Sejak awal keberadaannya, gas elpiji 3 kg atau yang akrab disebut gas melon di Konoha telah menjadi pusat drama tak berkesudahan. Dari kelangkaan yang menghantui masyarakat hingga masalah subsidi yang sering kali meleset dari sasaran. Sejak diperkenalkan pada tahun 2007 sebagai bagian dari restrukturisasi sistem energi nasional, konversi minyak tanah ke gas ini seharusnya membawa perubahan positif. Namun, realitasnya justru menampilkan wajah ketimpangan yang semakin lebar.
Landasan hukum kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Hokage No. 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Gas Melon. Kala itu, demi memastikan transisi berjalan lancar, Pemerintah Konoha membagikan tabung gas dan kompor secara gratis kepada mereka yang belum memilikinya. Sasaran utamanya jelas: rakyat kecil yang belum menggunakan gas dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, sejak awal terdapat kelemahan mendasar dalam kebijakan ini. Tidak ada batasan tegas mengenai siapa yang berhak menggunakan gas melon, sehingga dalam perjalanannya, masyarakat kelas menengah ke atas pun ikut menikmati subsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi rakyat miskin. Akibatnya, subsidi yang seharusnya menjadi alat perlindungan bagi mereka yang kurang mampu malah menjadi barang konsumsi yang dinikmati banyak kalangan.
Baru pada tahun 2019, Pemerintah Konoha mulai menyadari kesalahan ini dan mengeluarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Chakra No. 26 Tahun 2019 yang menegaskan bahwa hanya rumah tangga miskin dan usaha mikro dengan pengeluaran bulanan tidak lebih dari 1,5 juta Ryo yang berhak menikmati gas melon. Namun, bukannya menjadi solusi, kebijakan ini justru menambah permasalahan baru.
Masuklah Bahlil, salah satu petinggi Konoha yang dikenal sering melempar kebijakan tanpa berpikir panjang. Dengan dalih ingin menertibkan distribusi gas melon, ia malah mengusulkan sistem baru yang semakin menyulitkan rakyat kecil. Alih-alih memastikan subsidi tepat sasaran, langkah yang diambil justru seperti membentengi akses rakyat terhadap kebutuhan dasar mereka. Pendataan yang semrawut, birokrasi yang berbelit, hingga mekanisme pembelian berbasis kartu chakra yang sulit diakses oleh banyak orang, semakin memperjelas bahwa kebijakan ini tidak berpihak kepada rakyat.
Tidak hanya itu, kelangkaan gas melon yang baru-baru ini terjadi di berbagai distrik Konoha memperlihatkan bahwa ada pihak-pihak yang bermain di balik layar. Sementara rakyat mengantri berjam-jam untuk mendapatkan gas melon, ada kelompok tertentu yang dengan mudah mendapatkan stok melimpah. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa kebijakan Bahlil bukanlah upaya menyejahterakan rakyat, melainkan langkah terselubung yang menguntungkan segelintir elit di Konoha.
Drama gas melon di Konoha ini pada akhirnya menjadi refleksi ketimpangan yang nyata. Di satu sisi, rakyat kecil harus berjuang mendapatkan kebutuhan dasar mereka, sementara di sisi lain, pejabat dan kelompok berpunya tetap menikmati kemewahan tanpa hambatan. Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Konoha akan semakin terjerumus dalam krisis yang lebih besar.
Sudah saatnya Pemerintah Konoha menyadari bahwa kebijakan yang dibuat bukan sekadar alat pencitraan, melainkan tanggung jawab moral untuk memastikan kesejahteraan rakyat. Karena pada akhirnya, jika rakyat terus dikebiri dengan kebijakan yang absurd, siapa lagi yang akan benar-benar menjaga stabilitas negeri ini?
Konoha, desa shinobi yang berdiri di atas prinsip keadilan dan keharmonisan, telah menjadi simbol kestabilan dalam dunia ninja. Namun, di balik kejayaan dan kedamaian yang sering dipamerkan, ada ketimpangan sosial dan politik yang mengakar. Pertanyaannya, bagaimana masa depan keadilan di Konoha?
Sejarah mencatat bahwa Konoha didirikan dengan idealisme Hashirama Senju yang menginginkan kesetaraan di antara para shinobi. Namun, realitasnya berbeda. Struktur sosial yang berpusat pada klan elite seperti Senju, Uchiha, dan Hyuga sering kali menciptakan hierarki yang menghambat keadilan bagi kelompok yang kurang beruntung.
Klan Uchiha, misalnya, mengalami diskriminasi sistematis hingga puncaknya berakhir dalam tragedi pembantaian. Ketimpangan ini juga terlihat dalam perlakuan terhadap para shinobi dari latar belakang biasa yang kesempatannya tidak sebanding dengan mereka yang berasal dari garis keturunan kuat.
Ketimpangan juga terlihat dalam distribusi kekuasaan. Hokage sebagai pemimpin tertinggi seringkali berasal dari lingkaran elite, sementara peran shinobi kelas bawah tetap menjadi subordinat. Keputusan politik, seperti pembatasan akses informasi kepada rakyat dan penggunaan ANBU sebagai alat kontrol negara, semakin memperdalam kesenjangan antara pemimpin dan rakyat biasa.
Namun, harapan tetap ada. Generasi baru di bawah kepemimpinan Naruto Uzumaki berusaha membawa perubahan dengan membangun inklusivitas dan memperjuangkan keadilan sosial. Reformasi dalam sistem pendidikan ninja, kebijakan yang lebih terbuka terhadap klan minoritas, serta upaya membangun hubungan damai dengan desa lain menjadi tanda bahwa Konoha sedang berusaha menata ulang prinsip-prinsip keadilannya.
Meski demikian, tantangan tetap besar. Apakah sistem yang telah berjalan selama bertahun-tahun bisa berubah hanya dalam satu generasi? Apakah kebijakan reformasi cukup untuk menghapus luka sejarah dan menghindari konflik sosial yang dapat meledak sewaktu-waktu?
Masa depan keadilan di Konoha bergantung pada keseriusan pemimpinnya dalam menangani akar permasalahan ketimpangan, serta partisipasi aktif dari warganya dalam menuntut sistem yang lebih adil. Jika tidak, Konoha bisa saja jatuh dalam siklus ketidakadilan yang terus berulang. Konoha ya, bukan Indonesia.