UUD 45

Menilik Gerakan Mahasiswa di Indonesia

3 Mins read

Sejak era kolonialisme Belanda hingga saat ini, tak terhitung sudah berapa puluh kali gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa menjadi tanda peringatan bagi rezim yang berkuasa. Mulai dari gerakan oleh pelajar STOVIA, gerakan anti komunisme pada tahun 1996, gerakan reformasi, hingga gerakan yang populer beberapa tahun ke belakang, mahasiswa selalu turut serta dalam gerakan-gerakan tersebut.

Sebagai seorang mahasiswa yang kebetulan memang beberapa kali turut serta dalam gerakan mahasiswa, ada beberapa pertanyaan yang selalu hilir mudik dalam kepala saya mengenai gerakan mahasiswa itu sendiri. Seberapa signifikan gerakan mahasiswa saat ini terhadap dinamika politik di Indonesia? Mengapa gerakan mahasiswa saat ini cenderung bersifat eksklusif? Tulisan singkat ini mencoba menjawab kedua pertanyaan di atas dan sedikit mengulas gerakan mahasiswa saat ini yang disandingkan dengan segala macam mitosnya.

Saya melihat gerakan mahasiswa sekarang persis seperti apa yang dikatakan oleh Aspinall (2012), yakni gerakan moral. Gerakan moral yang digambarkan oleh Aspinall, merupakan gerakan yang menyokong status quo dan bersifat regresif.

Alih-alih mendorong perubahan dengan cara radikal dan mencari sistem alternatif, gerakan mahasiswa saat ini cenderung ogah beraliansi dengan gerakan massa lainnya dan tidak memiliki ambisi untuk merebut kekuasaan, sehingga gerakan yang dihasilkan hanya bersifat korektif dan hanya memberikan peringatan pada rezim yang berkuasa.

 

Menurut Abdil Mughis (2021), kelas menegah reformis lebih berkepentingan untuk mengadvokasi isu-isu seputar HAM, lingkungan, anti-korupsi, dan lain-lain dengan mendorong reformasi institusi. Ia mengatakan, hal tersebut disebabkan oleh absennya pengorganisasian berbasis kelas, sehingga melunakkan tuntutan revolusi menjadi reformasi.

Kelas menengah yang mendominasi kalangan mahasiswa membuat gerakan mahasiswa tidak berkeinginan mengubah secara radikal tatanan ekonomi politik dan struktur kekuasaan. Ditambah dengan tidak adanya strategi politik jangka panjang, membuat gerakan mahasiswa yang sporadis dalam beberapa tahun terakhir cenderung terkesan seremonial, dalam kata lain mereka sedang merayakan identitasnya sebagai mahasiswa sembari menikmati segala macam labelisasi yang melekat seperti agent of change, iron stock, dan social control.

Label yang melekat tersebut, membuat gerakan mahasiswa terjebak ke dalam heroisme, sehingga selalu dianggap penting dalam perpolitikan di Indonesia. Padahal, labelisasi tersebut merupakan konstruksi rezim Orde Baru pasca genosida tahun 1965-1966 untuk melucuti progresifitas gerakan mahasiswa yang begitu melekat pada masa sebelumnya (Novianto, 2016).

Meski saat ini organisasi ekstra kampus masih tetap ada, tetapi ada kondisi yang membedakan antara organisasi ekstra kampus saat ini dengan masa revolusi nasional pasca kemerdekaan. Kosongnya politik aliran, pasca penyeragaman tahun 1966, membuat organisasi ekstra kampus tidak ambisius dalam mengambil kekuasaan.

Masa revolusi nasional dijadikan momentum bagi para partai politik untuk melirik mahasiswa sebagai potensi untuk membangun massa konstituen dengan menciptakan organisasi di bawah partai, salah satunya organisasi mahasiswa. Selama masa-masa tersebut, gerakan mahasiswa menjadi kelompok politik yang penting dan aktif, bahkan menjadi bagian dari gerakan politik nasional.

Pada periode 1965-1967, mahasiswa memiliki peran sentral dalam kampanye gerakan anti komunis serta pembenaran atas pemberangusan gerakan kiri di Indonesia. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang berafiliasi dengan Angkatan Darat secara tidak langsung memberikan legitimasi sipil untuk militer mengambil alih kekuasaan saat itu.

 

Pada masa inilah labelisasi mahasiswa sebagai agen perubahan menguat yang digaungkan melalui berbagai media seperti buku, koran, jurnal, dan lain-lain. Labelisasi tersebut turut menggeser istilah “pemuda” yang semasa revolusi kemerdekaan digambarkan sebagai agen perubahan politik yang revolusioner. Sejak saat itu, gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia pada periode 70-an menjadi sebatas gerakan moral semata.

Gerakan mahasiswa kembali menjadi radikal pada akhir 90-an saat peristiwa reformasi terjadi. Radikalisasi yang terjadi disebabkan oleh advokasi yang dilakukan secara langsung oleh mahasiswa dan bekerja sama dengan buruh serta petani. Pada proses radikalisasi tersebut terbentuklah berbagai front revolusioner, salah satunya yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD).

 

Lantas bagaimana dengan relasi gerakan mahasiswa dan ekstra kampus saat ini? Atas nama kemurnian gerakan serta menghindari kepentingan politik, gerakan mahasiswa saat ini memiliki jarak dengan gerakan ekstra kampus. Memang gerakan mahasiswa saat ini sepintas terlihat radikal, dengan berbagai tuntutan serta mobilisasi massa yang banyak. Tetapi sejatinya, gerakan saat ini masih bersifat korektif dan meminta kebaikan hati penguasa.

Jangankan memiliki pengaruh dalam politik formal, toh gerakan mahasiswa saat ini masih sering kalah melawan kebijakan kampus yang dirasa merugikan mahasiswa itu sendiri.

Muhamad Diva Kafila Raudya

seorang mahasiswa Ilmu Politik Unpad, biasa berkegiatan di suatu lembaga pengkajian sosial politik di kampus.

Slengkapnya baca di sini I

2118 posts

About author
Pilarkebangsaan.com adalah media yang menfokuskan diri pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan
Articles
Related posts
UUD 45

Legalitas Kepemilikan Tanah Menurut UU PA

3 Mins read
Perkembangan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia telah menjadikan tanah sebagai suatu komoditas yang strategis serta bernilai sangat penting untuk masyarakat. Selain…
UUD 45

Peran Restorative Justice dalam Transformasi Sistem Hukum Pidana

3 Mins read
Hukum pidana telah menjadi bagian penting dalam menjaga ketertiban dan keadilan di masyarakat.  Sistem hukuman pidana dalam KUHP pada dasarnya masih mempertahankan…
UUD 45

UU Pesantren, Strategi Menyetop Radikalisasi Pendidikan

3 Mins read
Nilai dan dogma keagamaan sering kali menjadi pintu masuk bagi kelompok radikal untuk memprovokasi masyarakat melakukan aksi ektremisme-terorisme. Pesantren sebagai institusi pendidikan…
Power your team with InHype

Add some text to explain benefits of subscripton on your services.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *