Di tengah derasnya arus informasi dan kompleksitas tantangan era digital, kesehatan mental generasi Z menjadi sorotan yang tidak bisa diabaikan. Fenomena kecemasan, depresi, dan berbagai gangguan psikologis yang meningkat di kalangan remaja digital native mengindikasikan urgensi penguatan peran Bimbingan Konseling (BK) di institusi pendidikan.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) oleh Kementerian Kesehatan tahun 2023 menunjukkan sebanyak 6,1 % penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan kesehatan mental. Survei nasional juga menunjukkan, per-Januari 2024, sudah ada 5,04 miliar pengguna media sosial secara global. Nilai tersebut setara dengan 62,3% populasi dunia. Apabila diteliti lebih lanjut, jumlah pengguna media sosial di Januari 2024 ini bertambah 75 juta users, naik 1,5% dibandingkan kuartal 4 2023. dimana 45% di antaranya melaporkan mengalami cyberbullying dan 38% menunjukkan gejala kecemasan sosial.
Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997-2012, memiliki karakteristik unik sebagai generasi yang sangat terhubung secara digital namun rentan secara emosional. Mereka cenderung multitasking, memiliki attention span pendek, dan sangat bergantung pada validasi sosial melalui platform digital. Kondisi ini diperburuk dengan minimnya literasi kesehatan mental dan akses terhadap layanan konseling yang memadai, dimana rasio konselor dan siswa di Indonesia masih jauh dari ideal (1:570 berbanding standar ideal 1:250).
Transformasi peran BK dari sekadar “penyelesai masalah” menjadi garda terdepan dalam pemeliharaan kesehatan mental siswa menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditunda. Dampak nyata dari lemahnya sistem dukungan kesehatan mental terlihat dari meningkatnya kasus bunuh diri remaja sebesar 15% dalam dua tahun terakhir, sementara sampai pertengahan Agustus 2024, angka bunuh diri di Indonesia tercatat 849 kasus, serta 27% penurunan prestasi akademik yang berkorelasi dengan masalah kesehatan mental. Melalui pendekatan yang holistik dan adaptif terhadap karakteristik generasi Z, penguatan peran BK dapat menjadi katalisator dalam membangun ketahanan mental siswa menghadapi kompleksitas tantangan era digital.
Tantangan Kesehatan Mental di Era Digital, menurut saya, tidak bisa dipungkiri bahwa anak-anak zaman sekarang sangat bergantung pada gadget dan media sosial. Mereka seolah tidak bisa lepas dari dunia digital, bahkan untuk urusan belajar pun selalu mengandalkan internet.
Saya masih sering melihat anak-anak remaja sekarang yang mengalami kecemasan berlebih karena takut ketinggalan update di media sosial atau yang biasa disebut FOMO. Belum lagi masalah perundungan di dunia maya yang semakin marak terjadi. Anak-anak zaman jadi mudah stres dan depresi karena terus membandingkan diri dengan “kesempurnaan” yang mereka lihat di media sosial. Data menunjukkan remaja sekarang bisa menghabiskan 7 jam lebih untuk bermain gadget – waktu yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lebih produktif.
Pentingnya Pembaruan Layanan BK, saya melihat bahwa cara-cara lama dalam BK sudah tidak cukup efektif untuk menangani masalah remaja masa kini. Dulu, siswa masih mau datang ke ruang BK untuk curhat. Sekarang? Mereka lebih nyaman curhat di media sosial atau aplikasi chat.
Karena itu, menurut saya, konselor sekolah harus berbenah. Sekolah perlu mengembangkan program yang sesuai dengan kebutuhan mereka, misalnya konseling online atau program pencegahan berbasis media sosial. Guru BK juga harus meningkatkan kemampuan digital mereka agar bisa memahami dunia siswa. Yang terpenting, kita harus membangun sistem yang bisa mendeteksi masalah kesehatan mental sejak dini.
Menurut pendapat saya, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat peran BK. Pertama, sekolah bisa membuat sistem konseling yang lebih modern, misalnya melalui aplikasi chat khusus untuk konseling. Kedua, sekolah bisa melatih beberapa siswa untuk menjadi konselor sebaya, karena biasanya remaja lebih terbuka dengan teman seusianya. Ketiga, guru BK perlu terus belajar tentang masalah kesehatan mental di era digital. Yang tidak kalah penting, sekolah harus melibatkan orang tua dan guru-guru lain untuk sama-sama mendukung kesehatan mental siswa.
Sebagai penguat simpulan, saya menegaskan kembali bahwa penguatan peran BK di era digital bukan hanya sekedar tuntutan perkembangan zaman, tetapi merupakan kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan kesehatan mental generasi Z. Tidak bisa dipungkiri, cara-cara konvensional dalam BK sudah tidak sepenuhnya efektif menghadapi tantangan digital yang semakin kompleks. Sudah waktunya mengalokasikan anggaran khusus untuk modernisasi layanan BK, termasuk pengembangan platform konseling digital dan pelatihan konselor. Ingat, lebih baik mencegah daripada mengobati – inilah saat yang tepat untuk bertindak nyata demi masa depan generasi Z yang lebih sehat mental.
Sekar Ghita Rarasati dan Prof. Dr. Andayani, M.Pd.