NKRI

Matinya Demokrasi di Hong Kong, Bagaimana dengan NKRI?

4 Mins read

Gejolak demonstrasi di Hong Kong beberapa tahun lalu dimulai ketika seorang pemuda Hong Kong yang melakukan pembunuhan di Taiwan tidak dapat diekstradisi untuk dihukum di mana ia melakukan kejahatan.

Hong Kong dan Taiwan tidak mempunyai perjanjian ekstradisi para kriminal. Efek yang muncul panjang sekali. Hong Kong kini dirundung demo berkepanjangan. Apabila bill ekstradisi ke Taiwan disetujui, maka itu akan sepaket dengan perjanjian ekstradisi ke dataran China. Ini bisa mengakibatkan pemerintah komunis China bisa mengekstradisi para oposan politik Hongkong untuk diadili di Beijing.

Semakin lama semakin terkuak bahwa demo yang dilakukan berminggu-minggu ini sebenarnya mengincar kemerdekaan Hong Kong. Satu pertanyaan penting dari semua ini, sejauh mana masyarakat Hongkong percaya pada pemerintahan komunis China di masa depan?

Chief Eksekutif Hong Kong yang disinyalir adalah kaki tangan pemerintah komunis China diminta turun. Dia dianggap tidak becus untuk melobi aturan ekstradisi yang bisa menguntungkan Hongkong, karena diduga ada kepentingan pemerintah komunis di belakang lobi-lobi ekstradisinya.

Semenjak ditetapkan sebagai satu negara dua system, Hongkong diberikan high degree of autonomy untuk mengatur kehidupannya. Perjanjian itu mengakibatkan Hongkong mempunyai hak untuk mengadakan pemilu, melakukan kegiatan press, hingga keterbukaan informasi. Semua itu membuat Hongkong berbeda dengan masyarakat China daratan yang mengalami represi penguasa komunis Beijing.

Hongkong diperkirakan akan berada dalam kekuasaan China penuh pada tahun 2047. Tetapi, sayangnya China tidak sabar menunggu hingga tahun itu datang. Mereka menggiring Hongkong ke dalam tindakan represif terlebih dahulu sebelum waktunya tiba. Semua perlakuan pemerintah komunis China terhadap Hongkong sudah menyiratkan bahwa demokrasi di Hongkong akan mati suatu saat.

Akhir dari Demokrasi

Menurut Steven dan Daniel dalam bukunya How Democracies die (2018) ada empat ciri yang merupakan awal kematian demokrasi di sebuah negara. Pertama, ada aturan demokrasi yang diganti untuk menolak permainan demokrasi yang lebih kredibel. Kedua, menolak eksistensi politikus oposisi.

Ketiga, melakukan pembiaran terhadap kekerasan. Keempat, menyembunyikan penerbitan atau informasi yang menjadi hak masyarakat. Kita bisa melihat keempatnya mulai terjadi satu per satu di Hongkong semenjak beberapa tahun yang lalu.

Penggantian aturan demokrasi yang kredibel dilakukan pemerintah komunis China dengan ikut menentukan pemimpin Hongkong. Pada tahun 2014 terjadi demo besar yang menolak campur tangan China pada pemilu di Hongkong. China diduga menentukan siapa saja calon leglistatif yang menjadi mewakili Hongkong mendatang berdasarkan kepentingannya.

Sebagai contoh dalam parlemen untuk bidang perdagangan/bisnis yang sangat terkait dengan kepentingan China, mereka menaruh orang-orang yang pro China untuk mewakili Hongkong. Leglistatif di Hongkong selalu dipenuhi lebih dari 50% orang yang pro China, padahal mayoritas penduduk Hongkong pro demokrasi. Selain itu, Chief Executive Hongkong harus disetujui oleh National People’s Congress Standing Committee di Beijing.

Tidak sampai di sana, sembilan aktifis pro-demokrasi ditangkap di Hongkong pada tahun 2017. Tiga di antaranya cukup terkenal di Hongkong. Professor sosiologi Chan Kin-Man, Ben Tai, dan pendeta Chu Yui-Ming. Mereka berunjuk rasa untuk menuntut pemerintah mengadakan pemilu tahun 2014. Mereka kini didakwa dengan alasan mengganggu ketertiban umum.

Selain itu, seorang penjual buku anti China Lam Wing-kee di dekat perbatasan ditahan pada tahun 2015. Pemilik toko buku Causeway Bay itu dibawa bersama dengan empat pegawai tokonya. Mereka diyakini ditahan terkait dengan pekerjaannya. Para penerbit dari Hongkong memang mulai merasakan tekanan pemerintah China terhadap buku-buku anti pemerintah China.

Sebenarnya, penolakan atas tindakan represif pemerintah China sudah dimulai pada tahun 2003. Masyarakat Hongkong memprotes kebijakan pemerintah China yang akan mengkriminalisasi siapapun yang mengritiknya. Salah satu yang membuat kuatir adalah perjanjian yang sedang dibuat dengan China daratan.

Perjanjian itu dikuatirkan akan memicu pengiriman tawanan politik Hongkong untuk diadili di China. Lolosnya aturan ekstradisi criminal ke China dianggap merupakan satu langkah besar kejatuhan Hongkong nantinya. Hongkong tidak bisa lagi bersuara lantang menentang kebijakan China. Demonstran di Hongkong akan dengan mudah dibawa ke China untuk diadili.

Bibit kebencian terhadap China diindikasikan melalui pemukulan warga China yang baru mendarat di Airport Hongkong. Banyak warga China mulai kuatir untuk datang ke Hongkong. Respon yang diberikan oleh pemerintah China terhadap demo ini pun semakin memicu konflik. Mereka menjejer kekuatan bersenjata lengkap di daerah perbatasan. Hanya tinggal menunggu perintah saja mereka bisa memasuki Hongkong kapanpun.

Taktik ini biasanya disebut dengan Psychological Warfare Tactical. Sebuah rencana yang menggunakan propaganda dan ancaman. Tujuannya untuk mempengaruhi cara berpikir dan perilaku para demonstran. Walau dibawah ancaman, mungkin demonstrasi ini akan menjadi babak baru bagi kehidupan demokrasi di Hongkong masa depan. “Kita tidak percaya pemerintah China,” ujar salah satu demonstran.

Bagaimana dengan NKRI?

Hong Kong, yang pernah menjadi simbol kebebasan politik di Asia, kini telah mengalami pergeseran drastis. Kota yang dulu dikenal sebagai pusat kebebasan berbicara, pers yang independen, dan sistem peradilan yang kuat kini berada di bawah kendali ketat Beijing.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional pada tahun 2020, kebebasan sipil di Hong Kong mengalami kemunduran yang signifikan. Banyak aktivis demokrasi yang ditangkap, media independen dibungkam, dan institusi politik yang dulunya lebih terbuka kini telah sepenuhnya disesuaikan dengan kepentingan Partai Komunis China.

Perubahan ini menandai matinya demokrasi di Hong Kong. Gerakan pro-demokrasi yang pernah mengguncang dunia dengan aksi besar-besaran kini telah dipaksa bungkam, sementara oposisi politik semakin kehilangan ruang. Otonomi yang dijanjikan dalam prinsip “satu negara, dua sistem” tidak lagi memiliki makna nyata. Demokrasi di Hong Kong tidak mati dalam sekejap, tetapi perlahan-lahan dilucuti melalui berbagai mekanisme hukum, represi aparat, dan pengendalian narasi oleh pemerintah pusat.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan yang mendalam bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia. NKRI, yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan demokrasi sejak Reformasi 1998, menghadapi tantangan serupa dalam bentuk yang berbeda. Kebebasan sipil dan kebebasan pers masih ada, tetapi tidak terlepas dari tekanan.

Berbagai indikator menunjukkan adanya upaya sistematis untuk membatasi ruang demokrasi, baik melalui regulasi yang semakin ketat, represi terhadap aktivis, hingga polarisasi politik yang dibiarkan membesar.

Di Indonesia, ancaman terhadap demokrasi tidak datang dari satu pihak tunggal seperti di Hong Kong, melainkan dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Oligarki politik semakin menguat, media kerap berada di bawah pengaruh pemilik modal, dan hukum sering kali digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik.

Selain itu, perkembangan digital yang pesat menciptakan tantangan baru, di mana disinformasi dan propaganda memainkan peran besar dalam membentuk opini publik.

Namun, berbeda dengan Hong Kong, Indonesia masih memiliki ruang gerak untuk melawan kemunduran demokrasi. Masyarakat sipil tetap aktif, organisasi non-pemerintah masih bisa menyuarakan kritik, dan pemilu tetap menjadi mekanisme penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan. Meski begitu, jika tren pembatasan kebebasan terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami kemunduran demokrasi seperti yang terjadi di Hong Kong.

Pelajaran dari Hong Kong seharusnya menjadi pengingat bahwa demokrasi tidaklah abadi. Demokrasi bisa mati perlahan, bukan hanya karena tindakan represif pemerintah, tetapi juga karena kelalaian masyarakat dalam menjaganya.

Indonesia harus waspada, karena demokrasi bukan hanya soal prosedur pemilu, tetapi juga tentang kebebasan berbicara, transparansi pemerintahan, serta perlindungan terhadap hak-hak sipil. Jika semua ini mulai terkikis, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami nasib serupa seperti Hong Kong.

 

Aulia Mauludi

Penulis lepas
1672 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
NKRI

Ayat, Ambisi, dan Api Konflik: Eksploitasi Religi dalam Kekerasan Maluku

3 Mins read
Konflik kekerasan kembali mencederai tanah Maluku. Pekan lalu, di Seram Utara, Maluku Tengah, bentrokan pecah antara masyarakat Sawai yang mayoritas Muslim dan…
NKRI

Rupiah Terus Tertekan: Indonesia di Mana?

2 Mins read
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan publik. Pada 9 April 2025, rupiah dibuka pada level Rp16.900…
NKRI

Melawan Pelintiran Kebencian di Maluku; Belajar dari Masa Lalu

2 Mins read
Baru-baru ini terjadi konflik sosial antara warga Desa Sawai dan Desa Rumah Olat, di Seram Utara, Maluku. Idealnya, konflik tersebut dapat terselesaikan…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.