Kita pernah dibuat heboh oleh sebuah video parodi berjudul ‘Indonesia Raya Instrumental (Parody+Lyrics Video)’ di kanal YouTube. Diunggah di YouTube lewat kanal My Asean, video ini memparodikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kerja sama yang intens antara Polri dan PDRM (Polis Diraja Malaysia) membuahkan hasil; pelakukan adalah dua warga Indonesia, masih remaja. Sungguhpun motifnya adalah perseteruan antara dua orang sahabat yang sama-sama punya akun di YouTube, unggahan ini lagi-lagi mengingatkan adanya relasi yang cukup pelik antara kebebasan bereskpresi dan nasionalisme anak-anak muda.
Berbicara nasionalisme dan anak-anak, pikiran saya tiba-tiba teringat dengan perilaku seorang bocah SD yang turun dari sepeda untuk hormat bendera saat upacara Hari Pahlawan di alun-alun kota Blitar pada tahun 2019. Alhasil, aksi instan bocah SD kelas 4 ini pada waktu itu menjadi viral dan mengundang banyak simpati. Siswa yang bernama Raihan (10 tahun) dianugerahi penghargaan berupa kereta angin oleh Polres kota Blitar.
Dua kasus ini memperlihatkan dua potret nasionalisme yang berseberangan. Bila parodi lagu Indonesia Raya menunjukkan bagaimana produk sakral kebangsaan menjadi ajang ‘kreativitas’ dengan cara yang salah, adapun tindakan Raihan memperlihatkan bagaimana semangat cinta tanah air sesuatu yang terbit dari batin terdalam.
Relasi antara nasionalisme dan anak-anak atau pemuda tidak perlu dipahami secara stereotipikal; karena belum dewasa maka mereka tidak mengerti hakikat mencintai tanah air, lantaran masih bocah maka penanaman semangat patriotik harus dilakukan dengan pendekatan yang doktriner. Upaya untuk mendorong rasa cinta dan bela Tanah Air di kalangan anak-anak harus berjalan seiring dengan corak dan kemajuan zaman yang mereka kenal.
Mengingat anak-anak hari ini, lebih dikenal sebagai kaum milenial, sangat melek dengan dunia maya dan mahir menggunakan dawai, penanaman semangat cinta dan bela Tanah Air perlu dilakukan secara visual lewat pendidikan, baik di lingkungan sekolah atau perguruan tinggi. Visualisasi nasionalisme setidaknya menjanjikan dua manfaat yang tidak bisa dipandang sepele— menciptakan tradisi pembelajaran yang reflektif dan menjaga memori kolektif bangsa.
Pertama, menciptakan tradisi pembelajaran yang reflektif. Mengajarkan semangat patriotisme kepada peserta didik lewat produk-produk visual semisal film atau klip video via YouTube adalah medium pembelajaran yang cepat dan efektif. Kenapa?
Karya-karya visual menyajikan banyak hal dalam waktu yang singkat, memperkaya perspektif dan mendorong kemampuan untuk merenung. Sebagai misal, ketika anak-anak mendengarkan pidato menggelegar Bung Tomo dalam peristiwa 10 November 1945, dapat dipastikan bahwa darah mereka mendidih, bulu roma mereka berdiri dan mungkin saja mereka tegak sambil bersikap hormat atau mengucapkan bacaan takbir Allahu Akbar mengikuti lisan Bung Tomo. Mereka melakukannya secara spontan dan tanpa paksaan.
Seusai menonton pidato heroik itu, ada yang mulai mencari tahu apa yang mengantarkan Bung Tomo berpidato demikian? Kenapa tentara Inggris hendak menyerang Surabaya? Mengapa rakyat dan tentara Indonesia menolak mengibarkan bendera putih dan menyerahkan senjata yang diperoleh dari tentara Jepang? Kemampuan untuk menemukan jawaban atas segenap peristiwa di balik pidato Bung Tomo ini akan memperkaya perspektif peserta didik dan kemampuan mereka untuk merenungi hakikat di balik peristiwa.
Jiwa yang terbakar, meskipun hanya lewat klip video, oleh pidato seorang pahlawan ketika menghadapi penjajah berdampak jauh lebih besar bagi sebuah perubahan, melebihi angka sepuluh yang mereka torehkan dalam mata pelajaran sejarah di sekolah. Nilai yang tinggi kerap terhenti di tataran kognitif, namun jiwa yang terbangun bakal membangun masyarakat.
Kedua, menjaga memori kolektif bangsa. Mengambinghitamkan anak-anak atau pemuda dengan dalih absennya etos nasionalisme dalam tindakan mereka tidak bakal mengubah mereka lebih baik sebelum mereka meresapi memori kolektif perjuangan bangsa ini.
Tidak jarang adanya kenakalan remaja terkait dengan kekecewaan mereka melihat ketimpangan antara harapan dan kenyataan. Mereka memberontak, membuat huru-hara dan menciptakan keonaran sebagai bagian untuk mendapatkan perhatian kita semua. Kekecewaan mereka berlipat ganda ketika mereka tidak mendapatkan ruang untuk aktualisasi diri di tambah dengan krisis teladan di sana-sini, seperti yang terlihat dari jagad informasi yang dipenuhi oleh bads news ketimbang kisah-kisah yang membangun peradaban secara positif.
Dalam konteks ini, para pegiat media—baik media arus utama maupun media sosial—semisal jurnalis, influencer, pemilik stasiun TV bahkan pemerintah sendiri perlu secara intens memperbanyak produksi konten-konten positif yang membangun rasa kebanggaan anak-anak dan kawula muda Indonesia.
Jargon-jargon yang familiar di telinga anak-anak muda bangsa ini tentang identitas Indonesia hari, semisal YouTuber nomor satu di Asia Tenggara Atta Halilintar (kini sudah digeser oleh Ria Ricis) atau user media sosial alias netizen yang paling aktif di dunia, harus dibarengi dengan jargon-jargon faktual yang perlu menjadi atensi mereka, semisal macan Asia, bonus demografi, atau ekonomi terbesar ke-5 di dunia pada 2045.
Jargon, prediksi, tantangan dan peluang ke depan sejatinya perlu ditransformasikan sebagai memori kolektif yang fresh buat mereka sebagai pemilik masa depan dan pelaku sejarah umat manusia selanjutnya. Mengingatkan mereka dengan memori kolektif masa lalu sebagai identitas bangsa ini tidak salah: bahwa kita merebut kemerdekaan, bukan hadiah penjajah atau kita dianugerahi bumi yang subur (gemah ripah loh jinawi). Namun ini perlu dibarengi dengan memori kolektif yang real-time, sesuatu yang mereka temui dalam konteks kekinian dan kesinian.
Mereka perlu terus-menerus disadarkan bahwa keanekaragaman kita adalah kekuatan kita, semakin kita berbeda, semakin kita kaya raya dalam mozaik dan khazanah. Katakanlah dalam hal kuliner. Berbicara soto saja, kita akan menemukan varian yang berbeda berdasarkan asal daerah. Ada soto Padang, Medan, Betawi, Kudus, Lamongan, Banyuwangi, Pacitan, Makassar, dan lain-lain. Setiap kita mengunjungi banyak kawasan di seluruh Nusantara selalu saja ada makanan khas di setiap kabupatennya, bukan lagi per provinsi.
Ini berbeda halnya kalau kita berkunjung ke luar negeri. Selama studi di Australia, saya mendapati menu atau makanan yang relatif sama di Sydney, Melbourne, atau Canberra. Susah untuk mencari, atau bahkan memang tidak ada makanan khas ala Geelong, Perth atau Adelaide. Keragaman kuliner adalah sesuatu yang berlimpah ruah di Indonesia.
Kebanggaan anak-anak muda kita terhadap keragaman Nusantara ini perlu divisualisasi oleh banyak pihak lewat kerja sama pelbagai media (mainstream atau social media). Lewat cara ini, anak-anak bisa meng-update memori kolektif bangsa secara kontemporer. Mencintai Tanah Air bisa ditegakkan dengan banyak cara dan upaya. Kuasa media yang visual menjadi salah satu cara favorit dan real-time yang gampang dimengerti oleh peserta didik dan kawula muda di negeri ini.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Selengkapnya baca di sini I