Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, melainkan landasan persatuan di tengah keberagaman suku, agama, dan budaya. Moderasi beragama, dengan esensinya yang mengedepankan toleransi, dialog, dan harmoni, menjadi fondasi penting untuk menjaga keutuhan semboyan tersebut. Kisah Wandaruni Iha dan Fifin Iba, dua mahasiswa Papua yang mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Moderasi di Cigugur, Kuningan, adalah refleksi nyata dari bagaimana moderasi beragama mengokohkan Bhinneka Tunggal Ika dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Fifin, meskipun sempat merasa demam panggung saat memperkenalkan diri dengan bahasa daerah, menerima dukungan luar biasa dari peserta lain yang berbeda latar belakang. Wandaruni, dengan latar belakang keluarga lintas budaya dan agama, menunjukkan bagaimana perbedaan dapat menjadi kekuatan, bukan ancaman. Kisah mereka adalah miniatur indah dari kehidupan masyarakat Indonesia, di mana perbedaan dapat dirayakan, bukan dipertentangkan.
Moderasi beragama tidak hanya berarti hidup berdampingan secara damai, tetapi juga memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari takdir ilahi. Seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13, Allah menciptakan manusia berbeda-beda agar saling mengenal, belajar, dan menghargai. Filosofi ini terpatri dalam kehidupan masyarakat Cigugur yang menghidupkan nilai silih asah, silih asih, silih asuhāsaling membantu, mengasihi, dan mendidik.
Pitutur ini menciptakan harmoni tidak hanya antarindividu, tetapi juga antara manusia dan alam, serta manusia dengan Sang Pencipta. Dalam konteks yang lebih luas, moderasi beragama memupuk solidaritas sosial dan menjadi jawaban atas ancaman fragmentasi akibat fanatisme dan intoleransi.
Indonesia, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tidak dibangun atas dasar keseragaman, melainkan harmoni keberagaman. Moderasi beragama menjadi jalan untuk memastikan bahwa keberagaman ini tidak berubah menjadi konflik. Filosofi satu tungku tiga batu di Fakfak, Papuaāyang mengajarkan hidup bersama antara umat Islam, Protestan, dan Katolikāadalah contoh nyata bagaimana keberagaman keyakinan dapat berjalan dalam harmoni.
Hal ini juga terlihat di PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri) yang sarat dengan keberagaman sejarah, karakter, dan tantangan. Penyeragaman di institusi semacam ini hanya akan menciptakan hambatan dan merusak potensi, sementara pengelolaan keberagaman secara moderat justru akan memperkuat integritas lembaga dan bangsa.
Menguatkan Bhinneka Tunggal Ika lewat moderasi beragama bukan hanya tentang menjaga harmoni, tetapi juga memastikan keberlanjutan persatuan bangsa di tengah ancaman radikalisme dan intoleransi. Moderasi adalah jalan tengah yang melindungi Indonesia dari ekstrimisme, baik dalam bentuk kekerasan agama maupun sekularisme yang berlebihan.
Pendidikan moderasi beragama, seperti yang dilakukan dalam program KKN Moderasi, harus diperluas agar semakin banyak generasi muda memahami dan mempraktikkan nilai-nilai toleransi. Dengan begitu, moderasi tidak hanya menjadi konsep, tetapi juga kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Kisah Wandaruni dan Fifin adalah pengingat bahwa moderasi beragama bukanlah hal asing bagi bangsa Indonesia. Ia adalah bagian dari kearifan lokal yang telah lama hidup di tengah masyarakat. Namun, kearifan ini harus terus dikelola, dirawat, dan dikembangkan agar tidak tergerus oleh perubahan zaman.
Melalui moderasi beragama, kita dapat menjaga identitas bangsa sekaligus memastikan bahwa Bhinneka Tunggal Ika tetap menjadi pijakan kuat untuk menghadapi tantangan global. Moderasi bukan hanya jembatan menuju harmoni, tetapi juga benteng yang melindungi bangsa dari perpecahan. Mari bersama-sama menguatkan moderasi beragama, sebagai kunci menjaga persatuan di tengah keberagaman Indonesia.
Kebhinekaan dan Moderasi sebagai Core Islam
Islam, sebagai agama rahmatan lilāalamin, menjadikan kebhinekaan dan moderasi sebagai inti dari ajarannya. Sejak awal, Islam mengakui keberagaman manusia dalam suku, bangsa, dan agama sebagai realitas yang dikehendaki Allah. Firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 menegaskan bahwa manusia diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal dan membangun harmoni. Pesan ini menempatkan kebhinekaan bukan sebagai hambatan, melainkan sebagai modal sosial untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Moderasi dalam Islam (wasathiyyah) adalah sikap jalan tengah yang menghindari ekstremisme, baik dalam bentuk fanatisme keagamaan maupun sikap liberal tanpa batas. Moderasi adalah jalan ideal yang mencerminkan keadilan, keseimbangan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai universal. Dengan kata lain, Islam tidak hanya mengajarkan toleransi, tetapi juga mendorong inklusivitas dan penghargaan terhadap kebhinekaan.
Keberagaman yang diakui dalam Islam bukan hanya sebatas identitas budaya atau keyakinan, tetapi juga cara pandang terhadap kehidupan. Rasulullah SAW, dalam kehidupan sehari-harinya, memberikan teladan bagaimana beliau membangun masyarakat yang menghormati kebhinekaan. Di Madinah, beliau memimpin masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok agama dan etnis melalui Piagam Madinah, yang menjadi model hidup berdampingan di tengah perbedaan.
Islam juga mendorong kebhinekaan dalam pemahaman ilmu dan ijtihad. Dalam sejarahnya, kita melihat bagaimana perbedaan mazhab dan pandangan menjadi kekayaan intelektual yang tidak melemahkan Islam, melainkan justru memperkuatnya. Dengan memahami perbedaan sebagai rahmat, umat Islam dapat belajar untuk hidup dalam harmoni tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Di tengah ancaman ekstremisme dan radikalisme, moderasi menjadi solusi untuk mengokohkan nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Islam wasathiyyah mengajarkan umat untuk tidak bersikap berlebihan dalam memahami agama maupun menjalani kehidupan dunia. Dalam konteks kebangsaan, moderasi beragama adalah jembatan untuk mempertemukan perbedaan, baik dalam keyakinan maupun pandangan politik, tanpa menimbulkan konflik.
Moderasi dalam Islam juga menekankan pentingnya dialog sebagai metode utama dalam menyelesaikan perselisihan. Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk berdialog dengan hikmah dan cara yang baik (QS. An-Nahl: 125). Ini menegaskan bahwa Islam tidak membenarkan pemaksaan dalam agama atau kekerasan sebagai jalan menyebarkan keyakinan.
Indonesia adalah laboratorium ideal untuk mempraktikkan kebhinekaan dan moderasi Islam. Dengan lebih dari 300 etnis, 700 bahasa daerah, dan beragam agama, Indonesia memiliki tantangan sekaligus peluang untuk menjadikan Islam sebagai perekat kebangsaan. Kebhinekaan dan moderasi Islam menjadi kunci dalam menjaga harmoni di tengah ancaman radikalisme transnasional yang kerap memanfaatkan perbedaan untuk memecah belah masyarakat.
Moderasi yang diajarkan Islam dapat menjadi pegangan dalam memperkuat Bhinneka Tunggal Ika. Dengan menjunjung tinggi toleransi, keadilan, dan dialog, umat Islam Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bagaimana Islam dapat hidup berdampingan dengan berbagai agama dan budaya dalam satu negara.
Kebhinekaan dan moderasi bukan hanya nilai tambahan dalam Islam, tetapi adalah inti dari ajarannya. Islam mengajarkan umatnya untuk menghargai keberagaman sebagai kehendak ilahi dan menjadikan moderasi sebagai jalan hidup yang mendamaikan. Di Indonesia, kedua nilai ini dapat menjadi dasar untuk memperkuat persatuan dan menciptakan bangsa yang adil, sejahtera, dan harmonis.
Mari kita jadikan kebhinekaan dan moderasi sebagai pegangan untuk menghadapi tantangan zaman. Dengan begitu, Islam dapat terus menjadi rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.