Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Irfan Idris meminta para mahasiswa mampu mendeteksi kelompok radikal di sekitar mereka bukan berdasarkan ciri fisik. Menurutnya kelompok terorisme belakangan ini tidak ada ciri fisiknya yang mencolok.
“Ingat, tidak ada ciri-ciri fisik orang-orang radikal. Kalau (pelaku) bom Bali, memang ada ciri fisiknya, tetapi kalau setelah itu, bom Surabaya tidak ada lagi (ciri fisik),” kata Irfan Idris.
Untuk mencegah pengaruh dari kelompok radikal, menurut Irfan, para mahasiswa perlu mewaspadai kelompok tersebut dengan mendeteksi empat indikasi, yakni memiliki prinsip menolak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menolak Pancasila, intoleran, dan gemar mengkafirkan orang lain.
Jika menemukan indikasi sikap atau ajakan semacam itu, dia meminta para mahasiswa segera menolak dan jangan sampai terpapar.”Kelompok radikal, teroris, pintar menganalisa, mana orang yang bisa dicuci otaknya,” ujar dia.
Irfan menuturkan hingga kini ideologi yang bertentangan dengan Pancasila masih terus disuarakan oleh kelompok radikal melalui berbagai sarana termasuk mengemas dengan bahasa-bahasa agama. “Mereka tidak memahami bahwasanya Pancasila sudah final bagi Bangsa Indonesia,” kata dia.
Irfan menyebutkan bahwa secara kuantitas, gerakan ataupun serangan terorisme di Indonesia mengalami tren penurunan, bahkan selama periode 2013 hingga 2023 tidak ada sama sekali kasus ledakan bom di Indonesia. Namun demikian, dia mengatakan secara kualitas, aksi dan serangan terorisme di Indonesia mengalami peningkatan dengan menyasar generasi muda lewat berbagai sarana, termasuk media sosial.
“Tidak ada istilah kampus radikal, tidak ada istilah pesantren yang radikal, tetapi kelompok teroris global melalui media sosial menyasar seluruh generasi muda,” kata dia.
Oleh karena itu, Irfan berharap kampus melalui lembaga kemahasiswaan, baik intrakurikuler maupun ekstrakurikuler memperbanyak dialog interaktif bersama mahasiswa dengan mengundang berbagai narasumber berkompeten di bidangnya. “Tidak salah kita belajar apapun bidangnya. Silakan pelajari semua, tetapi satu hal bahwasanya negara kita sudah final dengan ideologi Pancasila,” ujar dia.
Di era modern yang penuh dengan tantangan global, isu radikalisme dan ekstremisme menjadi salah satu ancaman serius yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan sangat vital dalam upaya mencegah dan menangkal penyebaran paham radikal di kalangan generasi muda. Namun, dalam menjalankan peran ini, penting bagi mahasiswa untuk memahami bahwa deteksi kelompok radikal tidak boleh hanya didasarkan pada ciri fisik semata.
Selama ini, terdapat kesalahpahaman umum yang menyebar di masyarakat bahwa seseorang dapat diidentifikasi sebagai anggota kelompok radikal hanya berdasarkan penampilan fisik, seperti cara berpakaian, panjang janggut, atau atribut keagamaan tertentu. Pandangan ini tidak hanya sempit, tetapi juga berpotensi diskriminatif dan kontraproduktif dalam upaya kontra-radikalisasi.
Radikalisme adalah paham yang terkait erat dengan pemikiran dan ideologi, bukan dengan penampilan fisik. Oleh karena itu, deteksi kelompok radikal harus lebih difokuskan pada pemantauan terhadap pemikiran, perilaku, dan tindakan yang mencerminkan paham ekstrem. Beberapa indikator yang lebih relevan dan efektif untuk mendeteksi radikalisme antara lain:
- Retorika Kekerasan: Individu atau kelompok yang sering menggunakan retorika kekerasan dan permusuhan terhadap kelompok lain perlu diwaspadai. Propaganda yang mengajak kepada tindakan kekerasan atau terorisme adalah tanda jelas dari paham radikal.
- Intoleransi Ekstrem: Sikap intoleran yang ekstrem terhadap perbedaan agama, budaya, atau pandangan politik juga merupakan indikator radikalisme. Mahasiswa perlu mewaspadai individu atau kelompok yang tidak dapat menerima keberagaman dan perbedaan pendapat.
- Eksklusivisme dan Segregasi: Kelompok radikal seringkali mengisolasi diri dari masyarakat umum dan menciptakan komunitas eksklusif yang menolak interaksi dengan kelompok di luar mereka. Pendekatan yang menekankan pada segregasi sosial ini perlu diwaspadai.
- Perubahan Perilaku yang Mendadak: Perubahan perilaku yang signifikan dan mendadak pada seseorang, seperti mulai menghindari teman-teman lama, menjadi lebih tertutup, atau terlibat dalam kelompok yang mencurigakan, dapat menjadi tanda adanya pengaruh radikal.
- Keterlibatan dalam Aktivitas Tertentu: Keterlibatan dalam aktivitas yang mencurigakan, seperti pertemuan rahasia, penggalangan dana untuk tujuan yang tidak jelas, atau pelatihan paramiliter, adalah indikator penting yang perlu diperhatikan.
Untuk efektif dalam deteksi dan pencegahan radikalisme, mahasiswa perlu dibekali dengan pendidikan yang memadai tentang paham radikal dan ekstremisme. Universitas dan lembaga pendidikan tinggi harus mengintegrasikan materi tentang kontra-radikalisasi dalam kurikulum mereka, serta menyediakan pelatihan dan workshop yang relevan.
Selain itu, penting juga untuk mendorong dialog terbuka dan inklusif di lingkungan kampus. Mahasiswa harus didorong untuk berpartisipasi dalam diskusi yang membahas isu-isu sosial, politik, dan keagamaan secara konstruktif. Melalui dialog ini, mahasiswa dapat lebih memahami perbedaan dan menemukan cara untuk menghargai keragaman, yang pada akhirnya dapat membantu mencegah penyebaran paham radikal.
Deteksi kelompok radikal bukanlah tugas yang dapat diselesaikan dengan melihat ciri fisik semata. Mahasiswa perlu dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan yang tepat untuk mengenali tanda-tanda radikalisme yang lebih substansial. Dengan fokus pada pemikiran, perilaku, dan tindakan, serta melalui pendidikan dan dialog yang terbuka, mahasiswa dapat memainkan peran kunci dalam upaya kontra-radikalisasi yang efektif dan berkelanjutan.