PENDIDIKAN nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ironisnya, Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dihilangkan dari kurikulum.
Ada 10 kurikulum wajib untuk pendidikan dasar dan menengah yang diatur dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan. Tidak ada PMP, hanya ada Pendidikan Kewarganegaraan. Akan tetapi, pendidikan kewarganegaraan tidak wajib di perguruan tinggi.
Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Alangkah eloknya Pendidikan Pancasila dijadikan pelajaran khusus mulai jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Pentingnya PMP dihidupkan lagi justru disuarakan Generasi Z kelahiran 1996-2012. Suara generasi muda itu terekam dalam hasil survei Indikator Politik Indonesia. Berdasarkan hasil survei itu, sebanyak 49,4% dari 1.200 responden yang disurvei pada 4-10 Maret menilai Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) atau PMP sangat perlu untuk kembali menjadi pelajaran di semua jenjang pendidikan.
Aspirasi generasi muda itu sesungguhnya sejalan dengan keinginan pemerintah yang ingin menghidupkan lagi PMP. Jika PMP diajarkan kembali, siswa jangan dipaksa menghafal butir-butir Pancasila seperti di zaman Orde Baru. Siswa harus mampu memahami, memaknai, dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Pancasila hendaknya menjadi dasar hidup yang menyatukan seluruh rakyat Indonesia meskipun berbeda latar belakang, adat istiadat, agama, budaya, serta suku.
Sebagai ideologi bangsa, Pancasila mestinya terpatri sebagai falsafah hidup bagi seluruh rakyat, bukan sekadar simbolisme dan naskah usang yang dianggap kehilangan pijakan kontekstualnya.
Kealpaan memahami secara utuh atas Pancasila itulah yang membuat ideologi lain mudah merongrong dan menginfiltrasi bangsa ini. Hal itu juga memunculkan fenomena sosial yang menggambarkan pudarnya rasa kebangsaan dan integritas nasional yang ditunjukkan para elite hingga pada masyarakat bawah yang cenderung mudah tersulut dan terprovokasi.
Kini, eksistensi Pancasila kembali ditagih. Pancasila dianggap menjadi kebutuhan utama saat ini, khususnya dalam rangka merawat persatuan dan keutuhan bangsa yang dilandaskan pada sikap toleransi dan kebinekaan. Nilai-nilai universal kebangsaan dinilai sangat penting sebagai fondasi jati diri bangsa di tengah era globalisasi.
Sudah saatnya Pancasila masuk kurikulum. Tidak cukup dengan pendidikan kewarganegaraan yang lebih menekankan agar masyarakat taat hukum sebagai warga negara. Disorientasi pendidikan itulah yang pada akhirnya membuat pemahaman dan implementasi nilai-nilai Pancasila dikesampingkan dari kurikulum turunannya.
Intoleransi dan radikalisme menemukan celahnya untuk merongrong realitas sosial masyarakat Indonesia. Tentu, jika bangsa ini tidak mau dikuasai sikap intoleransi, radikalisme, dan demagogi kebencian berdasarkan SARA, suara anak muda yang terekam lewat survei Indikator patut didengar dan direspons secepatnya. Jangan ditunggu-tunggu lagi, lakukan saat ini juga.
Pengajaran Pancasila harus dibangun di atas konsep pembelajaran lebih bersifat pemahaman, bukan sekadar pengetahuan. Mengestafetkan roh Pancasila disesuaikan dengan zamannya lewat ruang aplikatif, kreatif, dan inovatif. Bukan dengan gaya indoktrinasi.
*Editorial Media Indonesia Selasa, 23 Maret 2021