Menteri Luar Negeri Indonesia yang baru, Sugiono, memulai tugas diplomatik perdananya di KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, pada 22-24 Oktober 2024. Momen ini menjadi tonggak penting bagi kebijakan luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam pidatonya, Sugiono menekankan pentingnya memperkuat solidaritas antarnegara berkembang dan mendorong perdamaian. Hal ini sangat relevan mengingat situasi dunia yang semakin terpecah. Namun, peran Indonesia dalam BRICS, kelompok yang dipengaruhi ambisi besar Tiongkok dan Rusia, perlu mendapat perhatian serius.
BRICS awalnya dibentuk oleh Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Belakangan, kelompok ini berkembang dengan anggota baru seperti Uni Emirat Arab, Iran, Mesir, dan Ethiopia. Meski pertumbuhan ini menambah kekuatan, kelompok ini juga semakin rumit dan kontradiktif. Keterlibatan Indonesia di BRICS, yang dipromosikan sebagai langkah penting dalam diplomasi global, bisa menandai perubahan dalam kebijakan luar negeri “bebas dan aktif.”
Kebijakan ini memungkinkan Indonesia menjaga keseimbangan antara kekuatan Barat dan non-Barat tanpa terikat pada satu pihak. Namun, jika Indonesia semakin dekat dengan BRICS—yang kerap dipersepsikan anti-Barat—posisinya sebagai negara netral bisa terancam. Otonomi diplomatiknya juga bisa berkurang.
BRICS secara ideal mewakili Global South, yaitu negara-negara berkembang yang berupaya menciptakan tata kelola dunia lebih inklusif. Tujuan mereka adalah mendistribusikan ulang kekuatan ekonomi yang saat ini didominasi Barat, seperti IMF dan Bank Dunia. Visi ini sebenarnya sejalan dengan kepentingan Indonesia, yang ingin memperjuangkan keadilan ekonomi dan memberdayakan negara-negara berkembang. Namun, di balik retorika persatuan ini, BRICS sering kali digerakkan oleh kepentingan nasional dari negara besar seperti Tiongkok dan Rusia. Ambisi-ambisi tersebut kerap berbeda dari kepentingan Global South pada umumnya.
Rusia, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin, membawa tantangan besar dalam BRICS. Rusia, yang semakin terisolasi setelah invasi ke Ukraina, menggunakan BRICS untuk memperlihatkan bahwa mereka masih memiliki aliansi global yang penting. Upaya Putin menjadikan BRICS sebagai alternatif dari tatanan global yang dipimpin Barat bukanlah demi kepentingan negara-negara miskin.
Ini lebih untuk menghindari sanksi Barat dan mempertahankan pengaruh geopolitiknya. Tiongkok juga memanfaatkan BRICS untuk mendorong agenda besarnya, terutama melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Proyek ini sering dikritik karena menciptakan ketergantungan ekonomi dan jebakan utang bagi negara-negara berkembang.
Bagi Indonesia, terlalu dekat dengan negara-negara seperti Rusia dan Tiongkok bisa merusak hubungan diplomatiknya dengan sekutu-sekutu Barat. Amerika Serikat dan Uni Eropa, misalnya, merupakan mitra penting bagi Indonesia. Indonesia memang memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Tiongkok, terutama melalui BRI. N
amun, Indonesia juga sangat bergantung pada pasar Barat untuk perdagangan dan investasi. Keterlibatan yang terlalu dalam dengan BRICS, terutama dalam upaya mereka untuk memisahkan diri dari lembaga keuangan Barat, bisa mempersulit Indonesia menjaga keseimbangan diplomatik ini. Pidato Sugiono di KTT, yang menyoroti perdamaian dan solidaritas, bisa saja tenggelam dalam realitas geopolitik yang lebih besar. Indonesia perlu mengevaluasi secara kritis apakah BRICS—yang semakin didominasi Rusia dan Tiongkok—benar-benar mampu memperjuangkan kepentingan Global South. Terlebih, BRICS sendiri menghadapi konflik internal.
Konflik perbatasan antara Tiongkok dan India, serta persaingan regional antara Mesir dan Ethiopia, semakin memperlemah kemampuan BRICS sebagai kekuatan global yang solid. Dengan terlalu dekat dengan kelompok yang penuh konflik ini, Indonesia berisiko terseret dalam permasalahan yang jauh dari kepentingan strategisnya.
Jika Indonesia sungguh ingin memperkuat solidaritas antar negara berkembang, sebaiknya mempertimbangkan untuk memimpin pembentukan forum baru. Forum ini bisa menghubungkan Global South dan Global East tanpa campur tangan kekuatan besar seperti Rusia dan Tiongkok. Forum baru ini bisa menjadi platform yang lebih murni untuk menangani masalah-masalah utama negara berkembang, seperti pengentasan kemiskinan, ketahanan iklim, dan perdagangan yang lebih adil. Tanpa diganggu oleh persaingan geopolitik yang saat ini menghambat BRICS. Langkah alternatif ini memungkinkan Indonesia tetap menjaga kedaulatan diplomatiknya.
Di saat yang sama, Indonesia bisa memperkuat perannya sebagai pemimpin sejati di kawasan Global South. Dengan mengusulkan forum baru, Indonesia akan memperkuat reputasinya di mata dunia internasional. Ini juga mengukuhkan prinsip kebijakan luar negeri “bebas dan aktif” yang telah lama dipegangnya. Indonesia bisa membuka ruang untuk berinteraksi dengan Barat dan non-Barat atas dasar kepentingan sendiri, tanpa harus terseret dalam agenda negara-negara besar di BRICS yang sering kali membingungkan dan bersifat oportunis. Keterlibatan Indonesia di BRICS memang menawarkan beberapa keuntungan ekonomi, tapi ini tidak serta-merta sepenuhnya positif.
Dominasi Tiongkok di BRICS menimbulkan tantangan besar bagi kedaulatan ekonomi Indonesia. Meski investasi Tiongkok dalam infrastruktur Indonesia signifikan, terutama melalui BRI, Indonesia harus tetap menjaga kendali atas aset-aset pentingnya. Terlalu bergantung pada pendanaan Tiongkok bisa berbahaya. Indonesia juga perlu berhati-hati terhadap proyek seperti mata uang digital BRICS, yang bisa mengganggu sistem keuangan Indonesia jika tidak dikelola dengan bijak.
Meskipun keikutsertaan Indonesia dalam KTT BRICS Plus bisa dilihat sebagai upaya memperkuat kerja sama antar negara berkembang, kenyataannya lebih rumit. BRICS memang menawarkan potensi kolaborasi ekonomi, namun perpecahan internal dan ambisi-ambisi besar dari negara seperti Rusia dan Tiongkok menimbulkan pertanyaan besar. Apakah BRICS benar-benar sejalan dengan kepentingan Indonesia? Indonesia perlu menilai keterlibatannya secara hati-hati.
Mungkin, perlu dipertimbangkan untuk membentuk forum baru yang lebih murni mewakili kepentingan Global South. Dengan cara ini, Indonesia bisa memperkuat perannya di panggung internasional, mempertahankan kedaulatan diplomatiknya, dan sungguh berkontribusi untuk menciptakan dunia yang lebih adil.
Peneliti PARA Syndicate, Alumni Master Ilmu Politik dari Shanghai Jiao Tong University.