Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh Al-Farabi, di dunia Barat dikenal dengan nama Alpharabius. Seorang ulama besar kelahiran Wasij, wilayah Farab (sekarang masuk daerah Kazakhstan).
Al-Farabi lahir pada tahun 257 H (870 M), ayahnya berkebangsaan Persia, ibunya berkebangsaan Turki. Karena memiliki keturunan dari dua jalur bangsa yang berbeda ini, terdapat dua teori tentang garis keturunan Al-Farabi.
Teori pertama menyatakan bahwa Al-Farabi merupakan keturunan bangsa Persia murni, sebagian teori kedua menyatakan bahwa Al-Farabi adalah keturunan orang Turki.
Namun, terlepas dari kontroversi jalur keturunan Al-Farabi, para peneliti sejarah meyakini bahwa hampir seluruh masa hidup Al-Farabi dihabiskan di kota Baghdad.
Al-Farabi dikenal luas sebagai seorang filsuf besar muslim yang masih disegani di dunia hingga saat ini. Dia juga memiliki berbagai karya di berbagai disiplin keilmuan seperti bidang psikologi, fisika, matematika, kimia, seni musik, matematika, serta ilmu politik dan ketatanegaraan.
Dari sekian banyak karya-karya Al-Farabi yang masih bisa diakses hingga saat ini, setidaknya ada tiga karya yang merekam tentang pandangan serta teori-teorinya dalam bidang politik dan ketatanegaraan, yaitu: Kitab As-Siyasat Al-Madaniyyah (Buku tentang Kebijakan-Kebijakan Sipil), Ara’ Ahli Al-Madinah Al-Fadhilah (Pandangan-Pandangan Penduduk Kota/Negara Utama), dan juga Tahsil As-Sa’adah (Mencapai Kebahagiaan).
Al-Farabi, dalam masa hidupnya, cukup dipengaruhi oleh tradisi neo-aristotelian, begitu juga pendapatnya tentang asal terbentuknya negara. Dia juga berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya sendiri, dan karena itu manusia secara alami cenderung akan membentuk masyarakat.
Pengaruh pemikiran Plato juga terlihat dalam pembagian kinerja masyarakat dalam pandangan Al-Farabi. Dia berpendapat bahwa negara ibarat sebuah tubuh manusia. Ada organ-organ tubuh yang sangat vital seperti otak dalam kepala dan jantung, yang mana saat keduanya kehilangan fungsi, maka tubuh akan mati, namun juga ada anggota-anggota badan yang sifatnya menyokong fungsi anggota badan yang lain agar fungsinya maksimal.
Begitu pula dalam struktur negara, terdapat golongan masyarakat yang memiliki potensi kerja untuk menjadi komponen-komponen utama dalam sebuah masyarakat, seperti menjadi soeorang pemimpin (golongan ini menempati kelas tertinggi dalma masyarakat), lalu terdapat berbagai potensi kerja masyarakat yang bersifat mendukung para pemimpin yang menempati peringkat nomor dua, dan seterusnya hingga pada level yang paling bawah. Konsep pembagian masyarakat seperti ini cukup identik dengan konsep potensi kerja milik Plato dalam karyanya, Republik.
Dalam konsep kepemimpinan, Al-Farabi berpendapat bahwa orang yang paling layak memimpin sebuah negara yang ideal (negara utama) adalah orang yang paling utama dari golongan potensi kerja yang paling tinggi, lalu dibantu oleh sekelompok orang yang sama-sama dari golongan tertinggi tersebut. Dan jika ditemui lebih dari satu orang dalam golongan peringkat tertinggi yang layak menjadi seorang pemimpin, maka dipilih salah satu, dan yang lain menunggu giliran setelahnya.
Menurut Al-Farabi, kepala negara harus ada terlebih dahulu sebelum rakyat, dengan dalih bahwa jantung -dalam tubuh manusia- adalah sebab adanya kekuatan untuk dapat melakukan perbuatan, begitu pula dalam negara, kepala negara harus ada dahulu baru kemudian mengatur warga negaranya.
Kepala negara, menurut Al-Farabi juga berhak untuk menentukan wewenang, hak dan kewajiban, serta strata potensi kerja dari setiap warga negara, sehingga jika ada warga negara yang menghambat roda sistem pemerintahan (diibaratkan seperti sebuah benalu), maka kepala negara berhak menyingkirkannya.
Al-Farabi mengkategorikan sebuah negara berdasar pada “tingkat kebahagiaan” serta usaha untuk mewujudkan tingkat kebahagiaan tersebut.
Negara yang paling utama menurutnya adalah negara yang seluruh potensi kerjanya berjalan dengan baik dan sesuai porsinya masing-masing. Ibarat sebuah tubuh, Negara Utama adalah tubuh yang benar-benar sehat seluruh anggota badannya, dan memiliki tujuan untuk meraih kebahagiaan.
Satu tingkat di bawah Negara Utama adalah Negara Bodoh, yaitu negara yang warga negaranya tidak tahu sama sekali tentang kebahagiaan, bahkan terbayang tentang kebahagiaan saja tidak, sehingga jika diarahkan menuju kebahagiaan, mereka akan menolak.
Lalu satu tingkat di bawahnya lagi adalah Negara Rusak, yaitu negara yang memiliki tujuan kebahagiaan, namun tidak mampu menggerakkan seluruh potensi kerja warganya untuk menuju tujuannya, karena warga negaranya berperilaku seperti pada negara bodoh.
Kemudian terdapat Negara Merosot, yaitu negara yang awalnya sudah merupakan negara utama, tetapi merosot ke peringkat di bawahnya. Lalu terdapat Negara Sesat, yaitu negara yang tidak mampu menggerakkan potensi kerja, namun pemimpin negara tersebut seolah-olah membawa menuju kebahagiaan.
Selanjutnya terdapat istilah “rumput-rumput jahat” pada level yang paling rendah, yaitu sekelompok orang yang hanya menjadi “pengganggu” terhadap kemajuan dan tujuan negara-negara di sekitarnya.
Konsep-konsep yang ditawarkan oleh Al-Farabi terlihat seperti sebuah anti-tesis terhadap keadaan pada masa tersebut. Bahkan, bisa dikatakan dia tidak sedang merekam pemikiran-pemikiran politik dan ketatanegaraan yang berjalan pada masa tersebut, namun Al-Farabi sedang menawarkan konsep filsafat ilmu politik dan ketatanegaraan yang benar-benar baru pada masa tersebut.
Hal ini amat mungkin terjadi karena ia hidup di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyyah sedang diguncang oleh berbagai pihak. Pada masa hidupnya (870 M – 950 M), kurang lebih terdapat 8 pergantian kepala negara.
Pada masa tersebut stabilitas politik juga terguncang karena adanya berbagai pemberontakan. Pada masa-masa tersebut, cukup banyak para keturunan wilayah-wilayah taklukan Abbasiyyah mencoba mengambil alih kembali kekuasaan di masing-masing wilayah, seperti orang-orang Persia dan orang-orang https://pilarkebangsaan.com/anregurutta-kali-sidenreng-ulama-kharismatik-dari-sulawesi-selatan/Turki.
Orang-orang yang mencoba merebut kembali kekuasaan di wilayah nenek moyangnya, pada masa tersebut biasanya bekerjasama dengan golongan Syiah yang masih meyakini bahwa kepemimpinan politik umat Islam pada masa tersebut haruslah melalui jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Al-Farabi, meski memiliki gagasan besar tentang negara ideal, termasuk bukan ilmuwan bidang politik yang menjadi “pegawai” pemerintah, tidak pula sebagai orang dekat pemerintahan pada masanya.
Gagasan-gagasan tentang negara ideal Al-Farabi sangat dipengaruhi oleh pertemuan pemikirannya dengan tradisi pemikiran Plato–Aristoteles, dan juga nihilnya stabilitas politik. Tidak masuknya dia dalam struktur pemerintahan pada masa tersebut dianggap memiliki keuntungan baginya. Karena dengan itu, ia bebas menyatakan gagasannya tentang negara yang ideal beserta perangkat-perangkat masyarakatnya.
Dan hal ini jugalah yang menjadikan pembahasan dalam berbagai karya Al-Farabi lebih bersifat filosofis tentang teori-teori politik dan ketatanegaraan, daripada bersifat praktis tentang tata kelola pemerintahan secara langsung.
Al-Farabi meninggal pada tahun 328 H (950 M), pada masa pemerintahan Al-Muthi’, penguasa ke-23 Dinasti Abbasiyyah.
Asal Purworejo, Jawa Tengah