Featured

Menelisik Tantangan Kesehatan Mental Generasi Muda di Indonesia

2 Mins read

“Kesehatan Mental” rasa-rasanya bukan lagi topik yang asing di kalangan masyarakat, terutama generasi muda masa kini. Sebagian besar anak muda mungkin telah menyadari pentingnya menjaga kondisi psikis, terlebih lagi dalam menghadapi berbagai situasi yang ada di era globalisasi ini. Di samping itu, dukungan lingkungan dan keluarga tentu berperan besar dalam upaya memperhatikan serta memelihara kondisi mental yang sehat pada diri generasi penerus bangsa.

Di tengah pesatnya perkembangan zaman dan berbagai tantangan hidup modern, kesehatan mental menjadi isu yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Namun, pada kenyataannya, masih terdapat tanggapan negatif dari masyarakat sekitar mengenai mental health awareness atau kepedulian terhadap kesehatan mental, khususnya dari para orang tua yang masih memeluk erat pemikiran tradisional tentang topik ini. Beberapa dari mereka cenderung mengesampingkan dan sering kali menganggap tabu, seolah mental yang bermasalah merupakan hal yang memalukan.

Stres dan Dampak yang Berkelanjutan

Berbicara mengenai masalah kesehatan mental, stres merupakan salah satu hal yang paling sering dialami oleh generasi muda. Stres dapat dikatakan sebagai “tekanan” yang mempengaruhi keseimbangan hidup kita sehari-sehari. Apabila kondisi ini disepelekan lalu meningkat hingga sudah tidak mengetahui apa dan darimana penyebabnya, artinya orang yang mengalami ini telah memasuki fase cemas. Semakin jauh lagi, apabila perasaan cemas ini dibiarkan, maka potensi timbulnya depresi pun tidak terhindarkan lagi.

Tidak hanya menyerang psikis, rasa cemas dalam keseharian ini pun dapat memicu penurunan kesehatan fisik seseorang tanpa menunggu masuknya tahap depresi, mulai dari pengaruhnya terhadap aktivitas saraf otonom hingga asma. Inilah salah satu alasan mengapa kesehatan mental juga perlu diperhatikan dan tidak dianggap remeh, bahkan dalam skala terkecil sekalipun.

Kemampuan individu menangani stres atau kecemasan dapat diibaratkan seperti sebuah gelas yang diisi air (stress) sedikit demi sedikit. Agar kapasitas gelas tersebut tetap cukup untuk menampung air demi tidak tumpah, maka kita harus mencari tahu cara agar gelas tersebut tidak terlalu penuh. Terkait kondisi psikis, salah satu caranya adalah dengan berbicara, baik kepada orang terdekat maupun para ahli (saat kondisi dirasa semakin parah). Setidaknya, melalui cara ini kita bisa merasa lebih lega dan mengurangi beban psikis yang ditanggung.

Generasi Muda Vs Stigma yang Ada

Sayangnya, di banyak masyarakat tradisional, kesehatan mental sering kali tidak mendapat perhatian yang seharusnya. Budaya yang mengutamakan kehormatan keluarga dan menjaga citra sosial sering kali menstigmatisasi mereka yang menghadapi masalah mental. Di beberapa tempat, masalah seperti kecemasan, depresi, atau gangguan lainnya dipandang sebagai kelemahan, bukan sebagai kondisi medis yang memerlukan perawatan.

Istilah seperti “gila” digunakan untuk menggambarkan orang yang mengalami gangguan mental, memperburuk stigma yang ada. Sederhananya, dalam kondisi tertentu, seseorang yang mencoba berbicara tentang perasaan atau masalah emosional dianggap lemah. “Curhat adalah tanda kelemahan” merupakan pandangan yang cukup umum, yang membuat generasi muda merasa takut dan malu untuk mengungkapkan masalah kesehatan mental mereka.

Stigma terhadap kesehatan mental ini dapat menambah tekanan sosial yang dialami generasi muda. Tekanan untuk memenuhi harapan masyarakat, baik dalam hal akademis, sosial, atau karier, sering kali bertambah berat ketika seseorang merasa bahwa mereka tidak boleh menunjukkan kelemahan. Beban emosional ini dapat memperburuk kondisi mental, meningkatkan kecemasan, dan berpotensi menyebabkan depresi yang lebih dalam.

Jika pandangan tradisional ini terus dipertahankan, dampaknya bisa sangat merugikan bagi generasi muda. Kasus depresi, kecemasan, dan bahkan bunuh diri di kalangan remaja semakin meningkat, yang menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental dapat memperburuk keadaan. Jika stigma ini tidak diubah, banyak orang muda akan terus merasa terisolasi, tak berdaya, dan enggan untuk mencari bantuan.

Kesimpulan

Generasi muda saat ini berada di persimpangan jalan antara tradisi yang membelenggu dan dunia yang semakin terbuka terhadap isu kesehatan mental. Perspektif tradisional yang menganggap kesehatan mental sebagai tabu harus digantikan dengan pandangan yang lebih inklusif dan empatik.

Mengubah stigma adalah langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental, di mana generasi muda merasa lebih nyaman untuk berbicara dan mencari bantuan. Semua pihak—keluarga, masyarakat, dan pemerintah—harus berperan aktif dalam menciptakan perubahan ini demi masa depan yang lebih sehat dan lebih baik bagi generasi mendatang.

Referensi:

Manampiring, H. (2018). Filosofi Teras. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

 

Kamala Dafa Liziyani

Psychology student at Airlangga University
1562 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Featured

I Gusti Ngurah Rai: Peran, Perjuangan, dan Penghargaan

1 Mins read
I Gusti Ngurah Rai lahir di Carangsari, Bali, pada 30 Januari 1917. Ia adalah putra dari I Gusti Ngurah Palung, seorang Camat…
Featured

Pemiskinan Perempuan; Membaca Ecofeminism Vandana-Maria

4 Mins read
Meningkatnya kemiskinan yang dialami perempuan merupakan imbas dari proses-proses ekonomi dan politik, dimana kaum perempuan ditempatkan dalam posisi terbelakang. Keterbelakangan perempuan bukan…
Featured

Shin Tae Yong: Sudah Pergi Tapi Akan Selalu di Hati Rakyat NKRI

3 Mins read
Pemecatan Shin Tae-Yong sebagai pelatih Skuad Garuda Indonesia, menggema di jagat virtual. Pro dan kontra di media sosial tidak terbendung lagi. Tentu…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.