Membangkang. Begitulah para rezim menyebut gerombolan masa mulai memekikan telinga mereka bertengger di ruang ber-AC. Narasi kritik pedas mulai sahut menyahut atas kondisi negara membuat meletup orasi masa hingga membuat pepat seisi jalan. Walakin, nampak juga wajah muram para pengguna jalan karena ia lumayan tersendat dan terganggu.
Lantas mereka tetap kekeh dengan urat leher begitu mengurat menyuarakan tuntutan. Di beberapa titik sudah terlihat kepulan asap tebal. Mata merah karena kurang tidur ditambah cuaca panas betul-betul menusuk kulit, lengkap sudah penderitaan pemuda-pemuda siang itu mengangkat tuntutan, “turunkan harga BBM, revisi pasal karet RKUHP!”.
Mereka berjubel mengular, berjalan kaki hingga peluh keringat menetes membuat bercak pada pakaian mereka. Usut punya usut bertepatan pada tanggal 3 September 2022, tuk! Disahkannya harga BBM. Terbakar sudah emosi mereka hingga belaian sang ibu tak membuatnya nyaman. Narasi lawan tak terbendung sampai langit mendung meneteskan air sebagai tanda, perjuangan mereka di lihat langit yang juga muram.
Kita kekurangan anggaran negara, mau dapat dari mana uang? Hutang lagi? Narasi itu muncul di beberapa surat kabar perempuan bondol untuk meyakinkan rakyatnya untuk mimilih jalan kenaikan BBM. Berkumpulnya gerakan mahasiswa di beberapa kota jadi sebuah tanda narasi penolakan karena peluang membuat rakya papa semakin tercekik.
Ritual hiruk pikuk dengan warna-warni disana mengingatkan pada track record gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tahun 1965, dengan Zamroni sebagai pimpinan presidium pergerakan membuat rezim waktu itu betul-betul menggelengkan kepalanya. Inflasi sebsar 600 persen, dibalas dengan aksi jalanan yang menggelegar dan menggulingkan orde lama.
Begitu juga dengan tahun 1998, masa menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat Indonesia (DPR RI), lengserlah pak tua berambut putih dengan senyum nan misteri digiring untuk segera mundur. Konkrit sudah, gerakan bocah-bocah itu membuat getar kaki dan tangan rezim. Alhasil segala bentuk perumpamaan muncul, “pembangkang sipil sampai orang-orang tak bisa berhitung matematika.”
Beribu kali turun aksi bagiku suatu langkah pasti. Utopia terlintas dalam benak mahasiswa berkacamata sedikit retak dibagian tangkai kirinya itu. Narasi ditunggangi tak pernah luput dari penilaian. Ya, mereka betul ditunggangi. Ditunggangi oleh kepentingan rakyat. Ujar salah satu mereka dengan mata merahnya.
Tempo (13/01/2014) dengan edisi khusus Peristiwa Malari, mendedah begitu jeli, sebab musabab gerakan mahasiswa. Dua kubu mulai menggebu menyampaikan datanya. Mulai dari peranan jendral masuk mempengaruhi dari warung-warung kopi hingga ucapan tegas tak di tunggangi oleh siapapun. Timbullah apocalypse, gerakan mahasiswa bisa dibuat rusuh oleh sistem kekuasaan yang otoriter.
Pergerakan modal jepang di Indonesia betul-betul membuat muram mahasiswa pada waktu itu. Pembangunan sebagai panglima jadi narasi utama orde baru. Investasi harus dikebut, kendati demikian kestabilan politik juga perlu dijaga, agar pemegang modal tak takut untuk menanamkan investasinya.
Kumpulan masa yang berjalan dan melakukan arak-arakan dari Salemba membawa banyak tuntuttan terkait dengan investasi dari Jepang. “Hantam Neokolonialisme Jepang, GNP naik celana rakyat melorot.” Kritik itu betul-betul ramai tersirat dalam spanduk putih tand kritik kepada penguasa.
Apel 15 Januari 1974 yang dilakukan oleh mahasiswa, membuat Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka lumayan ragu menanam investasi ketika ribuan masa bersiap meramaikan pusat kota. Akronim malari (Malapetaka Lima belas Januari) meledak. Ketika demonstrasi belum juga kelar, meledak perusakan yang dilakukan oleh beberap oknum. Mahasiswa merasa demonstrasi mereka ditunggangi.
Kematian Ramadi yang sebelumnya menyampaikan bahwasannya kerusuhan yang terjadi di salemba, dsb itu sengaja dibuat oleh Ali Moertopo dengan operasi khususnya itu. Ramadi adalah orang binaan Moertopo. Ia sempat menggemparkan dunia intelijen. Sebelum pemberitaan mati tanpa sebab, ia menyampaikan bahwasannya dalang kerusuhan itu diakibatkan persaingan dua gajah (baca; panglima) sebagai asisten presiden Soeharto, (Tempo, 1974).
Soemitro dan Ali Moertopo. Asisten presiden yang dicintai oleh Soeharto, punya visi dan jumlah masa yang berpengaruh. Ali Moertopo dengan orang-orang binaannya antara lain; Gerakan Usaha Pembaharauan Pendidikan Indonesia (GUPPI), tukang becak, preman, dsb. Sedangkan Soemitro, ia lebih dekat dengan orang-orang sosialis dan Masyumi lawasan pada waktu itu.
Tangkap menangkap tak bisa dibendung. Dua jendral yang berseteru saling tankap kroni mereka yang bersebrangan. Pembakaran mobil-mobil buatan jepang hingga penjarahan terjadi. Hariman Siregar waktu itu sebagai Dema BEM UI bingung memegang dahi. Masa tak terkendali, banyak masa masuk dalam gerakan dan bebas gasak sana-sini. Gerakan mahasiswa pun tercoreng.
Sikap dan tugas intelektual
Rahman Tolleng pernah berdebat dengan kawan-kawan mahasiswa kala itu. Hariman Siregar dan Rahman Tolleng berdebat soal target yang akan dikritik terkait rakyat yang masih lapar namun jor-joran perihal investasi dari Jepang. Awalnya, Hariman mengusulkan untuk mengkritisi perihal konsepsi pembangungan sebagai panglima namun tak memperhatikan pemerataan.
Mengenai intelektual, polarisasi muncul. Keberpihakan adalah penyebabnya. Seorang intelektual tak semuanya berani tegak lurus menghantam rezim yang zolim Kisah Dreyfus yang mematai militeri dengan nasib digantung itu, banyak dibela oleh beberapa golongan dan intelektual pro kaum papa. Pembela Dreyfus disebut sebagai Dreyfusard.
Emile Zola turun atas kondisi tersebut. Tepat pada 1898, Zola menulis tentang “Manifesto Intelektual,” berisi surat terbuka untuk mendukung seorang Alfred Dreyfus yang rela mati digantung untuk sebuah kebenaran. Berbeda halnya dengan para Intelektual yang tak berani melancarkan sebuah perlawanan, dengan hanya termangu di antara buku tebal mereka.
Mengenai intelektual. Anotonio Gramsci menjelaskan dengan gambalang. Adalah Intelektual Organik dan Tradisional. Intelektual organik bisa dicontohkan seperti Dreyfusard, ia tegak lurus dengan pemerintah untuk mengkritisi habis-habisan kebobrokan yang dilakukan pemerintah. Sedangkan untuk intelektual tradisional, ia hanya mantap dengan buku-buku bacaannya itu, tanpa terlibat dalam proses pembelaan untuk tegak lurus terhadap pemeritah.
Malari, Gerakan Mahasiswa dan Penunggang menjadi sebuah refeksi bersama. Bahwasannya seorang mahasiswa itu perlu untuk berperan seabagai seorang intelektual organik agar dapat menyuarakan rintihan kaum papa. Walaupun tantangannya adalah nyawa dan para freerider yang membuat petaka. Keberpihakan kepada papa untuk bersuara lebih bijaksana dibanding diam dan merasa pintar. Sekian.