Hiruk pikuk masyarakat dalam menghadapi Pemilu 2024 sudah tercium beberapa waktu belakangan terakhir. Seluruh media massa bahkan media sosial, selalu memberikan informasi terkait Pilpres pada Februari yang akan datang. Tidak ketinggalan pula, masyarakat sebagai kelompok netizen, turut aktif menyuarakan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam komentar-komentar di media sosial, terutama debat Capres dan Cawapres yang sudah berlangsung beberapa waktu lalu.
Momentum ini adalah euforia yang diciptakan oleh masyarakat dalam menjalankan sistem pemerintahan demokrasi yang sudah lama diterapkan di Indonesia. Artinya, sebuah kewajaran apabila kontestasi gagasan, ide ataupun kampanye, terjadi pada setiap politisi yang sedang maju dalam Pemilu 2024. Namun, pertarungan ide/gagasan untuk merebut suara rakyat itu, jangan sampai menciptakan polarisasi, bahkan perpecahan yang berujung saling memusuhi satu sama lain.
Dengan kalimat sederhana, siapapun pilihan presiden kita, tidak boleh menjadi alasan kita bermusuhan bahkan saling membenci. Sebab perbedaan pilihan itu, adalah sebuah keniscayaan dalam Pilpres mendatang karena beda gagasan dan pandangan.
Adanya media sosial sebagai ruang bebas dalam melakukan kampanye, mendukung calon yang sesuai dengan kehendak masing-masing, berdampak negatif terhadap narasi bebas dan blunder yang akan diterima oleh masyarakat. Akibatnya, jika masyarakat belum memiliki literasi digital yang rendah, utamanya dalam membaca peta politik yang terjadi di Indonesia, media sosial akan dipenuhi oleh narasi-narasi negatif yang tidak bertanggung jawab, seperti saling menjatuhkan satu sama lain, yang dilakukan oleh antar pendukung masing-masing. Bagaimana menyikapi hal ini?
Persatuan dan Kesatuan Harus Didahulukan
Pemilu yang dilaksanakan pada 17 April 2019 silam, menyisakan konflik yang masih dalam dirasakan oleh masyarakat. Ancaman yang terjadi pada pemilu tersebut bisa dilihat dari ancaman dunia maya ataupun dunia nyata,. Penyebaran berita bohong yang sangat massif, adu domba oleh masing-masing kelompok, hingga potensi serangan siber terhadap sistem penyelenggaraan pemilu adalah masalah yang nyata.
Tidak hanya itu, terjadi juga benturan fisik pada aksi demonstrasi pada 22 Mei 2019 silam yang menciderai wajah demokrasi di Indonesia. Aksi tersebut terjadi karena penunggangan oleh segelintir elit politik yang tidak terima dengan hasil Pemilu sehingga mencoba membuat keributan di tengah masyarakat. Mengingat Pemilu 2019 silam, rasanya seperti masih banyak luka yang tertinggal dari kejadian yang sudah dilalui oleh masyarakat. Belum sembuh dengan luka tersebut, masyarakat harus menghadapi kembali momentum untuk memilih pemimpin untuk 5 tahun yang akan datang.
Dengan modal kesadaran tentang Pemilu tahun 2019, wajib hukumnya kita cerdas agar kejadian serupa tidak terulang. Dalam menggunakan media sosial, sudah semestinya kita lebih bijak untuk mengelola konten media sosial ataupun mengeluarkan komentar berkenaan dengan Pemilu. Ini bukan berarti kita tidak boleh berpendapat, melainkan tidak mengeluarkan umpatan bahkan mengolok-olok politisi tertentu.
Adanya kesadaran tersebut, akan mengantarkan kita pada cara bijak untuk menghadapi Pemilu yang akan datang. Sikap toleran atas perbedaan pendapat, pilihan, merupakan hal yang wajib kita lakukan sebagai bangsa Indonesia. Sebagaimana layaknya kita mengimpikan pemimpin yang bertanggung jawab untuk Indonesia, kita juga perlu belajar untuk menjadi bangsa yang baik. Salah satunya dengan sikap toleran dalam menghadapi Pemilu. Hal ini dimulai dari diri kita sendiri.
Dalam ajaran Islam, mengajarkan prinsip kemaslahatan bersama (maslahah), di mana kepentingan bersama diutamakan. Ketika menghadapi pemilu, kepentingan bersama harus diutamakan di atas perbedaan pilihan. Dalam kaidah fikih kemashlahatan ammah didahulukan dari kepentingan yang khusus. Mengacu pada penjelasan ini, sangat utama menerapkan sikap toleran pada saat Pemilu agar tercipta perdamaian. Wallahu A’lam.