Perkembangan radikalisme di Indonesia terjadi dalam bentuk dan varian yang berbeda. Banyak hal yang melatarbelakangi munculnya radikalisme di Indonesia. Hampir secara keseluruhan penyebab utama dari aksi-aksi radikalisme tersebut adalah disebabkan oleh ketidaksiapan kelompok tersebut untuk menerima perbedaan yang ada di lingkungan sekitarnya (Yunus, 2017). Dalam hal beragama, kaum radikal dapat diidentifikasi dari cara pandang mereka dalam memahami agama.
Usaha untuk menyeragamkan agama dan paham keagamaan dalam satu definisi ini, mengakar pada apa yang disebut Robert W. Hefner dengan istilah âreligionizationâ (Hefner, 2011, p. 73). Dalam pemahaman Hefner, religionisasi erat kaitannya dengan politisasi agama; yaitu suatu usaha yang digunakan untuk menyamaratakan praktek kegamaan dengan bersandar pada teks agama tertentu.
Dalam melacak akar historis kelompok Radikalis, Alex P. Schmid menyebut bahwa radikalisme tidak selamanya dapat diidentifikasi pada penolakan mereka terhadap penerapan sistem demokrasi. Mereka tidak selamanya mendukung tindak kekerasan dalam menyikapi sesuatu. Pun dalam hal beragama, kelompok radikalis pada keadaan tertentu bisa saja bersifat rasional dan inklusif (Schmid, 2013). Dalam pandangan Schmid, negasi atas hal-hal di atas lebih tepat diasosiasikan dengan kelompok ekstrimis; yang dalam tindakannya menggunakan cara-cara kekerasan.
Namun, bila tindakan dan cara pandang berlebihan mulai mendominasi pola pikir kelompok radikalis, maka ia telah masuk pada apa yang disebut oleh Charless Kimball sebagai monopoli kebenaran (truth claim). Monopoli kebenaran dalam pengertian Kimball muncul saat suatu kelompok mengklaim agamanya sebagai satu-satunya jalan yang mutlak benar (Kimball, 2008).
Lebih lanjut, Kimball menyebut truth claim terhadap agama sendiri yang dibarengi dengan keinginan untuk membasmi kelompok agama atau bahkan mazhab yang berbeda adalah ciri dari orang-orang yang bersifat eksklusif dalam beragama.
Salah satu bukti konkret truth claim yang terjadi di Indonesia adalah masifnya kafir-mengkafirkan (takfiri) dan sesat-menyesatkan yang dilakukan oleh kelompok revivalis, seperti Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) yang mulai menyebar di Indonesia setelah tumbangnya pemerintah Orde Baru pada 1998 (Rijal, 2010). Kelompok ini cenderung mempolitisasi kebenaran hanya untuk dirinya, bahwa setiap hal yang berbeda, tidak sesuai ajaran syariat, tidak sejalan dengan pemahaman mereka, dikategorikan pada kelompok kafir atau keluar dari agama Islam.
Lebih jauh dari itu, kelompok ini beranggapan bahwa sebagian dari pemimpin negara di Indonesia ini telah kafir, sebab tidak melarang kemungkaran, menggunakan sistem pemerintahan demokrasi; yang dalam anggapan mereka tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam, dan karenanya mereka halal untuk dibunuh (Friedland, 2014).
Dilihat dari segi genealogisnya, fenomena takfiri yang terjadi di Indonesia âterutama terkait anggapan haramnya sistem demokrasiâ mengikuti konsep yang ditawarkan oleh Daud Adz-Dzohiry. Dalam pemahaman Adz-Dzhory, penggunaan sistem demokrasi dalam suatu Negara adalah bentuk penegasian terhadap syariat Islam yang mengakar pada al-Qurâan dan Hadis (Adz-Dzohiry, 1988).
Lebih lanjut, ia ingin menegaskan bahwa hukum syariat Islam memiliki kedudukan dan supremasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem dan konsep lainnya. Penomorduaan terhadap syariat âpenegakan sistem demokrasiâ adalah bentuk kekafiran yang harus dilawan. Dengan demikian, maka dapat dipahami, system demokrasi yang dianut oleh Negara Indonesia, jika mengikuti tawaran adz-Dzahiry adalah system illegal yang tidak harus diikuti oleh warga Negara yang beragama Islam.
Tawaran lain yang coba diberikan oleh adz-Dzahiry adalah legalitas penggunaan kekerasan untuk melawan kelompok-kelompok beragama yang secara jelas medukung tegaknya system demokrasi (adz-Dzahiry, 2018). Pada awalnya, gagasan adz-Dzahary seolah bersifat inklusif. Ia mengatakan bahwa membunuh seseorang adalah hal yang tidak diperbolehkan dalam agama. Namun, pada saat yang bersamaan, ia memperbolehkan membunuh orang-orang yang tidak menegakkan system teokrasi. Dari beberapa penggambaran tersebut, setidaknya dapat dipahami bahwa truth claim menjadi bagian inheren dan trade mark untuk mengindentifikasi kaum radikal (Mustofa, 2017). Â
Dilihat dari segi kronologisnya, munculnya kelompok radikalisme di Indonesia disebabkan oleh satu hal. Yaitu, belum terpenuhinya cita-cita mereka untuk menegakkan âNegara Islamâ. Sehingga jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh untuk melanggengkan cita-citanya adalah menggunakan cara takfiri. Penggunaan hate speech dari kelompok radikalis demikian tentu menjadi masalah dalam menciptakan toleransi dan harmoni antar umat beragama yang ada di Indonesia. Keinginan untuk menyeragamkan keyakinan dan paham keagamaan merupakan hal utopis yang sulit untuk diterapkan.
Perihal solusi yang harusnya diambil oleh kelompok Radikalis dalam mewujudkan keinginan âNegara Islamâ digambarkan dengan cukup baik oleh Carool Kersten dan Jeremy Menchik. Kersten dalam tulisannya âAl-Jabiri In Indonesia: The Critique of Arab Reason Travels to The Lands Below the Windsâ menjelaskan bahwa umat Islam âkhususnya yang radikalâ harusnya menginterpretasikan Islam dalam bentuk yang moderat dan berimbang (al-tawasuth wa al-iâtidal). Cara pandang yang moderat dan berimbang ini menurut Kersten bertujuan untuk mencari jalan tengah atas egoisme yang berlebihan dari kelompok radikalis-fundamentalis âyang menginginkan tegaknya Negara teokrasiâ dengan kelompok liberalis âyang mengingkan tegaknya Negara sekularâ (Kersten, 2018).
Hampir sama dengan Kersten, Jeremy Menchik menggambarkan bahwa bentuk ideal untuk menciptakan harmoni antar dan intra umat beragama di Indonesia dapat ditempuh melalui apa yang ia sebut dengan toleransi komunal, konsensus universal atau titik temu (common good). Dengan meneliti tiga organisasi besar di Indonesia (Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis), Menchik mendefinisikan toleransi sebagai suatu sikap kesiapsediaan untuk hidup berdampingan dengan mereka yang berbeda pemahaman (Menchik, 2016).
Tawaran yang diberikan oleh Kersten dan Menchik tersebut pada hakikatnya ingin memberikan kesan bahwa hadirnya kelompok-kelompok radikalis di Indonesia tidak lain dan tidak bukan adalah suatu bentuk baru yang berbeda dari organisasi masyarakat (Ormas) besar  di Indoneisa yang dapat menghancurkan bangun rancang harmoni yang telah mengakar kuat pada tubuh bangsa ini. Dalam konteks di Indonesia, apa yang telah dijabarkan Kersten dan Menchik dapat diterima sebagai solusi paling efektif untuk membendung perkembangan kelompok radikalis yang lebih besar.
Mengingat tindak persuasif yang diperkenalkan oleh ormas-ormas di Indonesia bila tidak dipertahankan, pada waktu tertentu akan berubah pada apa yang disebut oleh Alimi, Demetriou, & Bosi sebagai tindak ofensif, represif dan diskriminatif seperti yang pernah dilakukan oleh kelompok radikalis (Alimi, Demetriou, & Bosi, 2015).
Bila Alimi, Demetriou, dan Bos menyebut radikalis dalam waktu tertentu dapat dikaitkan dengan tidak ofensif dan diskriminatif, pendapat ketiganya sejalan dengan penjelasan David Rapoport yang mengemukakan bahwa perkembangan paling masif dari tindak kekerasan adalah berorientasi untuk mendukung tujuan-tujuan keagamaan atau teror yang kemudian dilegitimasi dengan dalih terma-terma teologis (Rapoport, 1990). Di Indonesia sendiri telah banyak kasus tindak kekerasan terorisme yang mengatasnamakan agama. Solahuddin misalnya, menggambarkan aksi bom Bali yang terjadi pada tahun 2002 sebagai salah satu aksi yang dimotori oleh kelompok radikal di Indonesia yang mengakar pada pendiri Darul Islam Indonesia bernama Kartosuwiryo (Solahudin, 2013).
Maka dari itu, dapat dipahami bahwa akar atau embrio munculnya tindak teror-radikalis di Indonesia telah terjadi sejak Indonesia belum merdeka. Artikel ini difokuskan untuk membahas terkait dinamika radikalisme yang terjadi di Indonesia sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan pasca runtuhnya Orde Baru (Reformasi) pada 1998.