Pilarkebangsaan.com – Abu Ishaq al-Shirazi (w. 1083 M) adalah salah satu ulama fiqh yang amat masyhur dalam mazhab Syafi’i. Ia hidup pada abad ke-11 dan melewatkan karir intelektualnya di kota Baghdad. Ia dikenal di pesantren-pesantren NU melalui dua karyanya: “al-Muhazzab” (المهذب) dan “al-Luma’” (اللمع). Waktu masih menjadi santri di Kajen dulu, dua kitab ini sering dibaca oleh almarhum Kiai Sahal.
Al-Muhazzab adalah salah satu kitab yang sangat dihormati oleh dalam mazhab Syafi’i. Sebuah syarah atau komentar yang amat massif dan tebal ditulis atas kitab ini oleh Imam al-Nawawi (w. 1377 M), seorang ulama mazhab Syafi’i yang lain asal Syria yang dikenal melalui kitab kumpulan hadisnya: Riyad al-Salihin (رياض الصالحين). Judul syarah itu adalah “al-Majmu’.” Baik al-Syirazi maupun al-Nawawi adalah “two giants,” dua raksasa dalam tradisi intelektual yang berkembang dalam komunitas Sunni, terutama pengikut mazhab Syafi’i yang banyak berkembang di Asia Tenggara ini.
Sebutan al-Syirazi dilekatkan pada tokoh kita ini karena ia lahir di kota Firuzabad. Kota ini terletak di bagian selatan kawasan Iran saat ini dan merupakan bagian dari wilayah Syiraz. Dari kawasan ini lahir banyak ulama dan sarjana besar dalam sejarah Islam. Dari kota Firuzabad ini juga, misalnya, lahir tokoh lain yang meninggalkan warisan yang terus dikenang hingga saat ini, yaitu Majduddin al-Firuzabadi (w. 1414 M), seorang ulama yang belakangan tinggal di kota Zabid, Yaman, penulis kamus masyhur: “al-Qamus al-Muhith.” Saking masyhurnya kamus ini, begitu disebut “al-Qamus” tanpa embel-embel apapun, maka orang akan mafhum belaka: maksudnya tiada lain adalah kamus karya al-Firuzabadi itu.
Kembali kepada tokoh kita ini. Ada karya lain dari al-Syirazi, sosok yang menjadi pembahasan dalam catatan ini, yang agak kurang dikenal di pesantren, padahal pada zaman dahulu, karya ini menjadi salah satu teks penting dalam mazhab Syafi’i. Kitab itu berjudul “al-Tanbih.” Bersama al-Muhazzab, kitab ini menjadi teks ajar bagi semua ulama di zaman dahulu untuk belajar mazhab Syafi’i.
Imam Nawawi, misalnya, memulai belajar fiqh saat remaja dengan menghafal kitab al-Tanbih. Setelah selesai menghafal teks ini, ia melangkah ke “step” berikutnya: menghafal al-Muhazzab. Al-Nawawi mendedikasikan waktu yang amat panjang untuk mempelajari dua kitab ini. Kitab al-Majmu’ yang ia karang di kemudian hari dan merupakan komentar atas kitab al-Muhazzab, adalah hasil dari kerja intelektual bertahun-tahun dan “berdarah-darah.”
Sebagaimana al-Muhazzab, kitab al-Tanbih ini adalah semacam ringkasan mazhab Syafi’i, dengan pelbagai perbedaan pendapat yang ada di dalamnya. Dalam edisi modern, kitab ini terbit dengan tebal tak lebih dari 300 halaman. Al-Tanbih bisa dipandang sebagai kitab generasi awal dalam mazhab Syafi’i, dan ditulis oleh salah satu otoritas penting. Tak heran jika ia mendusuki tempat yang terhormat dalam “rak” kitab-kitab Syafi’iyyah.
Kita tahu, Imam Syaf’i meninggal pada 204 H/820 M. Sementara itu, al-Syirazi wafat pada 476 H. Dengan kata lain, ia muncul kira-kira dua abad setelah Imam Syafi’i. Al-Syirazi hidup sezaman, meski lebih muda, dengan seorang qadi besar di era Abbasiyah, yaitu Imam Abul Hasan al-Mawardi (w. 450 H) yang umumnya dikenal di kalangan anak-anak IAIN/UIN hanya melalui kitabnya tentang fikih politik, yaitu “al-Ahkam al-Sulthaniyyah.”
Sedikit ‘selingan’ tentang al-Mawardi ini: ia sebetulnya menulis kitab lain yang jauh lebih besar pengaruhnya dalam mazhab Syafi’i, yaitu “al-Hawi al-Kabir” yang bisa dianggap sebabai ensiklopedi pertama dalam mazhab Syafi’i. Para ulama Syafi’iyyah umumnya merujuk kepada kitab ini untuk mengetahui pendapat Imam Syaf’i dan ashab-nya dalam setiap masalah.
Catatan: “ashab” artinya para murid Imam Syafi’i, terutama muridnya yang bernama Isma’il ibn Yahya al-Muzani (w. 264 H) yang menulis ringkasan mazhab Syafi’i, gurunya, berjudul “Mukhtasar al-Muzani”; kitab yang terakhir inilah yang menjadi dasar al-Mawardi menulis karyanya “al-Hawi” yang sudah saya singgung sebelumnya. Bersama kitab “Nihayat al-Matlab” karya Imam al-Haramain (w., 478 H/1085 M), gurunya Imam al-Ghazali, al-Hawi karya al-Mawardi itu merupakan rujukan pokok dalam mazhab Syafi’i.
Kedua ensiklopedi mazhab ini di kemudian hari akan diringkaskan oleh al-Ghazali dalam karyanya yang amat penting dalam bidang fiqh, yaitu “al-Basith.” Karya al-Ghazali ini, pada perkembangan lebih lanjut, akan melahirkan kitab-kitab turunan yang populer di pesantren-pesantren NU, seperti “Tuhfat al-Muhtaj” karya Ibn Hajar al-Haitami (w. 974 H/1566 M), “Mughni al-Muhtaj” karya al-Khathib al-Syirbini (w. 977 H/1570 M) atau “Nihayat al-Muhtaj” karya Syams al-Din al-Ramli (w. 1004 H).
Kembali kepada karya al-Syirazi tadi: jika kita baca kitab al-Tanbih, akan terasa sekali bahwa kitab ini, walaupun semacam ringkasan dari mazhab Syafi’i, masih memuat sejumlah pendapat dalam mazhab Syafi’i. Keragaman pendapat masih tercermin dalam kitab tersebut.
Ini akan tampak kontras dengan kitab-kitab fikih Syafi’i yang ditulis belakangan, misalnya kitan Taqrib, Tahrir atau Fath al-Mu’in yang banyak dibaca di pesanteren NU hingga saat ini. Kitab-kitab generasi akhir seperti ini memiliki ciri menonjol: keragaman pendapat sudah jarang ditampilkan, menandakan bahwa mazhab sudah mengalami konsolidasi dan pemantapan.
Salah satu contoh perbedaan pendapat bisa kita baca dalam bab pembuka, tentang “thaharah” atau bersuci — bab yang selalu menjadi “gambit” pembuka semua literatur fikih. Misalnya, dalam hal jatuhnya najis kedalam sebuah bejana berisi air yang kurang dari “qullatain” (dua kulah; kira-kira 170 liter). Dalam pendapat yang dominan sebagaimana termuat dalam literatur fikih Syafi’i generasi belakangan, ketika sesuatu yang najis “kecemplung” ke dalam air yang demikian itu, ia (maksudnya: air itu) akan berubah menjadi najis, dan karena itu tak boleh dipakai untuk bersuci, misalnya: berwudu.
Sementara itu, dalam al-Tanbih, kita akan membaca penjelasan lebih rinci sebagai berikut. Jika najis itu adalah sesuatu yang secara kuantitas sangat kecil sehingga tak tak terlihat oleh mata, maka, kata al-Syirazi, ada perbedaan pendapat: Sebagian “qaul” (pendapat) mengatakan, air kurang-dari-dua-kulah itu menjadi najis; sebagian qaul lain, tidak najis.
Jika najis itu tampak oleh mata, tetapi ia berupa bangkai serangga yang darahnya tidak mengalir, dan jatuh ke dalam air-kurang-dari-dua-kulah, ada dua “qaul” juga: najis dan tidak najis. Pendapat yang menyatakan “tidak najis” ini, kata al-Syirazi, adalah “al-aslahu lin-nas,” yang paling bermaslahat bagi kebanyakan orang. Jika sesuatu yang najis itu tampak oleh mata, dan bukan serangga semacam itu, ia akan menjadikan najis air-kurang-dari-dua-kulah tersebut. Dalam hal yang terakhir ini, tak ada perbedaan pendapat.
Para ulama Syafi’iyah seperti al-Syirazi inj, biasanya, menggunakan sejumlah teknis untuk mengungkapkan adanya keragaman pendapat dalam mazhab. Contoh berikut ini adalah sekedar untuk ilustrasi. Istilah “qaul, ” misalnya, merujuk kepada pendapat pendiri mazhab, yaitu Imam Syafi’i. Sementara “wajh” (وجه) merujuk kepada pendapat “ashab” alias murid-murid Imam Syafi’i. Setiap mazhab, biasanya, mengembangkan istilah-istilah khusus dengan pengertian khusus pula. Jika tak familiar dengan istilah-istilah semacam ini, kita bisa “tersesat” dan kebingungan dalam memahami kitab-kitab mazhab.
Kiai Sahal, dan juga ayah saya, Kiai Abdullah Rifa’i, menulis kitab khusus untuk menjelaskan istilah-istilah teknis semacam ini. Kitab Kiai Sahal berjudul “al-Tsamarat al-Hajiniyyah fi al-Isthilahat al-Fiqhiyyah.” Waktu saya masih belajar di madrasah Mathali’ul Falah di Kajen, Pati, kitab ini masih diajarkan. Sementara ayah saya menulis kitab bertema serupa dengan judul “Zad al-Mutafaqqih.”