Sebut saja namanya Yunus (bukan nama sebenarnya). Dia mantan teroris anak buah Nurdin M Top. Pernah terlibat dalam beberapakali aksi teror. Alumni camp pelatihan Mindanau, Philipina ini pernah mengenyam penjara Nusakambangan beberapa tahun. Saat menjadi pelajar, sebenarnya Yunus adalah anak yang pintar dan nasionalis. Dia pernah menjadi finalis lomba cerdas cermat Pancasila mewakili provinsi. Proses radikalisasi terjadi ketika dia aktif di pegajian yang dilakukan oleh kelompok radikal.
“Saya akui, saya pernah salah gaul sehingga membuat saya menjadi salah jalan dalam memahami agama” Demikian dia menjelaskan perjalanan hidupnya menjadi teroris.
Selama berada di Lapas inilah dia melakukan refleksi atas apa yang dilakukan. Dia sempat melihat bagaimana perilaku para tokoh teroris bersikap terhadap para pejabat dan elit negeri ini. Berbagai peristiwa yang dia lihat selama di lapas menjadi bahan renungan yang memicu hatinya untuk berubah. Apalagi saat membayangkan nasib anak dan istri yang ditinggal selama di penjara.
“Semua ini membuat tekad saya semakin kuat untuk berubah” kata Yunus saat memberikan testimoni pada kami di rumah Pancasila.
Tidak mudah berubah sepulang dari lapas. Stigma sebagai teroris yang disandangnya membuat masyarakat menjaga jarak.
“Sikap masyarakat secara lahir memang baik, mereka menerima kami biasa-biasa saja. Tapi saya merasa ada batasan-batasan tertentu terhadap diri saya. Selain itu saya juga merasa seluruh tindakan saya selalu diawasi” kata Yunus.
Diatara batasan yang diberikan adalah dia tidak boleh menjadi pengurus mushalla, memimpin jamaah pengajian dan sejenisnya.
“Mas Yunus silahkan ikut aktif di majlis pengajian, yasinan, tahlilan tapi tidak usah menjadi mengurus ya” kata salah seorang tokoh masyarakat kepada Yunus. “Ya pak, tidak apa-apa, saya cuma mau bermasyarakat secara baik di sini. Yang penting saya bisa ikut terlibat dalam berbagai kegiatan masyarakat” jawab Yunus dengan tulus. Bahkan ketika sikap masyarakat sudah mulai berubah, menerima Yunus menjadi ketua Panitia pembangunan masjid, ada ketua RT yang masih menolak.
Meski mendapat menolakan untuk jadi pengurus, namun Yunus tetap aktif dalam berbagai kegiatan. Dia berniat melakukan semua itu bukan untuk mencari posisi, tetapi karena ikhlas ingin berbuat baik. Oleh karenanya dia tidak merasa sakit hati atas penolakan tersebut. Dia juga memahami kalau ada masyarakat yang masih belum bisa menerima keberadaan dirinya. Berbagai tantangan itu tak membuat Yunus patah semangat atau menumbuhkan niat kembali pada komunitas semula. Semua kejadian itu justru menguatkan niat Yunus untuk berubah.
“Saya merasa sudah diberi kesempatan kedua untuk hidup di Indonesia dan saya akan mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk memperbaiki diri” kata Yunus. Keteguhan sikap Yunus ini berhasil mengubah pandangan masyarakat, hingga akhirnya masyarakat bisa menerima dirinya dan sekarang dia bisa menjadi pengurus pengajian, menjadi panitia pembangunan mushalla.
Pengalaman seperti Yusuf tidak dialami oleh Panji (bukan nama Sebenarnya). Dia juga mantan teroris alumni Nusakambangan. Panji adalah salah satu anak buah gembong teroris Abu Thalut yang pernah terlibat dalam berbagai aksi teror. Ketika dia kembali ke masyarakat, dia langsung bisa diterima dengan baik dan bisa terlibat langsung dalam berbagai kegiatan. Dia mengaku tidak pernah mendapat perlakukan khusus dari masyarakat.
Panji pernah dua kali masuk penjara. Saat keluar dari penjara yang pertama belum membuatnya jera. Dia masih melibatkan diri dalam jaringan teroris hingga akhirnya dia tertangkap dan masuk penjara lagi. Saat dipenjara yang kedua inilah mulai ada proses perenungan sehingga akhirnya ia menyadari semua kesalahan dan ingin merubah hidup. Dia merasa bahwa ada situasi berbeda dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Semua doktrin agama yang dia peroleh saat masih mengikuti pelatihan di Afghanistan tidak cocok diterapkan di Indonesia. Dia merasa harus ada penyesuaian dalam mengamalkan ajaran agama di Indonesia.
“Kalau mas Yunus merasa diberi kesempatan ke dua untuk hidup di Indonesia, saya bersyukur masih diberi kesempatan ketiga kali untuk berubah” demikian pengakuan Panji pada kami.
Mantan teroris lainnya yang hadir di Rumah Pancasila hari itu adalah Ikhwan (bukan nama sebenarnya). Ikhwan adalah mantan teroris yang terlibat dalam konflik Poso. Dalam pertemuan ini dia tidak banyak bicara. Dia hanya menjelaskan bahwa dirinya dulu pernah terlibat dalam aksi kerusuhan di Poso. Setelah masuk penjara dia insaf dan bersyukur bisa kembali ke masyarakat dan berkumpul dengan teman-teman mantan teroris untuk terlibat dalam gerakan kebangsaan.
Para mantan teroris ini membentuk yayasan Persada. Yayaysan ini bergerak menampung teman-teman mereka yang sudah sadar dan ingin kembali ke pangkuan ibu pertiwi, Indonesia. Dalam yayasan ini Yunus menjadi Ketua dan Panji sebagai sekretaris. Ada 21 orang yang tergabung dalam yayasan ini. Tersebar di kawasan Jateng dan DIY. Selain melakukan penguatan ideologi Pancasila, mereka juga aktif bergerak di bidang ekonomi. Mereka membangun jejaring ekonomi, pendidikan dan berbagai aktivitas sosial lainnya. Untuk melakukan berbagai kegiatan tersebut, yayasan mereka berkolaborasi dengan Rumah Pancasila.
Ini merupakan kejadian menarik, organisasi mantan teroris berkolaborasi dengan lembaga yang dipimpin oleh seorang non muslim. Ceritera tentang proses penyadaran teroris menjadi warga negara yang Pancasilais mungkin sudah sering kita dengar. Atau perkumpulan mantan teroris melakukan kegiatan bersama dalam satu event adalah hal yang biasa. Tapi para mantan teroris berkolaborasi dengan tokoh non-muslim dan melakukan kegiatan bersama secara kontinyu, bukan insedental, ini bernar-benar merupakan sesuatu yang menarik.
Saat kami tanya mengapa mereka tertarik berkolaborasi dengan Rumah Pancasila yang dipimpin oleh seorang non muslim, mereka menjawab bahwa di Rumah Pancasila mereka bisa belajar menata dan mengelola organisasi secara baik. “Di Rumah Pancasila kami didampingi dan diajari menangani berbagai problem sosial, kami bisa berlatih mengelola lembaga secara profesional. Dan di sini kami merasa sangat nyaman karena rasa persaudaraan yang tulus, guyub dan rukun” Kata Yunus menjelaskan
Saat ditanya bagaimana mereka bisa mengenal Rumah Pancasila, Yunus menjelaskan bahwa saat itu dia sedang menyaksikan Rumah Pancasila sedang membagi beasiswa untuk anak-anak miskin. Tiba-tiba datang anak kecil yang minta beasiswa, namun panitia menolak karena nama anak itu tidak masuk dalam daftar penerima. Tapi oleh Yosef anak itu dipanggil lagi, dan Yosef mengeluarkan uang pribadi untuk diberikan kepada anak tersebut sebagai beasiswa.
“Saat itu saya benar-benar terharu, sehingga membuka hati saya untuk berkolaborasi dengan Rumah Pancasila. Saat itu saya benar-benar merasa bahwa Pancasila itu sebenarnya sederhana tidak rumit dan mengawang-awang seperti yang banyak dibicarakan orang. Sejak saat itu kami tertarik dan percaya pada Rumah Pancasila” Kata Yunus.
Pengakuan Yunus ini dibenarkan oleh Yosef. “Mereka sangat percaya pada Rumah Pancasila karena kami melakukan semua aktifitas secara tulus, bukan karena proyek atau pencitraan demi kepentingan tertentu. Saking percayanya pada Rumah Pancasila, bahkan kalau menerima bantuan selalu ingin dilewatkan Rumah Pancasila” Demikian Yosef menjelaskan.
Hari itu saya melihat bagaimana Pancasila memiliki kekuatan merajut perbedaan dan persaudaraan. Sehingga mantan teroris sekalipun merasa nyaman berada di Rumah Pancasila. Pada saat itu kami benar-benar berguru pada mereka bagaimana membudayakan Pancasila melalui laku hidup. Hal seperti ini bisa terwujud jika Pancasila benar-benar dilakankan secara tulus dan nyata. Bukan sekedar basa basi atau retorika. Apa yang terjadi juga membuktikan bahwa Pancasila itu ada dan nyata dan sesungguhnya Pancasila itu sederhana. (Bersambung…).
al Zastrouw
Penulis adalah Penggiat Seni Budaya Nusantara dan Kepala Makara Art Center Universitas Iindonesia.