Pemerintah dan DPR berencana menerbitkan Undang-Undang Pengampunan Nasional. Dalam naskah Rancangan Undang-Undang Pengampunan Nasional yang beredar, pengampunan yang biasanya dilakukan dalam bidang perpajakan kini diperluas hingga kepada para pelaku korupsi, pencucian uang, dan kejahatan keuangan lainnya.
Dalam Pasal 10 RUU disebutkan bahwa āSelain memperoleh fasilitas di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Orang Pribadi atau Badan juga memperoleh pengampunan tindak pidana terkait perolehan kekayaan, kecuali tindak pidana teroris, narkoba, dan perdagangan manusia.ā Dalih yang digunakan adalah agar uang dari para pelaku kejahatan yang diparkir di luar negeri dapat ditarik ke Indonesia.
Semula materi pengampunan ini dimasukkan dalam perubahan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) yang masih menggunakan istilahĀ tax amnestyĀ pada awal tahun 2015. Namun, setelah mendapat sejumlah penolakan, belakangan ihwal pengampunan tersebut menjadi RUU tersendiri yang muncul bersamaan dengan usulan perubahaan UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal ini perlu mendapat catatan sendiri dari proses perencanaan pembentukan perundang-undangan yang sama sekali di luar dugaan.
Isi putusannya adalah menghukum pemilik Bank Century, Rafat Ali Rizvy dan Heesam Al Waraq, pidana 15 tahun penjara, denda Rp 15 miliar, dan membayar uang pengganti Rp 3,115 triliun secara tanggung renteng. Pada 2014 upaya tersebut membuahkan hasil, pengadilan Hongkong mengabulkan penyitaan aset Bank Century sebesar Rp 48 miliar.
Jika dicermati, wacana pengampunan ini juga merupakan paradoks di tengah gencarnya upaya masyarakat internasional (khususnya negara berkembang) mengejar kekayaan yang dilarikan keluar negeri pasca tumbangnya para penguasa tirani dari negara masing-masing: Nigeria (Sani Abacha), Peru (Alberto Fujimori), dan Philipina (Ferdinand Marcos).
Sebagaimana diketahui, pengembalian aset hasil kejahatan merupakan salah satu tujuan utama dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa melawan korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006. Adanya persoalan global tentang aset curian merupakan keprihatinan global dan harus diberantas secara global dengan kerjasama dalam bantuan hukum timbal-balikĀ (mutual legal assistance).
Melalui program Stolen Asset Recovery (StAR) Initiatives, Indonesia sempat menjadiĀ pilot projectĀ pengembalian aset hasil kejahatan pada tahun 2007. Walaupun hasilnya belum sesuai harapan, setidaknya program StAR di Indonesia telah berkontribusi terhadap perubahan pola pikir dari para penegak hukum. Seperti diketahui, praktik penegakan hukum terhadap kejahatan keuangan sebelumnya hanya merujuk pada aktor atau tersangka kini telah beralih pada pentingnya memfokuskan prioritas upaya untuk mengikuti jejak hilangnya aset dan mengembalikannya ke dalam negara terlebih dulu (Utama, 2013).
Dengan penerapan mekanisme pengampunan ini secara tidak langsung akan menghapuskan eksistensi pidana pajak sudah bersifatĀ ultimum remedium. Faktanya, kejahatan pajak semakin hari semakin tinggi intensitasnya. Menurut Direktorat Jenderal Pajak, selama tahun 2008-2013 terdapat kurang lebih 100 kasus faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau pajak fiktif dengan potensi kerugian negara sebesar Rp 1,5 triliun.
Bahkan, Direktorat Jenderal Pajak mengakui adanya pola-pola transaksi keuangan yang terindikasi dari penjualan faktur pajak fiktif tersebut yang dapat dijerat pencucian uang. Hasil analisisĀ Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tahun 2014 juga menyebutkan sekitar 33 laporan hasil analisis terindikasi tindak pidana perpajakan berkaitan dengan kasus pencucian uang, dengan nilai lebih dari Rp 2,06 triliun.
Di saat Indonesia ingin memberikan pengampunan terhadap pelaku kejahatan perpajakan dan keuangan, justru negara tetangga Australia sangat agresif mengejar dan menindak pelaku kejahatan perpajakan. Lembaga pajak di Australia (Australian Taxation Office/AT0) merupakan institusi ketiga terbanyak yang mendapatkan laporan transaksi keuangan mencurigakan oleh lembaga intelijen keuangannya (Australian Transaction Reports and Analysis Centre atau āAustracā). Pada 2013, kerja sama kedua lembaga tersebut berhasil membongkar skandal pajak senilai AUD 750,000 yang disebutĀ āround robinā tax evasion scheme. Terhadap para tersangka dihukum membayar denda hampir AUD 1 juta dan 11 tahun penjara.
Maka, sungguh ironis ketika negara-negara lain secara global sedang gencar memerangi kejahatan perpajakan dan keuangan, pemerintah Indonesia justeru menyiapkan kebijakan pengampunan untuk para pelakunya.