Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, merespons tegas beredarnya buku ajaran di madrasah yang memuat tentang sejarah berdirinya NU. Dalam buku terdapat fakta-fakta salah sehingga berpotensi terjadi penyesatan sejarah.
“Ada buku yang ditulis dan kemudian digunakan sebagai referensi atau sebagai bahan ajar di madrasah-madrasah mengenai sejarah pendirian NU yang berisi narasi yang menyimpang, yang tidak sesuai dengan yang sesungguhnya,” seusai memimpin Rapat Pleno PBNU di Jakarta, Minggu (28/7/2024) lalu.
Untuk merespons ini, PBNU telah memerintahkan kepada lembaga pendidikan Ma’arif dan Rabithah Ma’ahid Al Islamiyah atau asosiasi pesantren-pesantren, untuk melakukan penelitian menyeluruh terhadap laporan adanya upaya penyimpangan atau membuat narasi yang menyimpang tentang sejarah berdirinya NU
Menurut Gus Yahya, sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf, narasi-narasi menyimpang itu tidak sesuai dengan sejarah berdirinya NU yang sesungguhnya. Dia menginstruksikan pencabutan buku menyimpang itu dari peredaran.
Buku tersebut tidak boleh dipergunakan di lembaga-lembaga pendidikan NU sebab bukan hanya mengaburkan, melainkan menyimpangkan dari sejarah berdirinya NU.
“Apabila ditemukan buku-buku atau bahan ajar yang seperti itu, ini harus dicabut, harus ditarik dari peredaran,” tutur Gus Yahya.
Menyikapi hal tersebut, Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) langsung menarik buku di lingkungan pendidikan Ma’arif NU. Dikutip dari Repulibika.co.id, penarikan buku tersebut dilakukan karena telah terjadi distorsi sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU) di dalamnya.
Dalam surat instruksi Nomor 635/PP/SU/LPM-NU/VII/2024 yang ditandatangani Ketua LP Ma’arif NU, Muhammad Ali Ramdhani dan Sekretaris LP Ma’arif NU Harianto Oghie, disampaikan bahwa menindaklanjuti Keputusan Rapat Pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tanggal 27-28 Juli 2024 di Jakarta.
Berkaitan dengan beredarnya Buku Pelajaran Ahlussunnah Waljamaah Ke-NU-an Jilid I untuk Kelas 2 yang diterbitkan oleh RMI PCNU Kabupaten Tegal yang juga beredar di lingkungan satuan-satuan Pendidikan Ma’arif NU, yang isinya telah terjadi distorsi sejarah pendirian Nahdlatul Ulama (NU).
Oleh karena itu, demi menghindarkan beredarnya pemahaman yang keliru dan salah paham di tengah santri dan siswa-siswi Ma’arif NU, maka LP Ma’arif NU PBNU menginstruksikan untuk:
Pertama, menarik buku tersebut dan dilarang untuk diajarkan dalam lingkup satuan Pendidikan Ma’arif NU.
Kedua, kepada seluruh guru atau murid yang memegang buku tersebut agar menyerahkan ke kepala satuan Pendidikan Ma’arif NU atau ke pengurus Ma’arif NU terdekat di wilayahnya masing-masing.
Ketiga, menelaah kembali buku-buku Mata Pelajaran Ke-NU-an atau Ke-Aswaja-an yang diterbitkan oleh Pengurus LP Ma’arif NU Wilayah/ Cabang di setiap satuan pendidikan baik madrasah maupun sekolah.
Keempat, pengurus LP Ma’arif NU Wilayah wajib melaporkan kepada Pengurus LP Ma’arif NU PBNU setiap buku yang diterbitkannya baik berkaitan Sejarah NU, Sejarah Tokoh NU, dan Sejarah LP Ma’arif NU.
Kelima, kepada seluruh guru dalam lingkup LP Maarif NU, baik yang mengajarkan mata pelajaran Ke-aswaja-an dan Ke-NU-an atau mata pelajaran apapun agar selalu berkoordinasi dengan pengurus LP Maarif NU di tingkat MWC NU, PCNU, atau PWNU terdekat jika sekiranya menemukan hal-hal yang janggal dan tidak sesuai nilai-nilai ideologi dan falsafah berbangsa yang diajarkan oleh para kiai dan ulama di lingkungan NU selama ini.
Keenam, jika Pengurus LP Ma’arif NU Wilayah/ Cabang tidak memperhatikan hal yang dimaksudkan poin 1 dan 2 di atas, maka Pengurus LP Ma’arif NU PBNU akan mengambil tindakan sebagaimana mestinya.
Ketujuh, pengurus LP Ma’arif NU PBNU akan segera membentuk Tim Penelaah untuk melakukan penelitian secara menyeluruh dan mendalam terhadap Buku Ajar Ke-NU-an dan Ke-Aswaja-an yang diterbitkan Pengurus LP Ma’arif NU Wilayah dan Cabang, sebagaimana amanat Keputusan Rapat Pleno PBNU tanggal 27-28 Juli 2024.
Dari telusuran berbagai sumber seperti dikutip dari Republika.co.id, didapati buku yang dimaksud adalah buku Pelajaran Ahlusunnah Waljamaah Ke-NU-an, jilid 1 untuk kelas 2, Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren yang disusun oleh Divisi Keilmuan RMI PCNU, Penerbit RMI PCNU Kabupaten Tegal.
Dalam buku tersebut dijelaskan, bahwa salah satu pendiri NU adalah kakek dari Habib Luthfi, Habib Hasyim Bin Yahya Pekalongan. Bahkan, diungkap secara lengkap tentang kronologi pendirian NU yang tak terlepas dari kakek Habib Luthfi.
Dalam footnote Bab VI yang menerangkan sejarah lahirnya NU, disebutkan bahwa, ada versi lain dalam pembentukan NU. Dibentuknya NU sebagai wadah Aswaja bukan semata-mata KH Hasyim Asy’ari ingin berinovasi, tetapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dhoruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Hal itu merupakan pengalaman ulama-ulama Aswaja, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.
Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama besar berkumpul di Masjidil Haram. Mereka menyimpulkan bahwa sudah sngat mendesak beridirnya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Aswaja.
Akhirnya, diistikarahi oleh para ulama Haramain. Kemudian mereka mengutus KH Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia agar menemu dua orang yang diyakini sebagai kekasih Allah, yang bermukim di Indonesia.
Kalau dua orang ini mengiyakan, maka rencana pembuatan wadah untuk Aswaja akan dilanjutkan. Kalau tidak maka jangan diteruskan. Dua orang tersebut adalah Habib Hasyim bin Umar bin Thoha bin Yahya, Pekalongan (kakek meulana Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya.
Yang satunya lagi adalah Syekhona Muhammad Kholil Bangkalan. Oleh sebab itu, tidak heran jika Muktamar NU yang ke-5 dilaksanakan di Pekalongan, tepatnya pada tahun 13 Rabiul Akhir 1349 H/7 September 1930 M. Hal itu dilakukan ternyata untuk menghormati Habib Hasyim bin Yahya yang wafat pada tahun itu.
Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ke tempat mbah Kiai Yasin. Kiai Sanusi ikut serta pada watu itu. Di situ, mereka diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan. Lalu, bersama Kiai Irfan, datang ke kediaman Habib Hasyim.
Begitu KH Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, ”Kiai Hasyim Asy’ari, silakan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Aswaja. Saya rela (rida), tapi tolong nama saya jangan ditulis.” Itu wasiat Habib Hasyim. Kiai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas.
Kemudian Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan. Mbah Kiai Kholil berkata kepada Kiai Hasyim Asy’ari, “Laksanakan apa niatmu. Saya rida seperti ridanya Habib Hasyim.Tapi, saya juga minta tolong nama saya jangan ditulis.”
Kiai Hasyim agak bingung. Bagaimana ini, kok tidak mau ditulis namanya semua. Terus Mbah Kiai Kholil menimpali Kiai Hasyim. “Kalau mau ditulis silakan tapi sedikit saja.” Itulah wujud tawadunya Mbah Kiai Muhammad Kholil Bangkalan.
Sejarah di atas disampaikan oleh yang Mulia Maulana Al-Habib Luthfi bin Yahya (Rais ‘Aam Jam’iyah Alu Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdiyah pda Harlah Nu di Kota Pekalongan pada 2010. Sejarah ini juga ikut dicatat KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Dalam buku ini lalu diberikan keterangan bahwa sejarah tersebut tetap dicantumkan meskipun Habib Hasyim bin Yahya mungkin tidak terlalu berkenan. Tim penulis beralasan jika sejarah semacam ini tidak akan ditemukan lagi di kemudian hari.
Mahasiswa UNJ.