Jaga Pilar

Korupsi Birokrasi dalam Teori Bureaucratic Oversupply Model

3 Mins read

Korupsi dalam birokrasi masih menjadi wabah tak berujung di Indonesia. Dari tahun ke tahun, masa ke masa praktik korupsi masih menjadi topik highlight di media massa. Menurut Prof. Mahfud MD, korupsi mencakup tindakan yang tidak selalu berupa pengalihan dana ke saku pribadi, tetapi juga kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau perusahaan tertentu.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, terdapat 30 jenis tindakan korupsi dengan 7 tindakan yang paling umum di dalamnya termasuk suap, gratifikasi, penggelapan, pemerasan, penipuan dan pencurian, dan konflik kepentingan. Korupsi dalam birokrasi sering terjadi dalam lingkup pelayanan publik. Contohnya adalah perilaku pegawai birokrasi yang memperumit proses administrasi untuk menciptakan peluang bagi suap atau biaya tambahan. Fenomena ini merugikan masyarakat, mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan menghambat pembangunan.

Secara umum, penyebab korupsi dalam birokrasi dibagi menjadi dua faktor, internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari dalam institusi birokrasi sendiri. Pegawai yang tidak profesional atau memiliki niat buruk dapat memperumit prosedur pelayanan publik untuk menciptakan peluang korupsi. Selain itu, kurangnya pengawasan dan evaluasi yang efektif juga memberi ruang bagi praktik korupsi. Motivasi pribadi, seperti keinginan memperbesar anggaran atau meningkatkan status individu dalam birokrasi, juga menjadi penyebab utama korupsi.

Sedangkan, faktor eksternal berasal dari masyarakat atau pihak tertentu yang ingin memperoleh pelayanan istimewa secara cepat dengan memberikan imbalan kepada oknum birokrasi. Fenomena ini menciptakan hubungan timbal balik antara pemberi dan penerima suap, yang semakin mengakar dalam budaya birokrasi.

Salah satu teori yang relevan dalam memahamiĀ korupsiĀ birokrasi adalah Bureaucratic Oversupply Model. Teori ini, yang didasarkan pada pemikiran ideologi liberalisme, mengkritik birokrasi yang dinilai terlalu besar dan tidak efisien. Menurut teori ini, birokrat sering kali memperbesar anggaran dan memperluas kewenangan untuk kepentingan pribadi atau organisasi mereka.

William Niskanen, salah satu pengusung teori ini, menyatakan bahwa birokrat bertindak sebagai ā€œpengusaha anggaranā€ yang menciptakan kebutuhan palsu atau melebih-lebihkan kebutuhan anggaran. Dampaknya adalah pembengkakan biaya proyek (mark-up), penciptaan proyek yang tidak diperlukan (oversupply), dan penggunaan dana publik untuk kepentingan politik. Struktur birokrasi yang tidak efisien serta kurangnya pengawasan memperbesar peluang korupsi.

Korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral yang memerlukan perubahan budaya dan kesadaran kolektif. Dengan komitmen semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, harapan untuk menciptakan Indonesia yang bebas korupsi bukanlah hal yang mustahil.

**

Korupsi adalah kejahatan luar biasa. Dampaknya meluas, menciptakan kemiskinan, memperparah ketimpangan sosial, dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap negara. Tidak sedikit negara yang hancur akibat korupsi yang merajalela. Di Indonesia, korupsi telah lama menjadi momok yang sulit diberantas. Hal ini memunculkan wacana ekstrem: haruskah koruptor dijatuhi hukuman mati? Korupsi berbeda dari kejahatan biasa. Ia tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga menyengsarakan jutaan rakyat. Uang yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan malah masuk ke kantong pribadi. Akibatnya, masyarakat yang bergantung pada layanan publik menderita.

Misalnya, dana bantuan sosial yang dikorupsi mengakibatkan banyak rakyat miskin tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan. Begitu pula korupsi dalam proyek infrastruktur yang menghasilkan bangunan rapuh, bisa memicu bencana yang menelan korban jiwa. Dalam konteks ini, korupsi dapat disamakan dengan pembunuhan tidak langsung. Sebagian pihak berpendapat bahwa hukuman mati adalah solusi efektif untuk memberikan efek jera kepada para koruptor. Di Tiongkok, misalnya, hukuman mati untuk kasus korupsi telah diterapkan dalam beberapa dekade terakhir. Pendekatan ini diklaim mampu menekan angka korupsi secara signifikan.

Namun, penerapan hukuman mati bukan tanpa kontroversi. Secara moral, ada pandangan bahwa kehidupan manusia adalah hak yang tidak boleh diambil, tidak peduli seberapa besar kejahatannya. Dari perspektif hukum, penerapan hukuman mati sering kali memicu perdebatan terkait potensi kesalahan dalam sistem peradilan. Apa yang terjadi jika seseorang dihukum mati padahal sebenarnya tidak bersalah?

Pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah hukuman mati benar-benar efektif dalam memberantas korupsi? Dalam kasus Tiongkok, meskipun hukuman mati diterapkan, korupsi tetap ada. Hal ini menunjukkan bahwa hukuman mati saja tidak cukup. Korupsi adalah masalah sistemik yang membutuhkan reformasi besar-besaran, mulai dari penguatan sistem pengawasan hingga penegakan hukum yang konsisten. Di Indonesia, hukuman mati untuk koruptor sebenarnya dimungkinkan dalam hukum positif. Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati. Namun, implementasinya masih menjadi perdebatan panjang.

Daripada sekadar mengejar hukuman mati, ada alternatif hukuman yang mungkin lebih efektif dan manusiawi. Salah satunya adalah hukuman kerja paksa atau restitusi yang maksimal. Koruptor diwajibkan mengembalikan seluruh hasil kejahatannya hingga ke nilai terkecil, bahkan jika itu berarti menyerahkan seluruh harta bendanya. Selain itu, penjara dengan tingkat pengawasan tinggi tanpa peluang remisi dapat menjadi solusi untuk memastikan koruptor tidak mendapatkan keistimewaan.

Langkah lainnya adalah memiskinkan koruptor secara sistematis. Dengan menyita aset mereka dan memastikan mereka tidak dapat mengakses kekayaan yang telah diperoleh secara ilegal, hukuman ini akan memberikan efek jera yang kuat. Hukuman mati untuk koruptor adalah wacana yang menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ia menawarkan efek jera yang kuat, tetapi di sisi lain, ia memicu perdebatan etis dan hukum. Yang jelas, memberantas korupsi membutuhkan pendekatan yang lebih holistik. Hukuman mati mungkin menjadi bagian dari solusi, tetapi tanpa perbaikan sistemik, korupsi akan terus mencari celah untuk bertahan.

Apapun bentuk hukuman yang diterapkan, korupsi harus diperlakukan sebagai kejahatan yang luar biasa, karena dampaknya jauh melampaui pelaku dan korban langsung—ia menghancurkan masa depan bangsa.

 

Alvika Jienni

Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung Prodi Hukum Tata Negara
1672 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Jaga Pilar

Kemenkum Maluku dan Densus 88 Perkuat Sinergi Pencegahan Terorisme

1 Mins read
Kementerian Hukum (Kemenkum) Maluku bersama Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polda Maluku menjalin kerja sama dalam bidang pencegahan terorisme di daerah…
Jaga Pilar

Muhammadiyah Harus Kembangkan Pilar Keempat

1 Mins read
Di hadapan segenap keluarga besar Universitas Muhammadiyah Jember, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Muhadjir Effendi menegaskan pentingnya Muhammadiyah mengembangkan pilar keempat,…
Jaga Pilar

Bela Palestina Bukan Bela Khilafah dan Ekstremisme, Hati-hati!

4 Mins read
Wakil Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (MUI) Najih Arromadloni mengingatkan masyarakat Indonesia untuk mewaspadai propaganda jihad khilafah berkedok…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.