi banjir rob, sekaligus menjadi solusi dari kerugian ekonomi di sepanjang Kaligawe-Sayung Demak yang diakibatkan banjir rob.

Namun tidak demikian dengan para pegiat Koalisi Maleh Dadi Segoro. Koalisi MDS menjadi kelompok pemerhati isu lingkungan yang paling kritis dalam menanggapi proyek strategis nasional tersebut. Alih-alih merayakannya sebagai proyek pembangunan yang solutif, MDS menyuarakan catatan kritis bagaimana proyek tol laut ini bisa berdampak buruk, sekaligus menyimpan potensi memperparah krisis lingkungan di wilayah Semarang-Demak. Keberadaan tol laut itu sendiri justru akan menambah beban tanah yang sebelumnya sudah terbebani akibat industrialisasi di kawasan pelabuhan.

Bagas mengungkapkan pertanyaan besar terkait proyek tersebut. Konsep tol laut yang terintegrasi dengan giant sea wall ini perlu dipertanyakan peruntukannya.

“Konsep giant sea wall sering diklaim menyelesaikan masalah rob di Semarang. Tapi yang tidak disebut, ini menyelesaikan untuk siapa? Menurut teman-teman (MDS), proyek ini melindungi Semarang tapi malah mengorbankan Demak. Dan kedua, ini yang dilindungi hanya industri saja. Coba lihat di Tambak Lorok. Di sana, nelayan malah dirugikan. Justru mereka terganggu karena ketika melaut harus memutar karena ada tol ini.

Bagas melanjutkan, “Warga Demak itu merasa abrasi dan rob makin parah sejak ada reklamasi pelabuhan. Sekarang ditambah dengan proyek tol laut. Secara teknis, ketika ada bangunan menjorok ke laut, itu mengubah arus air. Dan sekarang arusnya mengarah ke Demak.”

Dari pesisir utara yang maleh dadi segoro, kita belajar bahwa krisis ekologi yang terjadi di pantai utara Semarang disebabkan oleh pendekatan pembangunan kapitalistik di masa lalu. Sementara proyek yang diajukan sebagai solusi krisis tersebut, justru digerakkan dengan motor industri kapitalistik yang sama. Solusi yang sebetulnya adalah bagian penyebab dari krisis itu sendiri.

Dari sini, ada satu pertanyaan yang harus dijawab: kepada siapa pembangunan berpihak?

Rifqi Fairuz

Editor Islamidotco. Saat ini tinggal di Salatiga.
2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Editorial

Mengenal Prinsip Good Corporate Governance

3 Mins read
Tata Kelola Perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance adalah suatu prinsip mendasar yang harus diterapkan suatu perusahaan dalam proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan….
Editorial

Benarkah Moderasi Beragama Mendangkalkan Akidah?

2 Mins read
Moderasi beragama yang masif dijalankan oleh beberapa ormas termasuk pemerintah sering menjadi perdebatan. Beberapa orang menganggapnya sebagai pendangkalan akidah, atau bahkan sekularisasi. Alasan mereka…
Editorial

Aktualisasi Nilai Eksistensial Pesantren di Indonesia

1 Mins read
Kasus penganiayaan yang dilakukan senior yang membuat santri asal Banyuwangi di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kediri masih menyita perhatian publik. Apalagi…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *