Tiga baris sumpah yang diucapkan oleh para pemuda yang berkumpul pada Kongres Pemuda 1928 memiliki makna yang sangat penting. Sumpah itu menjadi fondasi tempat berdirinya negara Republik Indonesia. Sumpah itu memastikan sebuah komitmen bahwa mereka mau bersatu menjadi sebuah bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
Di masa itu sebenarnya tidak ada alasan khusus untuk menjadi Indonesia. Kita memiliki banyak perbedaan, dari satu pulau ke pulau lain. Orang Sumatera berbeda dengan orang Jawa. Bahkan orang Jawa berbeda dengan tetangganya orang Sunda. Kerajaan Jawa di masa lalu pernah berperang dengan kerajaan Sunda. Demikian pula, kerajaan-kerajaan lain di negeri ini pernah saling berperang. Jadi, alasan apa yang mengharuskan mereka bersatu? Tidak ada.
Satu-satunya alasan adalah keinginan bersama, sebuah komitmen. Mereka bersepakat untuk menjadi sebuah bangsa, dan merawat kesepakatan itu sampai ke masa-masa selanjutnya. Karena komitmen itu Sumpah Pemuda tetap menjadi sesuatu yang berharga saat ini, setelah berlalu 93 tahun.
Kita adalah sebuah bangsa. Bangsa adalah sebuah definisi yang rumit. Secara etnis orang-orang Sumatera lebih dekat dengan orang-orang di Semenanjung Malaya ketimbang dengan orang Maluku. Tapi, kini orang Sumatera satu bangsa dengan orang Maluku, dan berbeda bangsa dengan orang Semenanjung Malaya. Harus kita akui bahwa batas kebangsaan pada awalnya ditentukan oleh kekuasaan para kolonial. Kita berbeda bangsa dengan Malaysia karena yang menjajah kita berbeda.
Namun sekali lagi, kita disatukan oleh komitmen untuk bersama, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan. Komitmen itu tetap perlu, dan selalu kita perlukan sekarang dan di masa depan. Sejarah kita juga diwarnai oleh banyak peristiwa yang mencerminkan adanya keinginan untuk mengubah komitmen itu. Tapi sejauh ini, kita tetap utuh sebagai bangsa Indonesia.
Keinginan untuk mengubah komitmen itu selalu ada. Itu fakta yang harus kita sadari. Sejarah juga membuktikan bahwa ada banyak bangsa yang pecah dalam perjalanannya. India segera pecah menjadi India dan Pakistan, menjelang kemerdekaan. Pakistan kemudian pecah, melahirkan Bangladesh. Yugoslavia pecah setelah puluhan tahun berjalan sebagai bangsa. Hal itu tidak mustahil terjadi pula pada kita. Satu-satunya modal kita untuk bersatu adalah komitmen untuk tetap bersatu.
Tentu saja bukan sekadar bersatu. Kita bersatu untuk suatu tujuan. Dulu tujuan kita adalah merdeka, menjadi bangsa yang mandiri. Kini kita sudah merdeka. Yang perlu terus kita perjuangkan adalah kemandirian.
Perhatikan nasi di piring kita. Apa isinya? Nasi dengan sambal teri dan tempe saja ternyata berbahan baku impor. Beras kita impor, kedelai untuk tempe kita impor. Kalau mau makan agak mewah, daging pun harus kita impor. Berbagai produk yang dijual di pasar kita, baik pasar tradisional, pasar moderen, maupun pasar elektronik, kebanyakan barang impor. Neraca perdagangan kita selama beberapa tahun terus defisit.
Apa maknanya? Sebagai bangsa kita belum cukup berproduksi untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri. Barang-barang yang sebetulnya bisa kita produksi, tidak kita produksi. Kita lebih suka membelinya dari luar. Banyak pengusaha yang lebih suka memperdagangkan produk impor daripada membuatnya sendiri.
Komitmen yang dituntut pada kita sebenarnya bukan sekadar bersatu sebagai bangsa. Tapi, bekerja untuk memenuhi berbagai kebutuhan bangsa itu. Komitmen inilah yang perlu diperbaharui oleh para pemuda abad XXI menjelang 100 tahun Sumpah Pemuda.
Hasanudin Abdurakhman