Sebagai seorang santri, tentu sangat terpukul melihat berbagai fenomena yang terpapar paham radikalisme. Radikalisme terindikasi sudah menyebar luas di berbagai ruang sosial. Sebut saja beberapa hari yang lalu, seorang putra kiai asal Jombang yang melakukan tindakan pencabulan terhadap santrinya.
Flashback beberapa bulan kebelakang, seorang ustaz yang memperkosa 12 santriwatinya. Lalu, di solo ada bebeberapa anak-anak yang merusak makam dan jenazahnya karena dianggap memiliki pemahaman lain. Kemudian kasus ACT yang diduga berafiliasi dengan gerakan radikalisme.
Fakta di atas adalah sebagaian peristiwa kecil di tengah maraknya paham radikal, nyatanya fakta di lapangan paham-paham ini sudah masuk melalui berbabagai celah aktivitas sosial masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah aksi kekerasan yang tidak sesuai dengan syriat agama, hoax, hingga penghinaan di ruang media sosial. Kemudian di lembaga pendidikan paham ini dengan mudah mengobjektivikasi melalui mimbar keagamaan.
Berbagai upaya dan pencegahan terus dilakukan oleh lembaga nasional seperti BNPT hingga universitas. Melalui program-program berbasis moderasi hingga penguatan Pancasila terus ditanamkan pada masyarakat. Berangkat dari impian kehidupan damai dalam masyarakat yang multikultural, peran negara sangat diperlukan untuk dapat melawan paham radikalisme. Terlebih di era teknologi, segala bentuk pemahaman radikal sudah secara terang-terangan masuk memengaruhi ruang media sosial masyarakat.
Konsep multikulturalisme juga dirasa kurang berhasil menyatukan segala bentuk keragaman yang terjadi di masyarakat. Adanya unsur campur tangan politik yang terjadi di Indonesia juga menjadi pemicu susahnya masyarakat Indonesia untuk menerima segala bentuk perbedaan. Manifestasinya misalnya sampai sekarang masih menjadi perdebatan mengapa presiden dalam sejarah Indonesia selalu beragama muslim? Kemudian adanya kesenjangan perlakuan aparat dan birokrasi hukum terhadap suku asli Dayak dan suku Madura.
Banyak sekali pertanyaan menggelayuti benak saya terkait fenomena radikal baru-baru ini, seperti misalnya bagaimana bisa paham radikal bisa masuk di ruang-ruang institusi sosial keagamaan. Begitu juga para penganutnya, apakah tidak ada yang curiga bahwa apa yang di amalkan melanggar hukum dan syariat agama masyarakat? Yang menjadi concern lebih dalam bagi saya di sini adalah apa faktor yang bisa menjadi celah masuknya paham radikalisme di institusi sosial keagamaan?
Ketika memetakan faktor yang menjadi celah masuknya radikalisme, memang akan banyak sekali muncul berbagai faktor. Sebut saja ketidaktahuan korban bahwa tindakan dan ajaran yang dilakukan yang dialaminya sebenarnya termasuk kejahatan. Tafsir teks agama yang serba hitam putih dan kaku juga menjadi faktor bagaimana radikalisme masuk di institusi sosial keagamaan.
Mereka merasa diri paling benar dalam menafsir dan memahami kehendak Tuhan. Dengan klaim kebenaran sepihak, mereka menyalahkan kelompok-kelompok lain yang tidak sepaham. Terjebak dalam pemikiran yang sempit. Mereka tidak segan-segan menyebar permusuhan dan menggelar aksi-aksi kekerasan atas nama agama.
Faktor lainnya adalah terjadinya relasi kuasa yang timpang antar penganut dan korban radikal. Ketakutan korban dan ancaman doktrin melalui penjualan ayat-ayat kitab suci kerap menjadi senjata para penyebar paham radikal. Sebut saja di institusi sosial keagamaan pesantren, santri yang notabene sebagai struktur terkecil pasti akan mudah dipengaruhi. Di atasnya kita ketahui ada pimpinan pesantren dan guru pesantren yang memiliki kuasa lebih tinggi dibanding santri.
Tidak hanya di lingkungan pesantren saja, di lembaga pendidikan sekolah hingga instansi pemerintah adab penghormatan kepada atasan kerap menjadi celah bagi para penyebar paham radikalis untuk berniat jahat. Maka penyelewengan terhadap kaidah ‘hormat terhadap atasan’ bisa menjadi celah; pelaku yang mungkin memiliki strata lebih tinggi karena menjadi pengajar atau pendonor paham radikal.
Internalisasi-Eksternalisasi-Objektivikasi
Meminjam istilah dari tokoh sosiologi Austria Peter L.Berger, dia mengatakan agama menjadi sebab terdekat dari tindakan sosial. Masyarakat beragama dalam keseharianya tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama. Perilaku dan segala bentuk gejala sosial yang terjadi di masyarakat nantinya akan terkontruksi dan didasari atas ketiga istilah diatas, yang kemudian dinamakan realitas sosial.
Melalui trilogi realitas diatas, kita akan memetakan bagaimana paham radikalisme masuk ke pikiran masyarakat dan sejumlah institusi sosial keagamaan. Melalui internalisasi, yaitu proses memasukkan suatu nilai di dalam kehidupan masyarakat, terjadi adanya komunikasi sosial. Misalkan dalam kasus di atas internalisasi terjadi ketika pelaku mengalami internalisasi melalui sosialisasi dengan pemahaman yang sekuler.
Tahapan selanjutnya adalah penanaman tentang refleksi tentang Islam sebenarnya itu seperti apa? Islam ala nabi dan sahabat itu seperti apa? Di tahap selanjutnya mulailah proses penanaman bawah seseorang masuk Islam itu sejak kapan? Hingga akhirnya para perekrut aliran radikal ini membuka secara alam bawah sadar mengenai konsep syahadat “aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah” yang diartikan dengan pemahaman yang merujuk pada konsep jihad.
Setelah celah masuknya paham radikal terinternalisasi dengan kuat, outputnya adalah pelaku melakukan tindakan kekerasan, teror, hingga aksi kebenaran sepihak akibat internalisasi yang keliru. Setelah itu bagi elit agama, teks-teks kehidupan yang abstrak adalah teks-teks yang tertulis dalam kitab suci atau kitab-kitab rujukan, yang dalam kenyataannya masih membutuhkan penafsiran.
Penafsiran tersebut kemudian tidak bersifat tunggal, namun bersifat plural. Teks-teks kehidupan yang nyata adalah realitas kehidupan dalam dunia sosio-religius yang sehari-hari dialami oleh elite agama. Inilah manifestasi dari eksternalisasi, yaitu berupa penafsiran dengan logika biner “saya paling benar, yang lain salah”.
Setelah itu terjadi legitimasi atau pengabsahan dari tindakan yang sudah dikeluarkan yaitu tindakan radikal yang berujung teror, inilah yang nantinya disebut dengan objektivikasi. Ketika seseorang sudah samapai pada tahap ini, masyarakat sudah tidak bisa membedakan baik buruknya atas tindakan yang dilakukan. Maka pelaku radikal kebanyakan tidak menyadari bahwa tindakanya berlawanan dengan nilai-nilai kesopanan dan aturan agama. Sehingga tidak heran melihat realitas yang terjadi pelaku teror dan kekerasan malahan berasal dari golongan muda.
Analisis melalui trilogi realitas di atas, memberikan hikmah dan pelajaran bahwa memahami agama secara tidak utuh kerap kali menimbulkan banyak persoalan bagi kemanusiaan. Hal ini dikarenakan seseorang akan memahami agama sebagai sesuatu yang radikal dan ada pemaksaan pandangan keagamaan tertentu.
Ketika cara pandang agama yang sudah dari awal keliru, maka manusia melakukan tindaknya sesuai dengan kehendak individualistik. Sehingga para stakeholder seperti menteri agama, pemerintah, tokoh agama, masyarakat harus terus sejalan dengan masyarakat untuk terus memberantas radikalisme sampai ke akar-akarnya.