Momen hangat antara Paus Fransiskus dan Nasaruddin Umar menunjukkan sikap toleransi antar agama yang belakangan ini terasa semakin memudar. Banyak penganut agama yang terjebak dalam kebenaran subjektif, meyakini agamanya sebagai satu-satunya yang benar, sementara agama lain dianggap sesat, bahkan dikafirkan. Hal ini menjadi bukti nyata bahwa toleransi di Indonesia tengah mengalami kemunduran.
Kemunduran toleransi di Indonesia juga tampak dari sikap seorang ustaz, Kyai Idrus Ramli, yang viral di media sosial karena meremehkan, bahkan mengkafirkan momen hangat antara Paus dan Nasaruddin Umar. Menurutnya, menghormati atau menunjukkan rasa hormat kepada non-Muslim dianggap sebagai tindakan kafir.
Pernyataan keras dari seorang ustaz yang mengaku pengikut Sunni ini merupakan masalah serius yang perlu diperbincangkan. Sebab, para tokoh Sunni pada umumnya memiliki cara berpikir yang tidak sempit atau kaku. Contohnya, Imam Syafii, seorang tokoh besar Sunni, dikenal cukup terbuka terhadap perbedaan agama dan pendapat. Sepanjang hidupnya, Imam Syafii tidak pernah mengkafirkan penganut agama lain.
Imam Syafii memandang perbedaan sebagai sesuatu yang alami. Ia mengakui bahwa kebenaran bisa datang dari berbagai sumber, termasuk dari non-Muslim. Pandangannya ini tercermin dalam pernyataan terkenalnya, āPendapatku adalah benar, tetapi masih ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain adalah salah, tetapi masih ada kemungkinan benar.ā
Selain Imam Syafii, tokoh Sunni kontemporer lainnya adalah Quraish Shihab. Ia juga memiliki pandangan yang sangat terbuka. Dalam karya tafsirnya, Quraish Shihab banyak mengutip pendapat dari berbagai aliran di luar Sunni, seperti Muātazilah dan Syiah. Bahkan, ia tidak ragu mengutip gagasan yang terdapat dalam Bibel, kitab suci agama Kristen.
Dalam suatu kesempatan, ketika banyak pihak menganggap haram mengucapkan āSelamat Natalā kepada umat Kristen, Quraish Shihab justru memperbolehkannya. Menurutnya, ucapan tersebut bukan berarti meyakini ajaran agama Kristen, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap penganut agama lain.
Kesalahan mendasar Kyai Idrus Ramli terletak pada pandangannya tentang penghormatan. Ia menyamakan menghormati dengan meyakini atau mengimani, yang merupakan kekeliruan fatal. Mungkin, Kyai Idrus Ramli belum pernah mengikuti studi tentang perbandingan agama, sehingga pemahamannya masih terbatas dan ia merasa nyaman dalam pandangannya yang sempit.
Pola pikir seperti yang dianut oleh Kyai Idrus Ramli berbahaya di negara plural seperti Indonesia. Sikap ini bisa memprovokasi umat Islam yang dangkal pemahaman agamanya untuk melakukan tindakan intoleran terhadap agama lain. Jika dibiarkan, perpecahan sosial di Indonesia akan semakin dekat.
Dalam Islam, penghormatan terhadap non-Muslim sebenarnya memiliki dasar yang kuat. Nabi Muhammad bersabda:Ā Barangsiapa yang menyakiti seorang kafir dzimmi, maka aku akan menjadi musuhnya pada hari kiamat. (HR. Al-Bukhari). Selain itu, dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi juga memperingatkan:Ā Barangsiapa yang membunuh seorang kafir muāahad (non-Muslim yang memiliki perjanjian damai dengan Muslim), maka dia tidak akan mencium aroma surga, padahal aroma surga itu bisa tercium dari jarak empat puluh tahun perjalanan. (HR. Muslim).
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan penghormatan, perlindungan, dan keadilan terhadap non-Muslim yang hidup damai di tengah masyarakat Muslim. Menghormati mereka tidak berarti menyetujui keyakinan mereka, tetapi lebih kepada menghargai hak dan martabat manusia yang diajarkan dalam Islam.
Kyai Idrus Ramli perlu memahami bahwa Indonesia bukan negara agama yang hanya mengakui Islam sebagai satu-satunya kebenaran. Masih banyak agama lain yang diakui di Indonesia. Kyai Idrus Ramli perlu belajar dari tokoh-tokoh Sunni seperti Imam Syafii dan Quraish Shihab yang memiliki pandangan luas dan terbuka, agar ia menjadi seorang ustaz yang inklusif, bukan eksklusif.
Sebagai penutup, Kyai Idrus Ramli sebaiknya menarik pernyataannya yang mengkafirkan dan mengharamkan penghormatan terhadap non-Muslim. Jika ia tetap bersikeras dengan pandangannya, jejak digital akan mencatat bahwa Kyai Idrus Ramli bukanlah ustaz yang pantas berfatwa di negara plural seperti Indonesia, yang menghargai perbedaan agama dan pemikiran. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita semua.[]Ā Shallallahu ala Muhammad.