Uncategorized

Mengejar Ketertinggalan Global, Mungkinkan Bagi NKRI?

4 Mins read

Upaya kita mengejar ketertinggalan global dalam implementasi penelitian, acap kali terasa seperti perlombaan maraton tanpa garis finis yang jelas. Kita mungkin bisa berlari tanpa henti, mengerahkan seluruh tenaga hingga terengah-engah, namun tak sekali pun pernah merasa bahwa kita sudah cukup dekat dengan para pelari yang ada di depan sana.

Mungkin, barangkali pada saat itulah kita perlu berhenti sejenak, menarik napas jauh-jauh, dan mulai memikirkan satu pertanyaan yang mendalam tentang arah mana yang seharusnya kita lewati.

Situasi seperti itu penting untuk kita renungkan akhir-akhir ini. Mengingat narasi tentang kemajuan penelitian dan inovasi di Indonesia telah lama didominasi oleh standard-standard global, yang sering kali tidak pernah mempertimbangkan keunikan konteks lokal.

Kita selalu saja terjebak dalam pengejaran angka-angka dan peringkat yang dangkal itu. Padahal, seharusnya kita juga menyadari bahwa dalam keterjebakan, esensi penelitian, yang mestinya memberikan solusi nyata bagi permasalahan di masyarakat, justru jauh terabaikan.

Era pasca-modern nyatanya telah membawa kita pada pemilahan pengetahuan yang jauh belum pernah kita pikirkan sebelumnya. Seperti menyaksikan pergeseran paradigma dari ilmu untuk ilmu (science for science) ke ilmu untuk masyarakat (science for society). Namun, apakah dari pergeseran ini kita bisa menunjukkan secara jelas implementasi dan posisi penelitian kita?

Bahkan, hanya 4,11% dari total riset dan inovasi yang kini masih dihilirisasi dalam bentuk paten, dan 49% lainnya dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat. Itupun, dengan asumsi bahwa semua program sudah dihilirisasi, khususnya dalam bentuk abdimas yang merupakan sebuah kesatuan proyek berkelanjutan dari hulu ke hilir.

Tentu, angka-angka tersebut jika kita renungkan, akan kembali memunculkan pertanyaan, apakah kita sudah benar-benar menghasilkan pengetahuan yang berdampak bagi kehidupan masyarakat?

Fenomena obsesi terhadap peringkat universitas global hingga kini masih menciptakan apa yang Jean Baudrillard sebut sebagai simulacra. Suatu kondisi di mana sebuah realitas tampak lebih nyata ketimbang kenyataan itu sendiri.

Saat ini, mungkin kita bisa sedikit berbangga soal masuknya beberapa Perguruan Tinggi Negeri dalam QS World University Ranking. Akan tetapi, perlu kita ragukan dan pertanyakan kembali dengan sungguh-sungguh. Apakah peringkat ini sejatinya mencerminkan kualitas pendidikan dan penelitian yang dirasakan oleh mahasiswa dan masyarakat? Atau, jangan-jangan, kita hanya sedang mengejar bayangan yang semu saja, sementara pada aslinya, substansi pendidikan kita justru tertinggal?

Mengutip dari Permen Ristekdikti 42/2016, Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) juga telah menjadi standard baku dalam mengukur kematangan sebuah penelitian. Dan, apakah standard ini benar-benar mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia? Lantas, bagaimana dengan sejumlah penelitian-penelitian yang mungkin berada di luar kerangka TKT ini, namun juga memberikan dampak signifikan bagi masyarakat lokal?

Memang, tata kelola perguruan tinggi di Indonesia masih didominasi oleh model “governance top-down”. Tata kelola ini mungkin tidak terlihat begitu mengkhawatirkan jika kita melihatnya secara biasa saja. Akan tetapi, tata kelola ini dinilai sering menghambat kreativitas dan inovasi peran mahasiswa hingga akademisi.

Layaknya pohon beringin yang amat rindang, struktur birokratis seperti ini secara kasat mata sangat kokoh, namun kita perlu memastikan kembali, apakah dengan kekokohan itu, sinar matahari kreativitas mampu menyinarinya hingga sampai ke akar-akar inovasi tersebut?

Dari situ, kita tentu memerlukan model yang lebih adaptif dan kontekstual. Sehingga apa yang kita lakukan selama ini, dapat menghasilkan ide-ide segar untuk tumbuh dan berkembang.

Dalam era masyarakat jaringan pun, kolaborasi antara akademisi dan industri seolah menjadi kunci yang teramat sakral. Pasalnya, rata-rata 57,49% program studi telah melakukan perundingan kerja sama dengan para mitra sejak 2020. Namun, tentu saja angka ini masih belum cukup. Lantaran ekosistem yang kita singgahi selama ini masih jauh dari kata ideal.

Bak seperti simbiosis mutualisme di hutan hujan tropis, kita harus mengupayakan aksesibilitas yang memiliki nilai keberagaman, saling terhubung, dan saling menguntungkan satu sama lain. Sebab, kita juga sangat perlu memperkuat dan memperluas jaringan ini guna menciptakan inovasi yang benar-benar berdampak.

Namun di samping itu, identitas akademisi di era global ini juga semakin mencair. Lantaran di satu sisi, mereka mendapat tekanan akan hilirisasi penelitian untuk menghasilkan output yang terstruktur. Sementara pada sisi lainnya, ada tanggung jawab moral yang berat dalam menghasilkan pengetahuan yang relevan bagi masyarakat lokal.

Lantas, bagaimana kita dapat menyeimbangkan tuntutan global dan kebutuhan lokal ini?

Mungkin, kita bisa meniru seorang penari yang sedang menggelar pertunjukkan di seberang sana, yang mampu memadu-padankan gerakan-gerakan kontemporer dan keluwesan gerakan tradisional dari sang penari itu. Sebab, di era yang serba global ini, kreativitas dan kelenturan amat dibutuhkan.

Secara pasti, kini adalah saatnya kita mendefinisikan ulang apa itu “kemajuan” dalam konteks Indonesia. Sebab, standard-standard kemajuan yang selalu dibawa Barat mungkin saja sering tidak sesuai dengan realitas dan kebutuhan kita. Maka dari itu, kita perlu mengembangkan secara mandiri indikator kemajuan yang lebih kontekstual dan berdampak.

Beberapa indikator alternatif perlu kita pertimbangkan dengan serius. Seperti tingkat adopsi hasil penelitian oleh masyarakat lokal, kontribusi penelitian terhadap pelestarian budaya dan lingkungan, serta berbagai dampak penelitian terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Akan tetapi, dalam pertimbangan terhadap indikator-indikator ini, kita mungkin tidak akan menempati posisi di puncak peringkat global, namun kita dapat membuat penelitian-penelitian ini menjadi semakin bermakna dan berdampak nyata.

Pasalnya, barangkali kita sering lupa, bahwa dalam proses mengejar ketertinggalan global, kata “global” sejatinya bukanlah entitas yang homogen. Setiap negara, bahkan termasuk Indonesia, tentu memiliki keunikan tantangan dan potensinya sendiri.

Alih-alih kita berlari mengejar bayangan yang semu tadi, yakni standard global yang bisa jadi kurang relevan, mengapa kita tidak berusaha menciptakan jalur lari kita sendiri. Sebuah jalur yang kadang-kadang tidak selalu berjalan lurus dan mulus itu. Namun, justru inilah yang sebenarnya kita butuhkan, lantaran jalur yang kita lewati selama ini sangat jauh dari kata sesuai, jauh dari kontur lanskap sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Indonesia.

Tentunya, dekonstruksi soal narasi kemajuan penelitian ini sama sekali bukan berarti kita menolak standard global secara membabi buta. Tetapi, justru langkah ini adalah ajakan untuk kita semua agar lebih kritis dan kontekstual dalam memaknai dan mengejar kemajuan.

Yang sebenarnya, kita perlu mempertanyakan kembali apa yang selama ini kita anggap sebagai “ketertinggalan”, dan mencoba mendefinisikan kembali secara serius tentang apa itu “kemajuan”.

 

Adhitiya Prasta

Pegiat Sosial, Tim Riset SosioLab Unesa, Kontributor Media Massa, Writer.
1383 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
FeaturedUncategorized

Peran Gen Z Dalam Bisnis di Tengah Polemik Gen Z Rapuh

2 Mins read
Generasi Z atau lebih di kenal dengan sebutan Gen-Z adalah sebutan untuk orang yang lahir pada tahun 1997-2012. Dilansir dari Badan Pusat…
Uncategorized

Ketika Krisis Iklim Mengancam Warisan Kuliner Dunia

2 Mins read
Perubahan iklim tak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga warisan kuliner dunia. Di Korea Selatan, kimchi, hidangan nasional yang telah menemani masyarakat selama…
Uncategorized

Kedaulatan Rakyat Vs Kedaulatan Partai Politik

2 Mins read
Kemerdekaan Indonesia merupakan impian yang diperjuangkan dengan darah dan air mata oleh para pahlawan dan masyarakat. Perjuangan yang penuh pengorbanan ini menyimpan…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.