Religius

Lika-Liku Santri Pasca-Pesantren, Menjembatani Jurang Ekspektasi dan Realita

3 Mins read

Pesantren, sebagai salah satu institusi pendidikan tertua di Indonesia, telah melahirkan ribuan santri setiap tahunnya. Mereka diharapkan menjadi garda terdepan dalam menjaga nilai-nilai keislaman sekaligus berkontribusi bagi masyarakat. Namun, di balik romantisme perjuangan menuntut ilmu di balik tembok pesantren, tersembunyi kegelisahan yang menggerogoti para santri ketika tiba saatnya mereka harus melangkah keluar.

Bagi santri yang bukan “anak orang kaya”, dunia pasca-pesantren seringkali terasa seperti labirin gelap, mereka terjepit antara impian melanjutkan pendidikan, tekanan mencari kerja, dan beban ekspektasi sosial yang tak jarang berujung pada krisis identitas.

Persoalan pertama yang menghantui adalah minimnya kesiapan memasuki dunia kerja. Mayoritas pesantren tradisional fokus pada penguatan ilmu agama, seperti fikih, tafsir, atau bahasa Arab, tanpa banyak menyentuh keterampilan praktis yang dibutuhkan pasar.

Akibatnya, ketika lulus, santri kerap kebingungan. Mereka tidak hanya bersaing dengan lulusan SMA atau SMK yang lebih akrab dengan teknologi, tetapi juga dengan sarjana universitas yang jumlah penganggurannya mencapai 13,55% menurut data BPS 2023.

Jika pun berniat melanjutkan pendidikan tinggi, biaya menjadi tembok pertama yang harus dirobohkan. Meski ada perguruan tinggi berbasis pesantren dengan biaya terjangkau, informasi tentang hal ini seringkali tidak sampai ke telinga mereka.

Santri dari pesantren yang ketat dalam penggunaan gadget, misalnya, sangat bergantung pada informasi dari guru atau teman sepondok. Padahal, seperti diungkapkan Azyumardi Azra dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III (2012), akses informasi adalah kunci mobilitas sosial bagi lulusan pesantren.

Tantangan semakin kompleks ketika berbicara tentang universitas di luar negeri seperti LIPIA, UIM, maupun Al-Azhar Mesir. Proses pendaftaran yang rumit, persaingan ketat, dan kurangnya pelatihan tes masuk membuat opsi ini hanya menjadi mimpi bagi sebagian besar santri.

Di sisi lain, jurusan umum di dalam negeri juga bukan solusi instan. Biaya hidup selama kuliah—mulai dari kos, makan, hingga praktikum—menjadi momok. Program seperti KIP Kuliah atau beasiswa LPDP memang ada, tetapi persyaratannya seringkali tidak ramah bagi santri dari pesantren tradisional.

Baca juga:Ketika Tradisi dan Modernitas Berpapasan: Haruskah Sound Horeg Mendentum di Tengah Nyongkolan?
Sebagai contoh, syarat nilai UN atau UTBK menjadi penghalang karena banyak pesantren tidak mengikuti kurikulum nasional secara ketat. Akhirnya, pilihan “kuliah sambil kerja” pun terbentur realita bahwa mencari pekerjaan paruh waktu bukan perkara mudah. Di sinilah lingkaran setan bermula, tidak kuliah karena tidak ada biaya, tidak kerja karena tidak punya keterampilan.

Persoalan ini tidak berhenti di tataran struktural. Ada dimensi psikologis yang lebih dalam, kelelahan mental setelah bertahun-tahun hidup dalam disiplin pesantren. Banyak santri yang, begitu merasakan kebebasan, justru tenggelam dalam hiburan instan seperti game atau media sosial sebagai bentuk “pelarian”.

Fenomena ini selaras dengan teori escapism yang dijelaskan Peter Berger dalam The Sacred Canopy (1967)—manusia cenderung mencari pelarian dari tekanan realita melalui dunia alternatif. Ironisnya, masyarakat tidak memberikan ruang bagi mereka untuk bernapas.

Ekspektasi bahwa “lulusan pesantren harus bisa ini-itu” justru menjadi beban ganda. Ketika seorang santri gagal memenuhi standar, masyarakat terbelah menjadi dua kubu, yang menyalahkan “kurangnya kesalehan” atau menertawakan “percuma mondok lama-lama”.

Stigma ini memicu krisis identitas, mendorong sebagian santri menjauh dari nilai-nilai pesantren dan terjerumus dalam perilaku destruktif. Lantas, di mana solusinya?

Pertama, diperlukan terobosan dalam membangun jembatan antara pesantren dan dunia luar. Pemerintah desa, sebagai institusi terdekat, bisa berperan dengan memfasilitasi pelatihan keterampilan berbasis komunitas.

Misalnya, menggandeng pesantren setempat membuka kursus komputer, bahasa Inggris, atau kewirausahaan yang diintegrasikan dengan nilai keagamaan. Program seperti ini pernah dilakukan di Pesantren Al-Mawaddah Coper, Klaten, yang sukses mengembangkan usaha kerajinan kayu berbasis syariah dengan pendampingan dari dinas koperasi setempat.

Kedua, kolaborasi antara pesantren dan perguruan tinggi perlu ditingkatkan. Universitas seperti UIN Walisongo Semarang telah membuka program rekognisi pembelajaran lampau (RPL) yang mengakui ilmu pesantren sebagai bagian dari SKS, sehingga mempercepat masa studi. Model ini patut diadopsi secara nasional.

Ketiga, penting membangun sistem pendampingan mental pasca-pesantren. Organisasi alumni pesantren bisa difungsikan sebagai support group, membantu santri baru lulus dalam mengakses informasi beasiswa, lowongan kerja, atau sekadar menjadi teman diskusi. Di Pesantren Darussalam Gontor, misalnya, jaringan alumni yang kuat terbukti efektif menciptakan lapangan kerja melalui usaha bersama.

Keempat, literasi digital harus menjadi kurikulum wajib di pesantren. Daripada melarang santri menggunakan gadget, pesantren perlu mengajarkan pemanfaatan teknologi untuk pengembangan diri, seperti kursus daring melalui platform Coursera atau Duolingo yang banyak menyediakan program gratis.

Terakhir, diperlukan perubahan paradigma masyarakat dalam memandang lulusan pesantren. Kesuksesan santri tidak harus diukur dengan gelar atau jabatan mentereng, tetapi juga kontribusinya dalam membangun lingkungan melalui ilmu agama yang dimiliki.

Seperti ditulis Haidar Bagir dalam Semesta Cinta (2015), “Pendidikan sejati adalah yang mengubah manusia menjadi cahaya bagi sekitarnya.” Seorang santri yang menjadi guru ngaji di desa, misalnya, adalah pahlawan yang menjaga marwah keislaman komunitasnya.

Persoalan santri pasca-pesantren mencerminkan ketimpangan sistemik dalam pendidikan Indonesia. Mereka adalah produk dari sistem yang masih memisahkan “ilmu agama” dan “ilmu duniawi”, seolah keduanya tidak bisa bersinergi.

Padahal, di tangan santri yang diberdayakan, keduanya bisa menjadi pisau bermata dua, mengukir identitas keislaman sekaligus membangun kemandirian ekonomi.

Yang diperlukan sekarang bukan sekadar program tambal sulam, tetapi komitmen kolektif yang membuka jalan bagi mereka—bukan dengan belas kasihan, tetapi dengan kepercayaan bahwa santri adalah aset bangsa yang belum tergali optimal.

Sebab, seperti pesan bijak dalam kitab Ta’lim Muta’allim, Al ‘ilmu bila ‘amalin kasy-syajari bila tsamarin (Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah).

 

Beryn Imtihan

1562 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Religius

Mengapa Moderasi Beragama?

3 Mins read
Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap dan prilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk negeri ini, dari dulu hingga…
Religius

Ekspresi Muslim Jepang dalam Lukisan Kaligrafi

3 Mins read
Jepang, seperti yang kita ketahui memiliki keyakinan tradisional yaitu Shinto. Melansir dari Japanguide.com, survei menunjukkan bahwa sebanyak 52% masyarakat menyatakan tidak memiliki…
Religius

Berkemuhammadiyahan di Lingkup TPA

2 Mins read
Pada 25-29 Desember 2024 PD IPM Kabupaten Magelang melaksanakan kegiatan Taruna Melati 2 di SMA Muhammadiyah Salaman. Dalam kegiatan tersebut, telah diikuti…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.