Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW menuai reaksi yang luar biasa, salah satunya adalah kekaguman pada indahnya rangkaian kata sarat makna yang terkandung didalamnya. Masyarakat Arab pada masa itu terpesona atas keindahan ayat-ayat al-Qur’an yang indah.Dalam sejarahnya penulis syair-syair yang luar biasa ia akan mendapatkan kehormatan. Syair yang indah itu akan digantungkan di Ka’bah.
Ketika al-Qur’an turun, seluruh orang Arab kagum menerimanya, karena bahasanya paling indah dari sekian bahasa yang mereka tahu dalam syair-syairnya, karena al-Qur’an meliputi syair, prosa, serta puisi. Sehingga menurut orang-orang Arab, al-Qur’an memiliki bahasa yang amat tinggi, yang jelas tidak dapat ditandingi dengan sastra manapun.
Di era Modern ini muncullah berbagai model dan metode penulisan al-Quran yang berbeda dengan penulisan aslinya (rasm Utsmani), diantaranya kreasi unik dari H.B. Jassin, seorang sastrawan terkenal yang diberi julukan “Paus Sastra Indonesia”. Ia menampilkan al-Quran dalam wajah yang puitis. Lewat karyanya, H.B Jassin tampil dengan membawa kekhasan syair indah al-Qur’an dengan bahasa yang luar biasa.
Biografi dan Perjalanan Hidup H.B. Jassin
Nama lengkap H.B Jassin adalah Hans Baque Jassin, lahir di Gorontalo, pada 31 Juli 1917, dan meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000. Ia berpendidikan HIS Gorontalo (1932), HBD-B (1939), tamat Fakultas Sastra UI (1957) kemudian memperdalam studi keilmuannya di Universitas Yale, AS (1958-1959), lalu menerima DR. Honoris Causa dari UI (1975).
Ia dilahirkan dari pasangan Mantu Jassin dan Habiba Jau. Sejak kecil, Jassin adalah anak yang suka membaca. Ia gemar membaca buku-buku yang dimiliki ayahnya meskipun ia tidak begitu memahaminya. Kegemaran membaca membawanya ke ranah sastra terutama sekali setelah ia mengenal seorang Belanda bernama M.A. Duisterhof, guru sekaligus kepala sekolah dari tempat Jassin belajar.
Semasa mudanya, Jassin telah berkenalan dengan beberapa sastrawan seperti Chairil Anwar. Ia merasa beruntung bisa bertemu dengan sastrawan idolanya, Sutan Takdir Alisjahbana. Pertemuan singkat tersebut ternyata menimbulkan kesan mendalam dalam diri Sutan, sehingga ia mengirim surat ke Gorontalo meminta Jassin agar mau bekerja di lembaga sastra yang ia pimpin, Balai Pustaka.
Ia banyak mengenyam beberapa profesi, dia pernah menjadi seorang pegawai kantor Asisten Residen Gorontalo pada tahun 1939, Dosen Fakultas UI (1953- 1959), pegawai Lembaga Bahasa Nasional, ia pun pernah menjadi redaktur dibeberapa Pustaka, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Panji Pustaka, dan lain-lain.
Hans Bague Jassin, sebuah nama yang tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kesusasteraan Indonesia. Ia mendapatkan gelar dan julukan sebagai penghargaan dari apa yang telah dilakukannya, yaitu kecintaanya, ketekunannya, perhatiannya yang sungguh-sungguh terhadap sastra Indonesia. Nama H.B. Jassin sendiri lebih dikenal sebagai kritikus sastra Indonesia. Beliau merupakan sastrawan yang minatnya melebihi batas-batas teritorialnya. Bahkan beliau mendapatkan julukan sebagai Paus Sastra Indonesia.
Latar Belakang Penulisan Al-Quran Karim Bacaan Mulia
Latar belakang penerjemahan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia dimulai dengan pengalaman pribadi yang dialami oleh HB. Jassin sendiri. Pada tanggal 12 Maret tahun 1962, istri HB. Jassin meninggal dunia dan kejadian ini menggugah kesadarannya bahwa hidup manusia singkat di dunia ini. Selama tujuh malam diadakan tahlilan dirumahnya dan pada malam kedelapan secara tidak sadar ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakan setiap malam mengusik ketenangan Jassin karena rumahnya terasa sepi karena tidak ada lagi yang datang untuk melantukan ayat-ayat Al-Quran. Niatnya didorong suatu kesadaran bahwa al-Quran sangatlah puitis dan ketika ia membaca al-Quran dia merasakan alunan yang sangat indah.
Selama sepuluh tahun lebih ia menyelami ayat al-Qur’an yang memberinya banyak hikmah sehingga ia semakin dekat dengan Rabbnya. Sampai tibalah pada tanggal 7 Oktober 1972, H.B. Jassin terbuka hatinya untuk memulai menerjemahkan Al-Quran di negeri yang dingin karena jauh dari katulistiwa yakni di Belanda.
Pikiran untuk menterjemahkan al-Quran secara puitis timbul setelah ia membaca terjemahan Abdullah Yusuf Ali “The Holy Quran” yang menurutnya terjemahan al-Quran yang paling indah, disertai keterangan-keterangan yang luas dan bersifat universal. Menurut Jassin bahasa al-Quran yang puitis dan ayat-ayatnya dapat disusun sebagai puisi sehingga bisa dibaca hidup dan indah serta enak dibaca.
Sumber penafsiran Al-Qur’an al-Karim karya Jassin
Jika dilihat dari usahanya untuk mentranslit terjemahan AlQur’an ke dalam bahasa puisi sudah otomatis karya tersebut bersumberkan ra’yu atau tafsir bi al-ra’yi, bahkan ia berusaha semaksimal mungkin untuk mencari sinonim dari terjemahan lafadz agar dapat sesuai dengan irama, dan ia pun menterjemahkan ayat kadang langsung pada maksud kandungan ayat tersebut.
Metodologi dan corak Penafsiran Al-Qur’an karya Jassin
Corak Penafsiran Al-Qur’an karya Jassin memiliki corak lughawi, karena ia adalah sasrtrawan maka dalam menterjemahkannya itu lebih menekankan pada bahasa, karena dapat dilihat dari analisa dan pemahamannya ia menterjemahkan ayat-ayat dengan berbagai makna bahasa sastranya, dan menurutnya pula bahwa suatu kata adakalanya memiliki beberapa arti maka suatu kalimat yang memuat kata itu bisa pula diartikan berbeda. Sebagaimana penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tafsir bacaan mulia karya Jassin menggunakan metode tahlili (tafsir dengan menggunakan analitis). Akan tetapi, menurut Nasruddin Baidan bahwa tafsir H.B. Jassin menggunakan metode ijmali (metode global).
Polemik Al-Quran Berwajah Puisi Karya H.B. Jassin
Karya Jassin menjadikan Al-Quran berwajah puisi melahirkan kontroversi dikarenakan Jassin dikenal sebagai orang tidak pandai bahasa Arab. Pada tahun 1978, Jassin telah menyusun Al-Quranul Karim Bacaan Mulia namun penerbitnya mengundang polemik bahkan ada yang membakarnya. Sehingga berbagai pihak saat itu telah dihubungi, seperti, Prof. Hasymi, BJ, Habibie, Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan beberapa tokoh untuk dimintai tanggapan. Gus Dur bahkan siap memperjuangkan jika ada keributan.
Sebelum mengetahui bagaimana model al-Quran berwajah puisi ini, saat itu masyrakat terjebak isu Al-Quran yang dipuisikan. Misalnya, KH. Hasan Bashri menolak terbitnya karena dianggap mempermainkan al-Quran. DR. H. Fuad Moch Fachruddin mengungkapkan bahwa penulisan Al-Quran berwajah puisi itu sama saja dengan perilaku orang syi’ah Di samping beberapa tokoh yang menyerang Jassin, bukan berarti Jassin tanpa pendukung, Prof. H. Chatibul Umam, Ali Audah (Sastrawan dan penerjemah Arab) dan Abdurrahman Wahid (Ketua PBNU) diantara para pendukung Jassin. Menurut mereka tidak ada tanda baca yang diubah dan kedudukan ayat juga tidak diubah mereka tidak mempermasalahkan itu.
Kontroversi semakin tajam setelah MUI dan Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran Departemen Agama menolak format Al-Quran versi Jassin. Alasannya, menurut Hasan Bashri karena susunan naskahnya tidak sesuai dengan mushaf Al-Imam. Sedangkan Depag, berdasarkan rapat pleno Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran tanggal 17 September 1992, memutuskan bahwa Al-Quran versi Jassin dinilai lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Adanya kritik tersebut Departemen Agama akhirnya membuat tin pentashih untuk meneliti terjemahnya untuk melakukan perbaikan dan perubahan. Tim ini bekerja selama tiga tahun dan selesai tahun 1983 yang telah banyak perubahan dari edisi pertama tahun 1978. Mushaf berukuran 15,5×21,5 cm cetakan ke II di terbitkan oleh Yayasan 23 Januari 1942 di Jakarta tanggal 21 Juni 1982 M. Hingga pada tahun 1992 mengalami cetakan ketiga berjumlah 75.000 eksemplar.