Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap 16 orang tersangka teroris yang terafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII) di Sumatera Barat. Penangkapan dalam jumlah besar tersebut menunjukkan betapa gerakan radikalisme dan terorisme di beberapa daerah kini semakin massif. Diketahui, motif para tersangka tersebut ingin mengganti ideologi negara dan menggulingkan pemerintahan yang sah.
Menanggapi hal tersebut, Brigjen Pol. Ahmad Nurwakhid dari BNPT RI menjelaskan bahwa NII merupakan salah satu gerakan politik yang patut diwaspadai karena memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan konsensus nasional bahkan telah memiliki struktur pemerintahan yang bergerak di bawah tanah. Gerakan ini selain berpotensi melakukan tindakan kekerasan dan teror untuk mencapai cita-citanya mendirikan negara berdasarkan syariat agama juga menjadi ancaman bagi kehidupan yang harmoni di negeri ini.
“NII merupakan organisasi dan gerakan politik pertama di Indonesia yang melakukan radikalisasi gerakan politik yang mengatasnamakan agama yang sangat membahayakan kedaulatan negara. Ideologi NII merupakan induk ideologi yang menjiwai gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia” tegasnya.
Lebih lanjut, Brigjen Ahmad Nurwakhid menerangkan akar terorisme di Indonesia memiliki akar sejarah dan Ideologi yang bisa dilacak dari gerakan Kartosoewiryo dengan Darul Islam (DI/TII) pada era-1950-an. Gerakan ini merupakan salah satu gerakan pemberontakan yang cukup menyita perhatian pemerintah kala itu karena selain anggotanya yang cukup banyak juga melakukan I’dad atau pelatihan serta memiliki pesantren sebagai sarana untuk menanamkan doktrin yang anti Pancasila.
Bahkan menurut salah satu putra pendiri DI/TII, Sarjono Kartoesuwiryo saat menyatakan ikrar setia bagi Pancasila tahun 2019 di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan HAM bahwa anggota NII saat ini menurut data resmi masih ada sekitar 2 juta tidak termasuk yang belum terdata.
Masih menurut Nurwakhid bahwa selain NII tetap eksis sampai saat ini, gerakan ini pada masa berikutnya juga bermetamorfosa dalam berbagai jaringan yang salah satunya adalah Jamaah Islamiyah (JI) yang didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir pada tahun 90an. “JI sudah ditetapkan sebagai organisasi teroris yang paling bertanggungjawab atas serangkaian aksi terorisme di Indonesia pada awal tahun 2000 dan terbukti ingin merubah negara kesatuan republik Indonesia menjadi satu kekhalifaan yang meliputi negara-negara Asia dan mayoritas jamaahnya adalah eks DI/TII yang berafiliasi dengan jaringan terorisme global, Al-Qaeda,” terangnya.
Karena itulah gerakan dan ideologi NII, menurut Nurwakhid, sudah sepatutnya diwaspadai karena memiliki ideologi yang dapat mendorong pada tindakan pidana terorisme yang menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Selain itu, bahaya ideologi ini terbukti telah memakan korban indoktrinasi yang tak pandang usia. “ideologi NII ini sangat berbahaya karena memiliki keyakinan dan keinginan merubah ideologi negara, menggulingkan pemerintahan yang sah yang dianggap thagut, mempunyai paham takfiri, melakukan gerakan bawah tanah dengan rekrutmen dan pelatihan atau ‘Idad,” jelasnya.
Nurwakhid menerangkan organisasi NII memang sudah dilarang oleh pemerintah. Namun, ideologinya yang banyak mengilhami tindakan kekerasan dan terorisme di Indonesia belum ada regulasi yang melarangnya. Karena itulah, ia berharap para tokoh-tokoh agama, akademisi dan semua pihak memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tidak mudah terpengaruh ideologi NII dan mendorong adanya regulasi yang melarang penyebaran ideology yang bertentangan dengan Pancasila.
“Saya sangat senang dengan ketegasan MUI Garut yang secara jelas mengeluarkan fatwa Haram organisasi dan Gerakan NII. Semoga hal ini juga diikuti oleh MUI Pusat dan organisasi keagamaan lainnya agar menutup ruang gerak NII,” pungkasnya.
Negara Islam Indonesia (NII) memiliki sejarah panjang dan kompleks dalam perjalanan ideologi dan gerakan radikal di Indonesia. Didirikan pada tahun 1949 oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, NII awalnya muncul sebagai gerakan yang menolak otoritas Republik Indonesia dengan tujuan mendirikan negara Islam. Namun, warisan ideologi dan struktur gerakannya berkembang menjadi akar bagi berbagai kelompok terorisme yang mengancam keamanan nasional hingga saat ini.
NII adalah salah satu contoh nyata bagaimana ideologi transnasional mampu beradaptasi dengan konteks lokal dan menyebarkan paham-paham ekstremisme. Setelah kekalahannya pada tahun 1962 dengan eksekusi Kartosoewirjo, NII tidak serta-merta lenyap. Justru, kelompok ini bertahan dalam bentuk sel-sel kecil yang tersebar di berbagai wilayah.
Di bawah radar pemerintah, mereka merekrut anggota baru, menggalang dana, dan menyebarkan ideologi melalui jalur pendidikan, dakwah, dan jaringan bawah tanah. Keberadaan mereka menjadi semacam inkubator bagi individu dan kelompok yang kemudian melahirkan generasi baru pelaku terorisme di Indonesia.
Salah satu manifestasi paling nyata dari pengaruh NII adalah munculnya Jamaah Islamiyah (JI), sebuah organisasi yang dikenal sebagai pelaku berbagai serangan teror, termasuk Bom Bali 2002. Meski JI memiliki koneksi dengan jaringan global seperti Al-Qaeda, ideologi mereka berakar pada gagasan NII tentang negara Islam. Ini menunjukkan bagaimana warisan NII terus memengaruhi kelompok-kelompok yang lebih radikal dengan memberikan legitimasi historis dan doktrin dasar.
Selain itu, NII juga memainkan peran penting dalam membentuk metode rekrutmen dan pembentukan kader terorisme di Indonesia. Dengan pendekatan yang sistematis, mereka menargetkan individu-individu muda, seringkali melalui pendekatan personal di lingkungan pendidikan atau komunitas.
Doktrin yang mereka tanamkan tidak hanya berbicara tentang perjuangan spiritual, tetapi juga menyertakan pembenaran bagi penggunaan kekerasan untuk mencapai tujuan politik. Dengan demikian, NII bukan hanya menjadi penyebar ideologi, tetapi juga katalis bagi militansi.
Meski telah berulang kali diberantas, jaringan NII tetap sulit dilacak sepenuhnya karena strategi adaptasi mereka. Salah satu metode yang sering digunakan adalah memanfaatkan celah hukum dan memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan propaganda. Dalam banyak kasus, mereka membaur dengan masyarakat umum, membuatnya sulit dibedakan dari kelompok moderat. Hal ini menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menanggulangi pengaruh mereka.
Namun, peran NII tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas, yakni kekecewaan terhadap ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Narasi yang mereka bangun sering memanfaatkan ketimpangan ini untuk memengaruhi masyarakat. Oleh karena itu, pemberantasan NII dan jaringan turunannya tidak hanya bisa dilakukan melalui pendekatan keamanan, tetapi juga melalui langkah-langkah preventif yang menyasar akar permasalahan sosial yang menjadi lahan subur bagi ekstremisme.
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi pengaruh NII dan kelompok-kelompok turunannya, mulai dari operasi militer hingga program deradikalisasi. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan organisasi masyarakat juga aktif dalam menangkal penyebaran ideologi ekstremis.
Namun, keberhasilan upaya ini membutuhkan kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, masyarakat sipil, dan pemimpin agama untuk menciptakan narasi tandingan yang kuat dan membangun ketahanan ideologis di masyarakat.
Kesimpulannya, NII adalah simbol bagaimana ideologi ekstrem bisa bertahan melampaui batas waktu dan generasi. Dengan adaptasi yang cerdik, mereka telah menjadi induk dari berbagai bentuk terorisme di Indonesia. Menelisik peran NII adalah langkah penting untuk memahami akar masalah terorisme di Indonesia dan bagaimana cara terbaik untuk memberantasnya.
Keberlanjutan harmoni dan stabilitas bangsa tergantung pada kemampuan semua pihak untuk bersatu melawan ancaman ini, baik melalui pendekatan keras maupun strategi pencegahan yang inklusif dan berkelanjutan.