Melalui Peraturan Pemerintahan (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, pemerintah memberikan jalan bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk ikut serta mengelola lahan-lahan tambang yang ada di Indonesia.
Sontak aturan ini memunculkan banyak pendapat pro dan kontra. Aturan ini dianggap sangat kontroversi oleh beberapa pihak karena perizinan kelola tambang dengan visi misi ormas keagamaan dianggap sudah bertentangan. Dengan munculnya aturan ini menimbulkan banyak respon, tidak sedikit yang mengiyakan dan tidak sedikit pula yang mengkritik perizinan ini.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa pemberian izin ini agar ormas keagamaan memiliki peluang dan kesempatan yang sama dengan perusahaan, hingga akhirnya bisa saja menjadi sumber pendanaan lain bagi ormas dan umatnya.
Pemberian kesempatan atau balas budi politik?
Hingga aturan ini muncul, ormas keagamaan Nahdatul Ulama (NU) merespon dengan cepat dan menyanggupi untuk ikut mengelola tambang. Mengutip dari CNBC Indonesia, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa konsesi tambang bagi NU memang dibutuhkan untuk mengurus keperluan agama dan kemasyarakatan NU sendiri.
Dengan alasan tersebut, secara tidak langsung menjelaskan bahwa NU memang membutuhkan konsesi ini. Banyak pihak yang menyayangkan akhirnya NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia tergoda dengan permainan uang pemerintah.
Keindependensian NU sebagai ormas keagamaan dipertanyakan oleh banyak pihak karena dianggap sudah ikut campur dalam pergolakan politik dan tidak lagi berfokus kepada nilai-nilai Islami. Hal-hal yang terjadi di pertambangan dengan sedikit banyak nilai buruknya, NU dikhawatirkan akan kehilangan arah. Dengan itu, tak ayal masyarakat berkomentar miring dengan kesiapan NU dalam mengelola tambang.
Pihak NU sendiri menegaskan, respon positif atas perizinan tambang oleh pemerintah murni karena pemerintah memang memberikan jalan dan berpihak kepada ormas keagamaan sehingga tidak ada salahnya untuk mengelola tambang karena NU meyakini akan mengelola tambang dengan baik.
Menteri Bahlil pada Jumat (7/6/2024) sendiri membeberkan bahwa perizinan ini tidak lepas dari peran Presiden Jokowi Dodo yang mana banyak menerima aspirasi ketika turun ke daerah. Hal ini sontak memberikan pandagan lain di masyarakat, muncul pendapat bahwa perizinan tambang bagi ormas keagamaan menjadi balas budi politik pemerintah karena ormas keagamaan dianggap sudah melancarkan salah satu pihak pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Beberapa ormas keagamaan lain malah tidak segan-segan untuk langsung menolak, seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menolak konsesi tambang yang diberikan oleh pemerintah karena menganggap tidak boleh mengorbankan masyarakat dan kelestarian lingkungan demi perekonomian.
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) sejalan dengan KWI akan menolak tawaran konsesi tersebut. Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) bahkan menolak karena tidak sejalan dengan prinsip moral PGI yang membantu korban kebijakan pemerintah terkait pertambangan sehingga PGI merasa tidak pantas ikut dalam konsesi dan secara tidak langsung malah melawan diri sendiri.
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan juga Muhammadiyah tidak ingin cepat-cepat mengambil keputusan. Menurut kedua ormas keagamaan tersebut perlu pengkajian matang dengan memperhatikan sisi positif dan negatinya karena konsesi ini berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan.
Pasal 5 Nomor 17 tahun 2013 menyebutkan tujuan dari ormas, termasuk ormas keagamaan masuk ke dalam pasal tersebut, yaitu poin e, melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Hal tersebut sudah jelas bertentangan apabila dikomparasikan dengan perizinan pertambangan yang diberikan oleh pemerintah. Maka, secara tidak langsung dengan adanya regulasi baru perizinan pertambangan bagi ormas keagamaan menyisihkan regulasi lain untuk melestarikan sumber daya alam.
Pendapat para pakar
Perizinan pertambangan bagi ormas keagamaan akhirnya menimbulkan polemik. Dalih pemerintah memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas keagamaan agar dapat bisa bersaing dan memiliki kesempatan yang sama dengan perusahan-perusahan dianggap bukan sebuah rasa perhatian pemerintah kepada ormas melainkan menjadikan ormas sebagai tameng pemerintah.
Hal ini disampaikan oleh Pakar Hukum Lingkungan Universitas Gajah Mada (UGM) Agung Wardana bahwa perizinan ini menjadi solusi dari polemik industri ekstraktif yang sering terjadi di Indonesia. Diketahui, masalah industri ekstraktif menjadi isu yang diperhatikan akhir-akhir ini karena dampak negatif yang mulai dirasakan, ditambah dalam konteks pertambangan seringkali adanya polemik pertanahan dengan masyarakat yang sulit diselesaikan hingga akhirnya rakyat yang dirugikan.
Maka dari itu, munculnya IUP bagi ormas keagamaan dirasa menjadi solusi dari polemik industri ekstraktif di kalangan bawah karena ormas keagamaan dirasa dapat melindungi industri pertambangan dan menetralisir polemik tersebut karena lebih dekat dengan masyarakat. Koordinator JATAM Nasional, Melky Nahar sendiri mengkhawatirkan akan adanya perluasan area pertambangan yang akhirnya akan berdampak kepada lingkungan sekitar.
Dikhawatirkan juga dari IUP untuk ormas keagamaan ini adalah munculnya konflik antara ormas keagamaan dengan masyakarat adat. Ormas keagamaan yang awalnya dianggap berpihak dan sangat dekat dengan masyarakat bersamaan adanya IUP ini memunculkan polemik baru di kemudian hari. Selaras dengan apa yang disebutkan di atas, ormas keagamaan seakan-akan dijadikan tameng pemerintah karena ormas keagamaan dianggap lebih dekat dengan masyarakat.
Kompetenitas ormas keagamaan dalam bidang pertambangan pun dipertanyakan, beberapa pihak yang jelas-jelas berada dibidangnya pun tidak dapat menghindari dampak negatif dan polemik pertambangan.
Ketika dampak lingkungan tidak diperhatikan maka imbasnya akan terasa langsung kepada masyarakat-masyarakat di bawah ormas keagamaan tersebut. Sebut saja kasus Wadas, banyak dari warga Nahdliyin sendiri yang menjadi korbannya. Jangan sampai ormas keagamaan yang berada di bidangnya dan yang seharusnya mengayomi umatnya malah dikritik oleh umatnya sendiri hingga akhirnya muncul stigma āanti-agamaā dan perselisihan antara ormas keagamaan.
MungkinkahĀ ormas keagamaanĀ dapat meminimalisir dampak lingkungan yang terjadi nantinya?