Kemerdekaan Indonesia diperjuangkan oleh seluruh bangsa Indonesia dari berbagai kalangan, baik yang muslim maupun non-muslim, baik yang berdarah Jawa maupun di luar Jawa, bahkan baik orang NU maupun di luar NU. Semua pribumi pada saat itu berjuang untuk meraih kemerdekaan negara ini. Lalu, ketika negara ini merdeka apa yang kita lakukan?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin telah mengembalikan Indonesia kepada kita semua sebagai warga negara merah putih ini. Putusan itu memberi isyarat bahwa negara bukan milik kelompok tertentu, tetapi milik bersama. Tidak benar jika negara ini hanya dikuasai oleh individu tanpa melibatkan pihak lain.
Putusan MK sebelumnya, yang dipimpin oleh Anwar Usman telah mencederai hukum di Indonesia. Kontroversi datang silih berganti. Rakyat sudah tidak percaya hukum di Indonesia. Karena, rakyat sudah tahu dan mengendus bau amis kepentingan politik di balik keputusan hukum yang sepihak. Tujuannya, agar anak Jokowi Gibran bisa naik menjadi calon wakil presiden.
Melihat putusan hukum sepihak tentu ini bukan keputusan mufakat yang semestinya ditegakkan. Hukum Islam saja dapat mencapai predikat ”shahih” (sangat baik) jika diputuskan secara mufakat (ijmak). Biasanya hukum yang diputuskan secara mufakat lebih mendekati kebenaran dan lebih diterima oleh orang banyak. Tentu, untuk mencapai keputusan mufakat ini butuh menghadirkan diskusi antar sesama.
Hanya saja penting diingat bagi siapapun yang bermaksud untuk memberikan keputusan hukum adalah mempertimbangkan maslahat dan mafsadatnya. Pilih putusan yang maslahatnya lebih banyak dibanding mafsadatnya. Sebab, kemaslahatan itu akan menghadirkan kebaikan di tengah-tengah bangsa ini. Lalu, bagaimana cara mengukur kemaslahatan suatu putusan hukum?
Dalam Islam dirumuskan lima dasar dalam memutuskan suatu hukum atau yang biasa disebut dengan ”maqashidus syar’iyyah”. Lima dasar ini meliputi: menjaga agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan. Dari lima ini bisa ditambah lagi dengan menjaga kerukunan antar sesama, menjaga persatuan, dan seterusnya. Intinya, tidak menghadirkan kemafsadatan.
Hukum yang diputuskan secara sepihak dalam konsensus fikih biasanya dinilai sangat lemah atau, dalam dalam orang di pesantren dulu, ”dha’if”. Biasanya hukum dha’if ini tidak diambil untuk dijadikan dasar atau acuan. Jika dipaksakan harus dipakai, maka dalam kondisi yang cukup ”emergency” atau darurat. Maksudnya, hukum dha’if tidak layak disebut putusan yang baik sehingga sebisa mungkin dihindari hukum semacam itu.
Sebagai penutup, pemberi putusan adalah amanah dari Tuhan. Amanah ini dapat diminta pertanggungjawabannya nanti di hadapan-Nya. Maka, harus berhati-hati dalam memutuskan suatu hukum. Karena, konsekuensinya cukup berat dan dampaknya cukup fatal jika salah dalam memberikan putusan. Gunakan akal yang sehat dan ikutsertakan hati nurani agar dalam memberikan putusan hukum hadir suatu kebijaksanaan.[] Shallallahu ala Muhammad.