Featured

Mengurut Pencatutan Nama Sejarawan Peter Carey di ‘Jejak Khilafah’

4 Mins read

Beberapa tahun lalu, diselenggarakan acara peluncuran film berjudul Jejak Khilafah di Nusantara. Film itu dibuat oleh Nicko Pandawa, bekas aktivis mahasiswa Gema Pembebasan UIN Jakarta.

Di dalam poster acara, disebutkan beberapa orang yang menjadi panelis. Selain Nicko, ada pula mantan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto, mantan Ketua DPP HTI Rokhmat S. Labib, dan Felix Siauw.

Beberapa nama juga tercantum sebagai panelis tamu seperti Teuku Zulkarnaen, Mizuar Mahdi, Alwi Alatas, Moeflich Hasbullah, dan sejarawan yang lebih dari 40 tahun meneliti Perang Jawa (nama lain Perang Diponegoro) sekaligus guru besar emeritus Trinity College, Oxford, Peter Carey.

Peter protes. Ia merasa panitia tak pernah meminta izin–mekanisme standar yang semestinya tak perlu diingatkan lagi oleh penyelenggara acara apa pun.

“Itu tidak bisa diterima. Itu murni pencatutan nama untuk penerbitan salah satu film yang belum diputarkan kepada saya, belum diberitahu kepada saya lebih dulu,” kata Peter.

Ia mengaku memang pernah diwawancarai sekitar enam bulan lalu, sebelum pandemi meluas di Indonesia. Ketika itu ia diminta untuk memberikan pandangan tentang Pangeran Diponegoro sebagai seorang muslim saat memimpin perang. Cuplikan wawancara pembuat film dan Peter itu muncul di dalam film (menit ke-59).

“Biasanya jika ingin membuat dan meluncurkan suatu film, saya akan diberi lima menit trailer atau sinopsis terlebih dahulu. Ini tidak sama sekali,” katanya.

Dalam wawancara itu Peter menjelaskan fakta sejarah tentang apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh Pangeran Diponegoro sehubungan dengan Kerajaan Utsmaniyah. Ia juga menjelaskan tentang apa yang diketahui oleh orang Turki Utsmani mengenai Diponegoro dan Perang Jawa.

“Menurut saya, tidak terbukti ada semacam kongkalikong dengan Turki Utsmani. Dari pihak Turki Utsmani, sama sekali tidak ada bukti nama Diponegoro untuk masuk pertimbangan ditolong di tanah Jawa [ketika] sedang berjuang melawan kolonialisme Belanda. Tak ada arsip yang ada di Ankara, di Istanbul, tidak ada memuat nama Diponegoro atau Perang Jawa,” kata Peter.

Di sisi lain, memang benar ada pandangan Diponegoro tentang Kerajaan Utsmaniyah. Hal tersebut menurutnya wajar dengan pertimbangan kerajaan tersebut tengah melawan kolonialisme Eropa di Timur Tengah, sebagaimana Diponegoro di Jawa. “Namun itu hanya kekaguman saja. Hanya romantisasi,” katanya.

Ia lantas menjelaskan bahwa benar kalau Diponegoro menganggap penting agama. Bahkan di dalam Babad Diponegoro, naskah kuno yang ditulis langsung oleh Diponegoro, ia mengaku Wali Songo-lah teladannya.

Namun, meski menganggap agama iu penting, tapi yang perlu ditegaskan adalah Diponegoro “bukan seorang Wahabi, bukan seorang Taliban, dia bukan seorang radikal di dalam agama.”

Peter mengaku kecewa kepada si pembuat film. Ia merasa kepakarannya di dalam studi Diponegoro dimanfaatkan oleh si pembuat film untuk melegitimasi pandangannya tentang khilafah di Indonesia–kendati terkesan dipaksakan. “Pencatutan nama dan ucapan saya untuk menguatkan suatu argumen yang sebenarnya tidak dilandasi oleh landasan yang kuat, salah satunya kearsipan.”

Mantan juru bicara HTI yang juga salah satu panelis, Ismail Yusanto, mengatakan panitia memang tidak melakukan konfirmasi terlebih dulu. Oleh karena itu mereka akan segera menemui Peter dan meminta maaf.

“Karena memang menurut panitia, dalam acara itu sekadar memutar ulang cuplikan rekaman video wawancara,” kata Ismail saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Selasa siang. “Sebagaimana juga special guest yang lain, yang tercantum dalam poster itu seperti Tengku Zulkarnaen, Moeflich, Dr. Alwi juga sekadar ditayangkan cuplikan rekaman wawancara yang sudah ada lebih dulu.”

**

Munahkan HTI dan Jaringannya

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukanlah sekadar organisasi. Ia adalah representasi dari ancaman terhadap keutuhan bangsa, ideologi negara, dan masa depan generasi. Di bawah slogan khilafah, HTI tidak hanya memasarkan utopia pemerintahan global, tetapi juga berusaha mencabut akar Pancasila sebagai dasar negara. Propaganda mereka meresap ke berbagai lapisan masyarakat, menggunakan kedok dakwah untuk menyusupkan gagasan transnasional yang bertentangan dengan semangat kebangsaan Indonesia.

Indonesia, sebagai negara dengan keberagaman yang luar biasa, telah berhasil menjaga persatuan melalui nilai-nilai Pancasila yang merangkul semua elemen masyarakat tanpa memandang suku, agama, atau golongan. Namun, HTI justru datang dengan narasi eksklusif yang mendikotomikan umat, menciptakan garis pembeda antara “Islam kaffah” versi mereka dan semua yang mereka anggap sebagai “kafir” atau “musuh Islam.” Ini adalah benih disintegrasi yang, jika dibiarkan, akan menjadi ancaman nyata bagi NKRI.

Langkah tegas pemerintah yang melarang HTI adalah wujud nyata keberpihakan terhadap stabilitas nasional. Namun, pelarangan ini hanyalah awal. HTI telah menunjukkan kemampuan adaptasi dengan membangun jaringan bawah tanah yang tetap aktif. Mereka masuk melalui lembaga pendidikan, media sosial, komunitas keagamaan, bahkan menginfiltrasi organisasi-organisasi mahasiswa. Di ruang maya, narasi khilafah terus disuarakan dengan intensitas tinggi, menjadikan anak muda sebagai target utama.

Pemuda, dengan semangat kritis dan rasa ingin tahu yang besar, menjadi sasaran empuk doktrin HTI. Narasi kebangkitan Islam yang disampaikan HTI sering kali terdengar heroik, menawarkan solusi atas masalah-masalah dunia yang kompleks. Namun, di balik janji-janji manis tersebut, terdapat ancaman besar: penghapusan kedaulatan nasional dan penggantian sistem yang telah menjaga harmoni keberagaman.

Kita tidak bisa hanya mengandalkan larangan formal. Perlu ada strategi holistik untuk memutus rantai infiltrasi HTI. Edukasi menjadi garda terdepan dalam membentengi generasi muda. Kurikulum pendidikan harus lebih responsif terhadap ancaman ideologi transnasional, memperkuat nilai-nilai kebangsaan, dan memberikan pemahaman yang mendalam tentang bahaya propaganda yang merusak.

Media sosial juga harus menjadi medan perjuangan. Narasi tandingan yang kuat dan berbasis fakta perlu digaungkan secara masif. Masyarakat perlu diberikan kesadaran kritis untuk memilah informasi dan tidak terjebak dalam jebakan retorika HTI yang manipulatif.

Lebih dari itu, pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus bersinergi. Penegakan hukum yang tegas terhadap individu atau kelompok yang tetap menyuarakan gagasan khilafah adalah langkah yang tidak bisa ditawar. Namun, pendekatan hukum saja tidak cukup. Keterlibatan tokoh agama, masyarakat, dan pemuda dalam membangun narasi persatuan dan toleransi harus menjadi prioritas.

HTI dan jaringannya bukanlah sekadar ancaman ideologi; mereka adalah tantangan eksistensial bagi bangsa ini. Melawannya berarti membela warisan para pendiri bangsa yang telah mengorbankan segalanya untuk memastikan Indonesia berdiri sebagai negara yang merdeka, berdaulat, dan inklusif. Ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kita semua. Munahkan HTI dan segala jaringannya adalah upaya untuk memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi rumah bagi semua, tempat di mana keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman.

Alumni Univesitas Mercubuana Jakarta
1672 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada topik kebangsaan, keadilan, kesetaraan, kebebasan dan kemanusiaan.
Articles
Related posts
Featured

Perjuangan Perempuan di Tengah Stigma dan Radikalisme

2 Mins read
Dalam bayang-bayang stigma terorisme yang menakutkan, ada satu sosok perempuan yang berani menembus kegelapan itu dengan tindakan nyata. Ia adalah seorang istri…
Featured

Potensi dalam Tradisi Kopi Nusantara

3 Mins read
Keunikan kopi Nusantara terletak pada keragaman cita rasa dan karakteristik setiap daerah. Kopi Gayo menawarkan aroma bunga yang lembut, Toraja menghadirkan sentuhan…
Featured

Integritas Publik: Perpaduan Hukuman dan Insentif Anti-Korupsi

3 Mins read
Gillian Brock menyatakan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan yang merusak keadilan dan sistem pemerintahan. Menurutnya, korupsi muncul dalam berbagai bentuk, seperti nepotisme—memberikan keuntungan…
Power your team with InHype
[mc4wp_form id="17"]

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.