Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 menyuguhkan dinamika politik yang mencerminkan perubahan tren diskursus dalam kontestasi elektoral. Salah satu yang mencolok adalah redupnya diskursus dikotomi sipil-militer, yang sebelumnya menjadi tema sentral pada berbagai pemilihan di era sebelumnya. Isu yang pernah mendominasi survei dan wacana publik kini bergeser ke pinggir, digantikan oleh isu-isu politik identitas dan politik aliran yang kian menguat.
Dalam sejarah politik Indonesia, dikotomi sipil-militer sering menjadi salah satu ukuran penting dalam preferensi pemilih. Survei pada masa lalu, seperti yang dilakukan oleh Lembaga Klimatologi Politik (LKP) pada 2013, menunjukkan bahwa 40,5% masyarakat lebih memilih tokoh militer sebagai pemimpin dibandingkan tokoh sipil (21,4%), sementara sisanya tidak mempermasalahkan latar belakang kandidat. Preferensi ini juga tercermin dalam beberapa survei terhadap nama-nama berlatar belakang militer, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, dan Djoko Suyanto, yang pernah meraih popularitas tinggi dalam bursa calon pemimpin nasional.
Namun, menjelang Pilkada 2024, wacana ini tampaknya kehilangan relevansi. Kandidat dari latar belakang militer yang telah bertransformasi menjadi tokoh sipil dianggap setara dengan tokoh sipil lainnya. Dalam konteks ini, perhatian publik beralih ke dinamika politik identitas yang lebih kompleks dan beragam.
Dalam Pilkada 2024, politik identitas dan aliran menjadi narasi utama yang memengaruhi dinamika elektoral. Fenomena ini ditandai oleh empat tren utama:
- Menguatnya Peran Kelompok Identitas
Kelompok keagamaan, khususnya ulama, kembali menjadi alat tawar politik yang kuat. Pemilihan tokoh-tokoh berpengaruh sebagai calon kepala daerah atau pendukung utama menjadi strategi umum untuk menarik simpati pemilih. - Penguatan Organisasi Massa Keagamaan
Organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sering menjadi pendukung strategis dalam Pilkada. Selain itu, kelompok berbasis alumni seperti Presidium Alumni 212 juga memainkan peran signifikan, terutama dalam mendukung kandidat yang dianggap merepresentasikan aspirasi umat Islam. - Isu Lama yang Bangkit Kembali: PKI dan Politik Aliran
Isu tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sering digunakan sebagai alat propaganda kembali mencuat dalam kampanye politik. Politik aliran, sebagaimana dipahami melalui teori Soekarno tentang Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme), menjadi senjata untuk mendiskreditkan lawan politik. - Menguatnya Isu Politik Identitas Etnis
Isu yang menyasar identitas etnis tertentu, khususnya etnis Tionghoa, juga kembali muncul. Meskipun kandidat yang berlatar belakang etnis ini jarang terlihat, narasi negatif sering kali digunakan sebagai bagian dari strategi menjatuhkan lawan politik.
Menguatnya politik identitas dan aliran dalam Pilkada 2024 menghadirkan risiko besar bagi keutuhan bangsa. Indonesia adalah negara yang dibangun di atas fondasi keberagaman. Politisasi identitas berpotensi memperdalam sekat-sekat sosial dan memicu konflik horizontal di masyarakat.
Selain itu, pudarnya ideologi partai politik sebagai mesin utama kampanye juga menjadi tantangan. Media sosial sebagai ruang publik baru memungkinkan politisasi yang lebih masif dan cepat. Akibatnya, narasi negatif dan hoaks lebih mudah tersebar tanpa kontrol yang memadai.
Dalam menghadapi Pilkada 2024, menghentikan politisasi identitas dan aliran adalah tugas bersama. Kontestasi politik harus tetap dalam koridor persatuan dan integrasi nasional. Jika dibiarkan, dominasi politik identitas berisiko mengoyak fondasi kokoh NKRI yang telah terbangun. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mengedepankan etika politik yang inklusif, rasional, dan menjunjung tinggi kebhinekaan sebagai nilai dasar bangsa.