Bhinneka Tunggal Ika

Menangkal Terorisme Pada Pekerja Migran Indonesia

2 Mins read

Kepala BNPT Komjen Polisi, Boy Rafli Amar menjelaskan bahwa para pekerja migran Indonesia (PMI) cukup rentan terpapar terorisme. Ia meminta hati-hati ketika bertemu dengan 13.886 WNI di San Fransisco, Amerika Serikat, pada rabu (14/09/2022)/.

“Selalu waspada dari pengaruh ideologi terorisme,” ucap Boy Rafli Amar.

Faktor yang melatar belakangi fenomena itu adalah minimnya pengetahuan terkait radikal terorisme yang dibuktikan beberapa PMI di Singapura, Hong Kong, ada beberapa PMI yang terpapar terorisme. Pernyataan tersebut sejalan dengan kasus Dian Yulia Novi, pelaku bom bunuh diri di depan Istana Kepresidenan, pada akhir 2016, yang berhasil digagalkan oleh polisi. Ia pernah bekerja di Taiwan dan Singapura sebagai PMI.

Kasus tersebut menjadi salah satu warning kepada para pemerintah, bahwa para PMI membutuhkan informasi keagamaan di dunia nyata. Para PMI biasanya sedikit sekali mendapatkan informasi keagamaan di luar negeri karena kurangnya akses. Hal itu yang menjadikan para PMI memperoleh informasi keagamaan hanya di media sosial, sehingga menjadi pintu masuknya kerentanan pekerja migran terhadap terorisme.

Media sosial menjadi ladang utama bagi para PMI untuk mengakses segala informasi keagamaan yang ada. Dengan minimnya pengetahuan seperti halnya akses informasi untuk mendapatkan pengetahuan agama di wilayah tersebut, menyebabkan mereka mencari alternatif lain untuk mendapatkan segala informasi yang berkenaan dengan ekspresi keberagamaan yang diyakini. Keberadaan media sosial di manfaatkan oleh para teroris untuk menjadikan PMI sebagai sasaran empuk yang cukup loyal apabila berhasil direkrut menjadi bagian dari market pasaran ideologi. Dengan demikian, media sosial menjadi ruang tidak terbatas yang dimanfaatkan oleh para teroris untuk menyebarkan ajarannya.

Pekerja migran dan kegelisahan diri

Setidaknya ada dua alasan mengapa seorang PMI rentan terhadap pengaruh radikalisme yang berlanjut kepada terorisme, diantaranya: pertama, dari sisi individu, hidup di perantauan membuat mereka jauh dari sanak keluarga serta tidak lagi bersentuhan dengan kebiasaan-kebiasaan keagamaan di tanah air. Hal itu mnejadikan mereka gelisah dan merasa hidup tidak lengkap lagi. Wilayah tersebut merupakan wilayah batin yang dimiliki oleh setiap individu yang hidup. Mereka kehilangan sesuatu yang selama ini menjadi bagian dari hidupnya. Ekspresi keagamaan yang dibawa dari kampung halaman, menjadikannya mereka rindu dengan aktifitas keagamaan tersebut akan tetapi, tidak bisa ia peroleh dari tempat dimana seseorang bekerja. Apalagi ketika bekerja di tempat yang notabenenya bukan mayoritas muslim, seperti halnya Amerika Serikat, Hong Kong ataupun Singapura. Para PMI tidak lagi bisa menyangsikan tradisi Maulid, Syawal-an atau bulan Muharram. Sehingga sangat rentan terpapar oleh ajaran-ajaran yang membawanya pada pemahaman radikalisme yang berlanjut kepada pemahaman terorisme.

Kegelisahan tersebut sejalan dengan penjelasan bahwa, manusia menurut fitrahnya adalah makhluk beragama (homo religius), artinya manusia merupakan makhluk yang memiliki rasa dan kemampuan untuk memahami serta mengamalkan nilai-nilai agama. Fitrah ini juga yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk Tuhan lainnya. Maka dari itu, kegelisahan para PMI yang sedang berada di perantauan, adalah hal yang sangat fitrah sebagai manusia. Mereka memiliki kegelisahan diri akan ekspresi keagamaan yang dimiliki. Apalagi, kondisi di perantauan sangat berbeda dari kampung halaman tentang adat dan budaya, membawanya pada ruang yang asing dan belum pernah dialami sebelumnya. Celah ini digunakan oleh para kelompok teroris untuk mengisi kekosongan itu.

Kedua, dari segi ajaran, ada janji dan kepastian yang ditawarkan untuk menjawab kegelisahan yang mereka alami. Ajaran yang dibawa oleh para teroris menjanjikan syurga kepada para pengikutnya. Setelah para PMI mengalami kegelisahan dan kekosongan dalam hidupnya tentang proses keberagamaan yang dilakukan, lalu ketika belajar agama dari kelompok teroris, mereka akan mendapatkan syurga dari tindakan yang dilakukan. Janji inilah yang menjadi alasan besar mengapa para PMI rentar terpapar terorisme.

Tidak hanya itu, hidup di negara perantauan di tengah kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat serta pergaulan yang cukup bebas, mereka merasa perlu untuk mengubah arah identitas agama dan melakukan perubahan di dalamnya. Ajaran agama yang selama ini diyakini, ketika dibenturkan dengan kondisi di perantauan, berbanding terbalik dengan nilai-nilai Islam. Sehingga dari kegelisahan itu, mereka memiliki semangat yang kuat untuk melakukan perubahan dan membela agama dengan janji syurga yang diyakininya. Dari sinilah, sangat masuk akal apabila PMI terpapar terorisme. Wallahu a’lam…

Muallifah

Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
Bhinneka Tunggal Ika

Tokoh Agama Harus Berperan Atasi Tantangan di Era Digitalisasi

1 Mins read
Para tokoh agama harus berperan dalam mengatasi tantangan di era digitalisasi. Pasalnya, era digitalisasi tidak hanya membawa kemajuan yang positif, tetapi juga…
Bhinneka Tunggal Ika

Fenomena War Takjil: Dari Toleransi hingga Puasa Kelas Menengah

4 Mins read
Makanan, minuman, dan puasa saling bertaut. Menahan lapar dan haus adalah standar dasar orang berpuasa. Menariknya, menu sahur atau berbuka puasa adalah…
Bhinneka Tunggal Ika

Ngabuburit Zaman Now, Jalan-jalan atau Scroll Tiktok?

2 Mins read
Kita tidak dapat memungkiri adanya perubahan budaya akibat perkembangan zaman. Tak hanya mencakup budaya etnis atau tradisional, perubahan budaya yang terjadi saat…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *