Sejak era kolonialisme Belanda hingga saat ini, tak terhitung sudah berapa puluh kali gerakan yang diinisiasi oleh mahasiswa menjadi tanda peringatan bagi rezim yang berkuasa. Mulai dari gerakan oleh pelajar STOVIA, gerakan anti komunisme pada tahun 1996, gerakan reformasi, hingga gerakan yang populer beberapa tahun ke belakang, mahasiswa selalu turut serta dalam gerakan-gerakan tersebut.
Saya melihat gerakan mahasiswa sekarang persis seperti apa yang dikatakan oleh Aspinall (2012), yakni gerakan moral. Gerakan moral yang digambarkan oleh Aspinall, merupakan gerakan yang menyokong status quo dan bersifat regresif.
Menurut Abdil Mughis (2021), kelas menegah reformis lebih berkepentingan untuk mengadvokasi isu-isu seputar HAM, lingkungan, anti-korupsi, dan lain-lain dengan mendorong reformasi institusi. Ia mengatakan, hal tersebut disebabkan oleh absennya pengorganisasian berbasis kelas, sehingga melunakkan tuntutan revolusi menjadi reformasi.
Label yang melekat tersebut, membuat gerakan mahasiswa terjebak ke dalam heroisme, sehingga selalu dianggap penting dalam perpolitikan di Indonesia. Padahal, labelisasi tersebut merupakan konstruksi rezim Orde Baru pasca genosida tahun 1965-1966 untuk melucuti progresifitas gerakan mahasiswa yang begitu melekat pada masa sebelumnya (Novianto, 2016).
Masa revolusi nasional dijadikan momentum bagi para partai politik untuk melirik mahasiswa sebagai potensi untuk membangun massa konstituen dengan menciptakan organisasi di bawah partai, salah satunya organisasi mahasiswa. Selama masa-masa tersebut, gerakan mahasiswa menjadi kelompok politik yang penting dan aktif, bahkan menjadi bagian dari gerakan politik nasional.
Pada masa inilah labelisasi mahasiswa sebagai agen perubahan menguat yang digaungkan melalui berbagai media seperti buku, koran, jurnal, dan lain-lain. Labelisasi tersebut turut menggeser istilah “pemuda” yang semasa revolusi kemerdekaan digambarkan sebagai agen perubahan politik yang revolusioner. Sejak saat itu, gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia pada periode 70-an menjadi sebatas gerakan moral semata.
Lantas bagaimana dengan relasi gerakan mahasiswa dan ekstra kampus saat ini? Atas nama kemurnian gerakan serta menghindari kepentingan politik, gerakan mahasiswa saat ini memiliki jarak dengan gerakan ekstra kampus. Memang gerakan mahasiswa saat ini sepintas terlihat radikal, dengan berbagai tuntutan serta mobilisasi massa yang banyak. Tetapi sejatinya, gerakan saat ini masih bersifat korektif dan meminta kebaikan hati penguasa.
Jangankan memiliki pengaruh dalam politik formal, toh gerakan mahasiswa saat ini masih sering kalah melawan kebijakan kampus yang dirasa merugikan mahasiswa itu sendiri.
seorang mahasiswa Ilmu Politik Unpad, biasa berkegiatan di suatu lembaga pengkajian sosial politik di kampus.
Slengkapnya baca di sini I