Apakah Anda masih ingat pidato Presiden Jokowi yang ramai diperbincangkan warganet pada awal Agustus lalu? Ya, warganet sempat diriuhkan oleh pidato Jokowi di berbagai macam media sosial, utamanya Twitter. Tepatnya saat Jokowi memberikan sambutan secara daring dalam acara pengukuhan duta petani milenial Kementerian Pertanian, Jumat (6/8/2021). Isi dari pidato itu adalah ajakan kepada generasi milenial agar tertarik untuk menjadi petani.
“Kita harus membuat generasi muda lebih berminat menjadi petani sebab, dari total petani Indonesia sebanyak 71 persen berusia 45 tahun ke atas. Petani harus menjadi profesi yang menjanjikan dan mensejahterakan,” demikian bunyi dari pidato Jokowi (Kompas, 2021).
Berbagai macam respon warganet bertebaran atas pidato tersebut. Dari yang bernada serius hingga yang remeh temeh, jenaka. Sebagian besar netizen menolak ajakan Presiden ketujuh itu. Alasannya pun beragam. Yang paling mendominasi adalah sindirian keras netizen kepada Jokowi agar anak muda bercita-cita menjadi walikota saja, seperti putranya, Gibran, walikota Solo, bukan malah menjadi petani.
Rupanya ajakan itu bukan kali pertama yang dilakukan oleh Jokowi, tetapi sudah beberapa kali ia merajuk anak muda agar optimis menjadi seorang petani.
Hal demikian tentu menjadi penting untuk direnungkan kembali. Mengapa generasi muda sekarang tak memiliki ketertarikan untuk menjadi petani? Bukankah petani itu adalah profesi yang mulia? Bukankah negara kita dulu dijuluki sebagai negara agraris, gemah ripah loh jinawi, ijo royo-royo? Mengapa demikian?
Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2021 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, 25,59 persen tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Namun, jumah tersebut terus menurun di tengah jumlah tenaga kerja di Indonesia.
Pada tahun 2011, jumlah tenaga kerja di sektor pertanian mencapai 42,46 juta jiwa. Seiring berjalannya waktu jumlah tersebut menurun tajam hingga 38,77 juta jiwa.
Menurunnya jumlah petani di Indonesia tentu bukan tanpa sebab. Beragam alasan diyakini menjadi faktor penyebabnya. Nurhady Sirimorok dalam buku Melihat Desa dari Dekat (2019) melihat, kecenderungan anak muda untuk merantau ke kota menjadi salah satu penyebabnya.
Nurhady memberi contoh bagaimana generasi muda di Kabupaten Polewali, Mandar, Sulawesi Barat berlomba-lomba merantau, menjauh dari desanya, menuju ke negeri seberang, Malaysia.
Fenomena perginya anak desa ke kota atau bahkan ke luar negeri tentu saja tidak hanya dialami oleh anak muda Polewali. Namun, fenomena ini menjamur, bisa kita temukan di mana-mana, di desa-desa seluruh penjuru Nusantara.
Remaja muda desa itu, menurut Nurhady, kian menganggap hidup di desa dan bekerja sebagai petani adalah hidup yang tidak menjanjikan. Kini, desa menjadi tempat anak dilahirkan, tumbuh, untuk kemudian hari ditinggalkan ketika beranjak remaja atau menjelang dewasa.
Anggapan bahwa hidup di desa tidak menjanjikan tentu saja tidak keliru. Kita bisa melihat bagaimana para petani dewasa ini dibuat pontang-panting, kelabakan dengan hasil taninya. Acap kali petani tidak bisa menikmati keuntungan dari tanaman yang ia geluti.
Tak jarang petani merugi sebab harga komoditas tani anjlok. Modal produksi tani terus menanjak sedangkan harga produk tani tidak stabil atau bahkan merosot tajam. Kita bisa lihat harga cabai per 4 September 2021 merosot drastis hingga 3-4 ribu rupiah per kilogram.
Menilik kondisi demikian, tak mengherankan apabila para petani mewanti-wanti anak-anaknya agar tidak bekerja sepertinya, menjadi petani yang tak henti-hentinya diselimuti dengan ketidakpastian, jauh dari kata sejahtera. Maka itu, gelombang perginya anak muda ke kota-kota besar untuk mencari penghidupan yang layak, yang lebih baik daripada menjadi petani tak bisa dibendung.
Bagi saya, ajakan Jokowi agar milenial tertarik untuk menjadi petani sama sekali tak berdasar dan tidak serius. Mengapa demikian? Kalau saja ajakan itu serius, sudah barang tentu Pemerintah akan menyiapakan skema dan regulasi yang memihak dan dapat menyejahterakan petani. Bukan malah impor cabai di saat para petani kita sedang panen cabai secara besar-besaran.
Ironisnya, hal seperti ini tidak terjadi sekali dua kali, melainkan terjadi berulang kali. Pemerintah secara terus terang menampilkan sikapnya yang tidak pernah pro kepada para petani. Padahal, tanpa para petani kehidupan di dunia ini akan terancam, tak akan dapat berlangsung lama.
Seperti yang dikatakan pepatah, “No farmer, no food, no future”. Tak ada petani, tak akan ada makanan, dan tentu saja tak akan ada kehidupan.
Maka itu, tak salah jika warganet menganggap ajakan Jokowi ibarat mimpi di siang bolong. Dan, tak heran apabila generasi muda kita sama sekali tak menggubrisnya dan tak ada yang minat terjun menjadi petani.
Nur Kholis
Penulis lahir di Rembang, Jawa Tengah. Tulisannya telah dimuat sejumlah media. Saat ini menjadi mahasiswa di prodi KPI UIN Raden Mas Said Surakarta.
Selengkapnya baca di sini I